Share

74. Ini aku!

Penulis: A mum to be
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-06 17:53:32

Caca menggeleng sambil tersenyum. Anak itu duduk di karpet ruang tengah, memeluk boneka kelincinya erat-erat. Jemari kecilnya menutupi mulutnya sendiri, seolah tak sabar menahan sesuatu yang ingin segera ia ceritakan.

Aurelia mencondongkan tubuh, alisnya terangkat penasaran. “Jadi apa sih? Cerita, dong. Kakak jadi makin kepo, nih.”

Caca mengedip sejenak, lalu mendekat dan berbisik pelan seolah sedang membawa misi rahasia. “Aku mau pentas di sekolah…”

“Wah, keren!” Aurelia bersorak kecil. “Pentas apa?”

“Drama… Tapi aku tidak jadi akting. Aku pilih… baca puisi saja,” ucapnya penuh kebanggaan.

“Puisi? Keren banget!” Aurelia semakin antusias, menepuk tangan kecil Caca. “Puisi tentang apa?”

Anak itu menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Tentang ibu…”

Aurelia sempat terdiam. Matanya menatap Caca yang kini mengangguk d

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   98. Rasa Kagum

    Cahaya lampu redup di kamar rawat VIP masih menyisakan bayangan lembut di dinding ketika ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Aurelia mengerjap pelan, mengusap wajahnya yang masih berat oleh kantuk. Awalnya ia mengira itu perawat yang hendak memeriksa Caca, tapi begitu pintu terbuka, bukan wajah perawat yang ia lihat.Sosok pria tegap dengan rambut sedikit beruban berdiri di ambang, mengenakan kemeja rapi namun kusut di bagian lengan.“Anda?” suara Aurelia terdengar setengah terkejut, setengah tak percaya.Pria itu menatapnya, lalu menoleh sekilas pada Caca yang tidur pulas.“Sedang Anda apa di sini?” ucapnya mengulang pertanyaan yang sama. Suranya begitu pelan, seolah tak ingin mengusik.Aurelia mendengkus kecil, mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. “Tentu saja menjaga Caca. Masih bertanya pula??”“Hmm.”“Masuklah, dan tolong jangan berisik.” Suaranya rendah tapi te

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   97. Menjaga Caca

    Sore itu, setelah melepas Gian menuju bandara, Aurelia langsung melangkah ke kamar tidurnya. Koper Gian yang semula ada di sudut ruangan kini tak ada lagi, seolah menatapnya sebagai pengingat bahwa beberapa hari ke depan ia akan sendirian. Namun, pikirannya tak terpaku pada Makassar—melainkan pada panggilan video yang baru saja masuk.Layar ponsel di tangannya menampilkan wajah mungil Caca. Tangan anak itu masih terpasang selang infus, namun matanya yang bulat berkilat senang.“Iya, Sayang,” ujar Aurelia sambil tersenyum lembut. “Kakak bakalan nginep di rumah sakit. Menemanimu dong.”Caca mengangguk kecil, lalu tertawa lirih. “Kalau Kakak di sini, aku enggak bakalan takut. Pasti seru. Soalnya kalau sama si Mbok enggak seru. Tidunya ngorok mulu sih.”Kalimat sederhana itu menghangatkan ha

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   96. Bekal Untuk Gian

    Aurelia tidak langsung merespons. Tangannya masih memegang pisau, namun gerakannya terhenti di tengah potongan seledri. Ujung mata pisau memantulkan cahaya siang yang jatuh dari jendela dapur, seperti garis tipis perak di antara mereka. Tatapan Nyonya Lestari menembus, dingin namun mantap, seolah ingin menguliti lapisan terluar hati Aurelia hingga tak tersisa.Dapur itu sunyi. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar terlalu nyaring di telinga Aurelia. Hanya detik jam dinding yang memecah keheningan, mengukur waktu dalam hentakan-hentakan yang seakan memaksa mereka untuk memilih kata dengan cermat.Aurelia menarik napas dalam, menahan udara di paru-parunya sejenak sebelum mengembuskannya pelan. “Menyerah pada apa, Bu?” tanyanya, suaranya terdengar tenang—hanya nada datar, tanpa getar. Tapi di balik itu, ada kilatan waspada yang tak bisa disembunyikan.Nyonya Lestari menurunkan cangkir teh dari bibirnya. Gerakannya anggun, nyaris lambat, seolah

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   95. Apa Kau Ingin Menyerah?

