Share

Bosnya Cewek

Rendi baru saja sampai di rumah warisan orang tua saat jam telah menunjuk ke angka tujuh. Di teras, ia mendudukkan diri pada lincak. Dibukanya sepatu lantas mengecek BEI dari ponselnya.

Seulas senyum pun mengembang bersamaan dengan pintu yang dibuka dari dalam. Rendi berbalik hendak menyalami kakaknya, tetapi ditepis. Selalu saja demikian.

"Nggak usah nuekno aku, Ren. Kita seumuran." Ari mengepal tangan dan mengulurkannya tepat di depan dada.

Rendi tampak menyungging senyum kambing, sebelum akhirnya membalas adu jotos dari sang kakak. "Enak bener ngomong seumuran!"

"Gimana hari ini?"

Rendi mencebik sembari menyugar rambut cepaknya. "Harusnya gue yang tanya, 'kan?"

Ari terbahak sejenak, sebelum akhirnya mengelus pipi pelan. "Kena tampar, Brai."

Rendi membeliak, lantas menyipitkan kedua mata. "Enak?"

Dalam sekali gerakan, Ari mampu menggetok kepala sang adik. "Rasanya kek kopi item prei gula! Bikin melek seharian!"

Kini berganti Rendi yang terbahak sembari memegangi perutnya, sedangkan Ari malah melirik tak suka. Menyadari hal itu juga karenanya, sang adik pun menghentikan tawa.

"Sorry ... kalo gue sering ngerepoti."

Tiba-tiba saja, suasana ceria tadi berubah melow. Kakak beradik itu terdiam lama. Masing-masing dari mereka menyelami pikiran, tak ada aksara yang terpintal.

Hingga akhirnya Ari membuka percakapan. "Dari dulu kan bapak udah sering ngingetin, kalo kita harus saling bantu satu sama lain."

"Harusnya, elu juga kuliah. Seenggaknya, elu bakalan punya ijazah buat ngelamar kerja."

Ari mencebik, lantas menggeleng pelan. "Aku nggak minat belajar. Pengennya ya ngutak-ngatik mesin mobil."

"Gue punya tabungan, kali aja elu bisa bi--"

"Iku duitmu, Brai, ojok ditawarne aku. Nanti malah tak pake buat seneng-seneng sama cewek sampek habis baru tau rasa."

Mendengar celetukan sang kakak tiri, Rendi langsung terdiam. Bukan karena konteks pada kalimat sang kakak, tetapi lebih pada kondisinya sendiri.

"Elu punya cewek?" tanya Rendi menelisik.

"Loh, kok ngenyek? Gini-gini banyak yang ngantri."

"Buat ngajakin nikah?"

"Nabokin pipi!" Rendi mengernyit, sedangkan sang kakak kian merasa kesal dengan adiknya. "Jadi inget cewek tadi."

"Serius elu mau ditabokin?"

"Semprul! Mana ada yang mau ditabokin? Kamu mau?"

Rendi mengedikkan bahu, lantas ia mengernyit mengingat akhir kalimat snag kakak. "Cewek siapa yang elu inget?"

Ari telah meraih sebatang rokok, lantas menyulutnya dengan korek api. Dihisapnya dalam, lalu mengembuskan asapnya sembarang. "Cewek orang."

"Lah, pacar elu ke mana?"

Ari menatap sengit pada Rendi, lantas meletakkan rokoknya pada asbak yang berada di tengah lincak. Ia memposisikan diri hingga bersila. "Aku nggak ada pacar. Tapi punya banyak gebetan."

Rendi makin tak paham dengan perkataan kakaknya. "Apa bedanya pacar Ama gebetan?"

"Ada cewek yang disuka?" Rendi menggeleng, antusias. "Jadi suka ama cowok?"

"Buju buneng! Gue kagak ada suka cewek bukan berarti gue suka sama pisang goreng!"

Ari tergelak sejenak. Diraihnya rokok, menyesapnya dalam-dalam, lalu kembali meletakkannya di asbak. "Cewek yang mbok suka atap yang suka kamu, itu namanya gebetan."

Rendi mengangguk-anggukkan kepala. Benar saja, Dimas dan Saka memang suka ngomong gebetan banyak, meski mereka tak pernah kenal sekalipun.

"Elu ngapain mikirin cewek orang?"

"Bosnya cewek. Dia nampar gegara akunya ketiduran! Puas?"

***

Ira Yusran

Jadi kira-kira, Rendi ini ikut nginvest juga? Anak2 kuliahan emang beda, ya, pengelolaan uangnya. Wkwkwk

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status