Lantas, Rendi mengingat perta kalinya Lara memperkenalkan diri di hari pertama Ospek setelah ia dan kedua kawannya memergoki mahasiswi lain juga terlambat.
"Coba ke belakang sana! Cari tau, siapa aja yang nggak naatin peraturan!"
Sementara Diana mendelik pada ketiga trio kwek-kwek, para aktivis dan senior lainnya tampak memandang takjub pada seorang gadis yang auranya begitu kentara. Celana jin panjang dipadu dengan sepatu sport merek ternama, serta kardigan panjang tanpa lengan yang menyempurnakan t-shirt v neck pendek, membuat siapa pun terpana. Apalagi rambutnya digulung ke atas, menampilkan leher jenjangnya yang cipokable.
"Nggak perlu dicari. Gue di sini," ujarnya datar. Tak ada sorot mata yang lebih tajam dari tatapannya. "Catet nama gue. Niemas Lara Cita."
Diana tercekat. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Sementara ketua BEM terdiam, trio kwek-kwek yang berada tak jauh dari wanita bertubuh gempal itu terpukau dengan kedatangan sosok yang cantikable.
Dimas dan Saka saling menyikut, seolah-olah mereka mampu mengartikan bahasa tanpa kata, sedangkan Rendi ia masih terdiam. Kedua alisnya bertaut.
"Jongkok di sana!" perintah Rendi sembari melipat tangan di dada.
Sontak saja hal itu membuat Diana tersadar, lantas memukul kepala Rendi tanpa aba-aba.
"Gila, lu!" Wajahnya memucat, lalu mendekati primadona baru UKLAKA
Rendi yang hampir tersungkur pun diperam tanya. Terlebih, ratusan mahasiswa baru pun memelototi mereka. Seakan-akan menghakimi secara bersamaan mengenai yang dinamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia mengerjap-ngerjapkan mata, lantas bangkit dan menanyakan hal serupa pada Diana. Namun, bukan jawab yang didapat. Ia tak digubris. Keberadaannya pun tak dilirik.
Sementara Dimas dan Saka juga tak mau kalah. Mereka mengekor di balik Diana. Aroma strawberry pun menguar pekat dari rambut hitam legam Lara yang diterbang semilir angin.
Tentu saja hal itu kian membuat Dimas dan Saka lupa segalanya. Salah satunya mendorong Diana hingga tersungkur, lantas yang lain menggantikan posisi sang ketua BEM sebagai pemandu tur.
"Setan kalian bedua!"
Lara terhenti, lantas melirik pada samping kanan dan kiri. Didapatinya Dimas dan Saka yang tergila-gila setengah mati. Kemudian ia mencebik.
"Pemuja napsu." Lara mendecih setelah menyelesaikan ucapannya.
Alih-alih tak terima atau marah, Dimas dan Saka makin terpukau dibuatnya. Mereka hendak turut serta saat Lara kembali melangkah, sebelum akhirnya kerah kemeja mereka ditarik dari belakang.
"Jangan pergi, Cinta!"
"Temani aku tuk sebentar saja!"
Kedua pria pecinta wanita itu ditarik paksa oleh Diana hingga ke halaman utama. Mereka masih saja mengulurkan tangan pada angin lalu, sedangkan yang diinginkan telah hilang punggungnya di balik pintu.
Rendi yang menyaksikan betapa gilanya kedua kawan sedari kecil itu pun memukul dahi pelan. Sebenarnya ia malu, tapi jika bukan karena orang tua Dimas dan Saka yang baik, sudah pasti ia tak akan sudi mengakui.
"Ren, itu cewek cantik bener!"
"Sikapnya judes, tapi bikin gue gemes!"
"Ren, wanginya bikin gairah gue bangun!"
"Bodinya seksi, gue cinta mati!
Diana yang geram nan heran pun akhirnya buka suara. "Kalian bisa diem, nggak?"
Rendi menggeleng pelan, lalu mencoba memberi instruksi pada aktivis lainnya. Ospek harus tetap berjalan, meski tanpa gadis yang bernama Lara.
"Siapa?" tanya Rendi. Ia bertolak pinggang menuntut kejelasan.
"Bu-bukan siapa-siapa."
"Bella yang notabenenya 'keponakan' rektor aja masih elu suruh jongkok di sana. Sekarang, posisi orang dalam yang dikenal Lara pasti lebih tinggi dari Soesoe."
Diana mengerjap, lalu mengangguk pelan. Ia mendekati Rendi, lantas membisikkan fakta yang ada.