    Aurelia berdiri terpaku di balik pintu kamar mandi, punggungnya menempel pada kayu dingin yang baru saja ia tutup rapat. Cahaya pagi yang menyusup dari celah jendela kamar mandi jatuh di lantai keramik, membentuk garis tipis yang terasa asing baginya. Nafasnya terlihat tenang dari luar, tapi di dalam dadanya, detak jantungnya bergemuruh seperti ombak memecah karang.Kata-kata yang ia dengar semalam dari Kirana dan Nyonya Lestari masih menggema. Bukan sekadar terdengar sekali lalu menghilang, melainkan berputar-putar di kepalanya seperti lagu buruk yang tak bisa ia hentikan. Setiap nada, setiap intonasi, setiap helaan napas di sela kalimat, ia ingat dengan jelas.Ia tahu—jika ia menceritakan percakapan itu kepada Gian, segalanya bisa berubah menjadi rumit. Gian sedang berada di titik rapuh, berusaha membangun kembali hubungan dengan ibunya setelah sekian lama renggang. Jika ia menambah bara api, ia

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   94. Wanita Pilihan

    "Bagaimana, Aurelia?" tanya Tuan Mahesa penuh harap, seolah mewakili Nyonya Lestari yang gengsi untuk mengatakannya.Aurelia menoleh dengan senyum tipis. "Aku sih terserah sama Gian saja, Ayah."Sementara Kirana seakan menelan ludah. Senyumnya tetap ia jaga, tapi sorot matanya sedikit meredup. "Oh… begitu," ucapnya lirih sambil berusaha tertawa kecil. "Ya, tentu saja. Memang sudah seharusnya begitu," tambahnya, mencoba menutupi rasa kecewa yang sempat muncul di wajahnya.Langit sudah berganti pekat saat Gian akhirnya mengangguk setuju untuk menginap. Nyonya Lestari tampak senang, sedangkan Kirana hanya tersenyum tipis—senyum yang terlalu rapih untuk benar-benar tulus. Aurelia mencoba menepis rasa janggal yang merayap di dadanya, meski nalurinya sudah memberi sinyal.“Kamarmu masih tidak berubah,” kata Nyonya Lestari yang kini menatap Gian dengan mata yang berbinar.&n

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   93. Kado Untuk Ibu Mertua

    “Aduh, cantik sekali anggrek ini, Mbak,” kata penjual tanaman, seorang wanita paruh baya dengan topi jerami yang tampak akrab menyapa pelanggan.Aurelia tersenyum sambil mengangguk. “Anggrek bulan putih, ya?”“Iya, ini salah satu jenis yang paling disukai pecinta tanaman hias. Bunganya tahan lama, warnanya elegan, dan perawatannya cukup mudah kalau tahu caranya.” Penjual itu membelai kelopak bunga yang sedang mekar sempurna.Doni, yang berdiri di samping Aurelia, ikut menimpali, “Kalau Ibu mertuamu suka tanaman, ini cocok banget. Anggrek bulan putih itu simbolnya penghormatan dan ketulusan.”Wulan mengangguk setuju. “Lagipula, Bibi Doni ‘kan ahli tanaman, jadi aku sudah dapat bocoran kalau tanaman ini tidak akan bikin Aurelia repot jelasin cara rawatnya ke Ibu Mertua.”Aurelia menatap keduanya sambil tersenyum kecil. “Kalian berdua benar-benar penyelamatku hari ini. Aku tadi mau be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status