Share

Hak

Di dalam kamar Ari yang tengah bosan mencoba mencari-cari kertas berisi nomor telepon Supri yang diberi saat pertama kali berteman ketika wawancara kerja. Bermodal hasil bermain game, ia mampu membeli ponsel bekas sepulang dari bengkel siang tadi.

Ari masih tak habis pikir, tentang sikap perempuan yang berani menamparnya. Apalagi, status mereka adalah bos dan karyawan. Harusnya, sang pemimpin mengayomi, bukan malah seenaknya.

Dipencetnya layar ponsel sesuai yang tertera, hingga pada digit kesepuluh tinta bolpoin terserak. Membuat tiga angka paling belakang jadi tersamar.

"Ini pasti tintanya belom kering pas Supri ngasih balik," gerutunya.

Ari menyipitkan mata, lantas mulai menerka-nerka angka yang ada.

"Ini atas bawah melengkung. Kalo nggak tiga, pasti delapan," duganya.

Matanya memicing, lalu mulai memencet angka pada layar. Begitu pula pada digit seterusnya. Ia hanya mencoba menerka dari tulisan Supri pada digit sebelumnya. Saat mencoba menyamakan pola itulah, secara tak sengaja ia jemarinya melingkar pada layar yang berakibat diaktifkannya fitur perekam pada latar belakang.

Setelah nomornya disimpan, Ari segera menelepon dengan fitur panggilan audio visual. Foto profil seorang wanita yang tengah duduk di tengah padang bunga, tak membuatnya mengurungkan niat.

'Pinter bener si Supri milih gambar buat fopronya,' pikir Ari sembari mengaktifkan fitur pengeras suara.

Lekas diletakkannya ponsel pada meja di pojok kamar. Lantas, Ari membuka celana pendeknya hingga bersisa celana dalam. Ia mematut diri di cermin, memperhatikan luka di dekat pangkal pahanya.

Hingga pada saat bunyi tut berakhir, Ari langsung menghadap ke arah kamera, memperlihatkan pangkal pahanya sembari menunjuk tanpa melihat siapa yang menerima panggilan telepon.

"Pri, lukaku kok dadi ngene, ya?"

Sontak saja, sosok yang menerima panggilan video pun bersuara. "Burung kecil aja dipamer-pamerin! Dasar penjahat kelamin!"

Mendengar suara yang tak diharapkan, Ari mendongak dan mendekati ponselnya. Ia mengernyit heran, terlebih saat mendapati wajah yang menampar siang tadi hanya mengenakan singlet dengan belahan dada rendah.

"Loh, pemimpin kekanakan ternyata. Ngapain bawa ponsel Supri?"

Perempuan itu membeliak, lantas mematikan panggilan video secara sepihak.

Ari pun menyeringai, saat sadar ia punya tameng bagus meski lemah. Hampir saja ia kembali menelepon, saat melihat pada sudut bawah ponsel sebuah rekaman berjalan.

Sejenak Ari terdiam setelah memencet tombol henti. Namun, sedetik kemudian ia telah terbahak. Tentu saja, tamengnya kali ini akan lebih kuat dari apa pun juga.

"Nggak salah aku beteman sama si Supri. Dia bawa hoki."

Ari membawa ponselnya ke ranjang, lantas mencari file rekaman pada pengatur berkas. Dengan cekatan, ia memotong video menjadi lebih pendek. Tepat saat dimana rekaman itu menampilkan sosok sang pemimpin tengah memandangnya, sedangkan ia berjalan mendekat tanpa celana.

Sekali lagi ia menyeringai saat hendak mengirimkan potongan film pendek itu pada sang empunya nomor. Berulang kali ia mengetik, lalu menghapus pesan.

Begitu terus hingga tercipta sebuah kalimat yang tak akan pernah dibayangkan oleh si empunya bengkel Fiterus Asikin tempat Ari bekerja. Berbagai bayangan mengenai hidup yang akan berubah pun memenuhi benaknya. Bahkan, jin dalam botol pun akan malu saat keinginannya akan terkabul hanya dalam hitungan jam.

Hanya dalam sekali tekan, pesan beserta potongan video telah dikirim pada sang pemimpin. Sedetik kemudian, dua centang abu telah berubah warna.

"Wanita angkuh sepertimu, hanya akan mendapat balasan oleh pria sepertiku. Jadilah pacarku, atau kusebarkan video ini ke semua media sosial bahkan pada forum pecinta blue film. Ini bukan paksaan, tetapi sebuah kesepakatan. Mau atau tidak, itu hakmu. Kusebar atau kusimpan, itu hakku!"

Ira Yusran

Hayoloh. Jom, yang udah kepoooo gimana nasib si Lara Ama Ari. Yuk dibaca terosss

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status