"Dia dari Fakultas Pasar Modal. Bokapnya Presdir AkuGame."
"Yang bikin game PUP sama Mobilo Mejen?" tanya Saka tiba-tiba.
Rendi yang tak tahu menahu tentang dunia permainan pun hanya membingkai wajah dan mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Dimas, ia menggeleng kepala kuat.
"Jan ngomong kalo si Lara bakal bikin game tandingan perusahaan bapaknya?"
Diana yang gemas pun langsung menggetok kepala Dimas. "Enggak gitu juga, Dim!"
"Terus kenapa?" tanya Rendi antusias.
"Dia itu investor sekaligus trader UKLAKA ...."
Ah, pantessss. Ternyata si Lara ini sultan ðŸ¤
"Ren, Ren, elu liat kagak itu cewek bohai? Duh, lirikannya aja tajem bener. Gue jadi klepek-klepek, lope seember," pungkas Saka pada Rendi. "Matanya aja tajem, dompetnya apalagi! Tajir melintir, oi! Gue juga mau kali ngegebet dia," timpal Dimas. "Kalian yang ngebet ama dia, dianya yang kagak sudi ama kelean bedua!" seru Rendi. Ia menatap pada Diana yang mengisyaratkan untuk mengikuti sang empunya mobil. Rendi menggeleng sebentar sebelum akhirnya mengangguk mantap. Lantas ia masuk ke dalam, meninggalkan duo kwek-kwek yang masih dimabuk asmara. Tiba-tiba saja, Bella, datang menghalangi langkah Rendi yang tampak tergesa. "Mau ke mana?" "Elu ngapain di sini? Kenapa kagak ikut pembekalan di aula?" berondong Rendi
Di bengkel mobil Fiterus Asikin, terlihat banyak montir tengah bersiap menyambut pagi. Demikian pula dengan Ari yang telah duduk pada alas tidur montir. Sesekali, ia tersenyum sendiri. Kemudian mengibas udara kosong bak tengah menghalau serangga yang datang mendekat. Supri yang baru saja tiba, merasa ada yang aneh pada diri kawannya itu. Terlebih ia ingat betul, bagaimana kemarin emosi pemuda berambut cepak meninggi gara-gara ulahnya sendiri. "Cengar-cengir ae, Su! Nggak inget kemaren? Apa udah geger otak?" "Info geger geden, Pri! Tak tebasse kabeh! (Info pertengkaran besar, Pri! Tak habisi semua!" jawab Ari peringisan. Supri yang telah mendekat pun meletakkan telapak tangannya pada dahi Ari, menduga-duga suhu tubuh. Lantas, kembali meletakkan tangannya ke arah bokongnya sendiri. Sesaat ia menggeleng smabil berkata, "Gendeng bocah Iki."
"Cengar-cengir! Diapain sama Lara?" Lalita, gadis berambut pendek sebahu itu langsung mendekati Ari saat tahu pria itu menuruni anak tangga. "Liat, aja, sendiri," usul Ari sembari mengedikkan bahu. Ia kembali ke stationnya, lalu mulai mengambil mobil sesuai nomor antrean. "Kenapa dipanggil secara pribadi, Su?" tanya Supri yang mencuri waktu untuk sekadar melepas rasa ingin tahu. "Uwis tak bilangi kemaren, 'kan Pri? Cewek itu bakalan jatuh cinta. Bukan lagi jatuh ketimpa tangga, tapi jatuh kepalang basah." Ari mencoba menahan tawa saat bayangan Lara yang tengah mendelik, menahan amarah melintas begitu saja. "Gendeng, Su. Yang bener?" Tanpa menjawab tanya Supri, Ari meneruskan pemeriksaan sesuai keluhan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara ribut dari lantai dua. Beberapa tamu und
"Elu diapain, Ra?" tanya Lalita antusias. Kini, mereka berdua telah berada di sebuah butik baju wanita ternama, tak jauh dari lokasi gedung bengkel yang baru diresmikan. Sembari mematut diri di cermin, kedua mata Lara memicing, menatap tajam pada bayangnya sendiri. "Montir itu keterlaluan. Kita pecat dia!" "Itu bukan jawaban atas pertanyaan gae,Ra." "Elu liat sendiri, 'kan? Gue basah kuyup dan elu masih nanya gue diapain? Pertanyaan bullshit!" Lalita terdiam, lantas menopang dagunya setelah menumpukan siku pada meja. "Jan kelewat kesel, Ra, takutnya elu malah dapet karma." "Gue yang disiram, gue juga yang dikarmain?" "Gue tahu betul siapa elu, Ra, nggak mungkin rasanya seorang Lara diem aja pas dipermaluin. Atau jangan-jangan, elu duluan yang bikin itu montir emosi?" Lara tertawa
