Siapa yang bertamu di saat seperti ini? Sudah hampir pukul satu dini hari pula.
Gian beranjak menuju pintu dengan ragu, menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan di tengah kelelahan yang mencekik. Saat ia membuka pintu, seorang petugas keamanan berpakaian seragam berdiri tegap di sana, wajahnya serius namun sopan.
“Maaf, Pak Gian. Ada wanita yang mencari Bapak,” ucapnya sambil mengangguk ke arah lorong.
Gian mengernyit, penasaran sekaligus waspada. “Wanita? Siapa dia?”
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu namanya, tapi dia bilang sangat penting dan tidak berani pulang sendirian. Saya sudah sarankan dia menunggu di pos security. Bapak boleh ikut saya,” jawab petugas itu.
Tanpa banyak pikir, Gian mengangguk dan mengikuti petugas keamanan keluar dari apartemen menuju ruang pos security yang tak jauh dari situ.
Saat mereka sampai, Gian melihat Kirana duduk di bangku, wajahnya pucat dan matanya gelisah, sesekali menata
Aurelia tidak langsung merespons. Tangannya masih memegang pisau, namun gerakannya terhenti di tengah potongan seledri. Ujung mata pisau memantulkan cahaya siang yang jatuh dari jendela dapur, seperti garis tipis perak di antara mereka. Tatapan Nyonya Lestari menembus, dingin namun mantap, seolah ingin menguliti lapisan terluar hati Aurelia hingga tak tersisa.Dapur itu sunyi. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar terlalu nyaring di telinga Aurelia. Hanya detik jam dinding yang memecah keheningan, mengukur waktu dalam hentakan-hentakan yang seakan memaksa mereka untuk memilih kata dengan cermat.Aurelia menarik napas dalam, menahan udara di paru-parunya sejenak sebelum mengembuskannya pelan. “Menyerah pada apa, Bu?” tanyanya, suaranya terdengar tenang—hanya nada datar, tanpa getar. Tapi di balik itu, ada kilatan waspada yang tak bisa disembunyikan.Nyonya Lestari menurunkan cangkir teh dari bibirnya. Gerakannya anggun, nyaris lambat, seolah
Aurelia berdiri terpaku di balik pintu kamar mandi, punggungnya menempel pada kayu dingin yang baru saja ia tutup rapat. Cahaya pagi yang menyusup dari celah jendela kamar mandi jatuh di lantai keramik, membentuk garis tipis yang terasa asing baginya. Nafasnya terlihat tenang dari luar, tapi di dalam dadanya, detak jantungnya bergemuruh seperti ombak memecah karang.Kata-kata yang ia dengar semalam dari Kirana dan Nyonya Lestari masih menggema. Bukan sekadar terdengar sekali lalu menghilang, melainkan berputar-putar di kepalanya seperti lagu buruk yang tak bisa ia hentikan. Setiap nada, setiap intonasi, setiap helaan napas di sela kalimat, ia ingat dengan jelas.Ia tahu—jika ia menceritakan percakapan itu kepada Gian, segalanya bisa berubah menjadi rumit. Gian sedang berada di titik rapuh, berusaha membangun kembali hubungan dengan ibunya setelah sekian lama renggang. Jika ia menambah bara api, ia
"Bagaimana, Aurelia?" tanya Tuan Mahesa penuh harap, seolah mewakili Nyonya Lestari yang gengsi untuk mengatakannya.Aurelia menoleh dengan senyum tipis. "Aku sih terserah sama Gian saja, Ayah."Sementara Kirana seakan menelan ludah. Senyumnya tetap ia jaga, tapi sorot matanya sedikit meredup. "Oh… begitu," ucapnya lirih sambil berusaha tertawa kecil. "Ya, tentu saja. Memang sudah seharusnya begitu," tambahnya, mencoba menutupi rasa kecewa yang sempat muncul di wajahnya.Langit sudah berganti pekat saat Gian akhirnya mengangguk setuju untuk menginap. Nyonya Lestari tampak senang, sedangkan Kirana hanya tersenyum tipis—senyum yang terlalu rapih untuk benar-benar tulus. Aurelia mencoba menepis rasa janggal yang merayap di dadanya, meski nalurinya sudah memberi sinyal.“Kamarmu masih tidak berubah,” kata Nyonya Lestari yang kini menatap Gian dengan mata yang berbinar.&n
“Aduh, cantik sekali anggrek ini, Mbak,” kata penjual tanaman, seorang wanita paruh baya dengan topi jerami yang tampak akrab menyapa pelanggan.Aurelia tersenyum sambil mengangguk. “Anggrek bulan putih, ya?”“Iya, ini salah satu jenis yang paling disukai pecinta tanaman hias. Bunganya tahan lama, warnanya elegan, dan perawatannya cukup mudah kalau tahu caranya.” Penjual itu membelai kelopak bunga yang sedang mekar sempurna.Doni, yang berdiri di samping Aurelia, ikut menimpali, “Kalau Ibu mertuamu suka tanaman, ini cocok banget. Anggrek bulan putih itu simbolnya penghormatan dan ketulusan.”Wulan mengangguk setuju. “Lagipula, Bibi Doni ‘kan ahli tanaman, jadi aku sudah dapat bocoran kalau tanaman ini tidak akan bikin Aurelia repot jelasin cara rawatnya ke Ibu Mertua.”Aurelia menatap keduanya sambil tersenyum kecil. “Kalian berdua benar-benar penyelamatku hari ini. Aku tadi mau be
Malam itu, Aurelia berbaring di ranjang, selimut membungkus tubuhnya. Ia menatap wajah Gian yang tiba-tiba berubah jengah saat melihat ponselnya. Tawa kecil keluar dari bibir Aurelia.“Kirana lagi, ya?” tanya Aurelia dengan tawa kecil. Tanpa ragu, ia menyentuh wajah suaminya dan menciuminya dengan lembut. “Ya sudah, layani saja dia dulu,” bisiknya sambil tersenyum nakal.Gian mengeluarkan suara pelan, matanya berkilat antara kelelahan dan candaan. “Kau tidak takut aku malah jatuh hati padanya? Kalau aku tergoda bagaimana?”Aurelia hanya menggeleng sambil merapikan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berusaha memejamkan mata, namun Gian segera membuka pembicaraan lagi.“Batu yang keras bisa jadi cekung kalau terus-terusan ditetesi air, kan?” Gian terdengar mulai kesal tapi tetap ingin menggoda.Aurelia menahan ingin tidur dan menjawab dengan tenang, “Aku tahu itu. Tapi batuku tetap keras karena
Dari seberang sana, suara Mbok Sri terdengar panik dan bergetar. “Bu, maaf ya mengganggu pagi-pagi begini. Non Caca tadi malam demamnya tinggi sekali. Badannya panas, dan sejak tadi dia terus memanggil-manggil nama Ibu. Kami sudah bawa dia ke rumah sakit. Dokter bilang harus diobservasi lebih lanjut.”Aurelia membeku sejenak. Dadanya sesak, seolah beban berat menekan tulang rusuknya. “Oh, Caca…” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Papanya di sana ‘kan?”“Dua hari yang lalu baru saja berangkat ke Singapura lagi, Bu,” jawab Mbok Sri dengan suara yang bergetar, seolah menahan air mata.Aurelia menghela napas panjang, berusaha menguasai diri agar tidak panik. “Aku ada kelas hari ini, Mbok. Tapi nanti siang aku pasti ke sana, ya? Salam buat Caca. Semangatin dia terus.”“Baik, Bu. Terima kasih sudah mau datang,” kata Mbok Sri dengan nada penuh harap, suaranya lirih