"Nungguin apa, Su?" tanya Supri. Kedua alisnya menukik tajam lantaran merasa dibohongi. "Sst! Aku pingin ero, mereka mau makan-makan di mana, Pri. Mau tak tunjukin, kalo kita juga bisa makan enak di tempat yang sama." Mendengar jawaban Ari, Supri pun menghela napas panjang. "Oh, jadi kita nguping ini ceritanya? Niat amat, Su!" "Ojok rame ae, Pri! Arep ora?" Supri menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia mengangguk lemah. Demi apa pun atas nama keuntungan dan kesetiakawanan, ia rela berlama-lama. Sementara itu, selain menguping Ari sibuk mengutak-atik ponselnya. Sesekali ia tersenyum, sedetik kemudian menggeleng sembari menepuk jidat pelan. "La--" "Sstt!!" Ari memonyongkan bibir dan memposisikan telunjuk tegak sejajar mulut, saat mulai terdengar suara dari dalam bengkel. Lincak yang berada di balik penyek
Beberapa kali, Ari merasa ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Sayangnya, meski ia mengedar pandang ke segala penjuru arah, tetap saja tak ditemukan apa yang salah. Selain tak adanya Lara di bangkunya. Ari mencoba terus menelisik. Bagaimanapun juga, ia tak akan tega membuat perempuan menangis. "Apa aku keterlaluan, ya?" Hampir saja ia beranjak, saat dilihatnya Lara masuk dengan seringai. Kedua ttaapant matanya tampak tajam nan lekat. Terlebih saat jarak mereka kian dekat. Tanpa sadar, ponsel spesifikasi tinggi milik Lara mengarah padanya. Hingga beberapa kali gambarnya diambil tanpa sepengetahuan. "Mau ke mana, Su?" Sadar ia dalam posisi setengah berdiri, Ari kembali mengenyakkan bokongnya ke kursi. "Nggak jadi, Pri." Hidangan Supri telah tandas. Hanya bersisa saus keju yang belepotan di jemarinya. Dengan telaten pria paruh baya itu menjilati satu per satu jarin
Dua pria berbeda usia itu melenggang pergi dari sebuah toko perbelanjaan. Wajah mereka kuyu, terlebih makin terlihat lunglai saat keduanya menarik napas panjang. "Gini banget, yo, Su, jadi orang kaya! Bingung apa yang mau dibeli. Eman-eman!" "Iyo, Pri, kukira punya kuasa dan harta itu bisa enak. Ternyata cuma fatamorgana." "Andai aku punya nurani orang baik kek gitu, duitmu nggak mungkin habis buat belanja sempak seharga setengah jutaan!" Setelah Supri menyelesaikan kalimatnya, lantas mereka terbahak bersama. Tak lupa pula mereka saling beradu tinju di dada. Banyaknya tas kertas dalam genggaman tak membuat mereka menyudahi acara belanja. Beberapa potong pakaian mahal, serta sepatu dan juga sandal telah di tangan. Namun, rasanya masih belum cukup untuk sekadar menjadi obat penasaran. "Bau barang mahal emang bedo, yo, Pri?" Su
"Argh!!" Seorang pria yang tengah menuruni eskalator tampak kehilangan kontrol diri. Tangannya menutup mulut dengan cepat saat ada zat asing yang membuatnya mual hingga hampir muntah. Tak ada pilihan lain, seturunnya dari eskalator ia langsung memuntahkan isi perutnya ke arah luar pagar pembatas. Tanpa sadar, saat usahanya hendak mengeluarkan isi perut, tubuhnya menegang seketika. Napasnya berhenti hendak muntah. Dalam posisi demikian, tak banyak yang tahu bahwa ia telah berpulang. Hingga seorang petugas keamanan mencoba menegur, riuhlah plaza lima lantai. "Su!" panggil Supri mengejutkan, sesaat setelah teriakan para pengunjung mal menggema. "Opo seh, Pri? Mbengak-mbengok ae!" "Ada orang meninggal pas muntah. Kamu jangan muntah dulu." Supri berbisik pada Ari, saat keduanya melewati kejadian tempat perkara. Menyeruak beberapa kerumunan. "Ediaan! Di