Di kamar berukuran empat kali lima dengan kamar mandi dalam ruangan, Ari merebahkan badannya pada ranjang. Sembari menonton tayangan video yang diambil sendiri, ia cengar-cengir tak keruan.
Betapa tidak. Ia datang ke rumah minimalis semi industrial itu hanya untuk memenuhi panggilan Lara. Namun, pria yang dikenal pecinta wanita malah mendapat satu senjata menarik di sana.
Ari yang mendengar suara desahan pun langsung mengeluarkan ponselnya. Sembari merekam, ia mulai masuk dan mencari sang empunya rumah.
Ruang tamu yang didominasi warna hitam dan abu dilewati Ari begitu saja. Pada koridor yang penuh aksen kayu dengan pencahayaan terang, ia mengarahkan ponselnya.
Dari koridor itulah, ia melihat Lara mengenakan bikini berwarna hitam pekat. Tubuh gadis ranum itu sintal berisi hingga membuat Ari menelan ludah sendiri.
Kain bikini yang basah, serta anak rambut yang meneteskan air kian
Ari mengernyit heran, lantas menarik lengan yang masih menegang ke arah Rendi. Ia menatap notifikasi pada layar ponsel."Siapa?" tanya Ari, mendongakkan dagu."Eh, nggak gue kira tadi baca notif wa masuk nyebut nama itu. Dia cewek elu?"Ari mencari celah dalam tatapan Rendi, tapi tak ditemui apa pun selain gurat wajah yang diperam tanya. "Dia bos bengkel."Mendengar jawaban Ari, Rendi tampak bernapas lega. Namun, sedetik kemudian ia membeliak. "Dia yang nabok elu pas awal kerja?"Lirikan membunuh pun langsung dilesatkan Ari. Ia yang berupaya keras melupakan kejadian itu dengan memanfaatkan sang pelaku, malah orang lain yang mengingatkannya lagi."Gue salah ngomong, dah." Rendi nyengir kuda."Pergi sono! Aku nggak minat ngerungokke awakmu! Njur loro ati!" usir Ari. Ia lantas bangkit dan menarik lengan sang adik."Tapi
"Lagi bongkar rumah, butuh jasa arsitek, Yang," tulis Ari pada salah satu aplikasi perpesanan yang dikirim pada sang kekasih.Tak butuh waktu lama, titik tiga tengah bergoyang di bawah nickname yang disemat Ari. Judesi Cantika. "Bomat!""Kenalin arsitek rumahmu, ya, Sayang," goda Ari.Sungguh, sejak ia datang bertamu, Ari tak henti-hentinya memikirkan kemolekan tubuh Lara. Terlebih, tatonya kian membuat gadis delapan belas tahun itu makin seksi tak keruan. Ponsel Ari bergetar, lantas dibukanya pesan."Oke, gue kenalin. Gantinya, elu hapus satu video."Ari yang memang tak ingin kalah hanya mencebik sembari kembali mengetik balasan. "Nggak semudah itu ngehapus video, Yang. Mending tak arsiteki sendiri. Tiduro, Cantik."Ari menyimpul senyum sebelum akhirnya memejamkan kedua mata. Diabaikannya getar ponsel yang menderu tanpa henti. Tanda seseorang tengah me
"Sendirian, Tar?" Ari mengedarkan pandang ke arah sekitar, tapi tak ditemukannya ketiga kawan seikatan."Hah? Elu ngapain di sini?" tanya Tarissa yang turut mengekori tiap pandangan salah satu karyawan di bengkel bersama Eiffor."Ini tempat umum, 'kan? Nggak ada larangan pula buat aku masuk.""Maksudku bener-bener ngapain, Ri?"Hampir saja Ari mencebik jika tak mampu menahannya barang sedetik. "Aku lagi renov rumah. Renov sendiri aku. Eh, berdua ding sama adek. Jadi beli banyak kebutuhan di sini. Lumayan ada diskon banyak. Bisa mangkas pengeluaran juga nantinya."Tarissa mengangguk, lantas maju beberapa langkah hingga berada tepat di depan meja pembayaran. Dikeluarkannya beberapa ambalan gantung dengan berbagai macam ukuran dari keranjang belanjaan."Gue di sini beli ini. Mo re-dekor kamar. Udah bosen."Ari yang tak bertanya hanya mengang
"Kepiye, Su, progres rumahmu?" tanya Supri, saat Ari baru akan mengambil mobil yang antri."Alhamdulillah, wis roboh. Hari ini mau mondasi."Jawaban singkat Ari membuat Supri mengernyit. Sembari mengganti oli, pria berusia 47 tahun itu terus memberondong Ari."Sebenernya lebih enak dikerjakan tukang sama yang udah pengalaman, 'kan, Su? Kenapa repot-repot kerjain sendiri? Pagi di sini, malem di rumah, kapan pacarane?"Ari tak lagi menjawab. Ia hanya melirik sembari mengulas senyum hangat. Bukan tak mampu membayar tukang, tapi ia belum mendapat gambaran yang pas hendak dijadikan apa nantinya.Pria berusia 29 tahun itu telah kembali ke stationnya bersama sebuah mobil yang berkelas. Lantas, ia memulai pekerjaannya dengan telaten. Tak berselang lama, seorang perempuan dengan pakaian semi formal datang menghampirinya."Gimana mobilnya, Mas?"So
"Apa? Yang bener?" tanya Rendi yang melotot tak percaya."Mana pernah aku mbijuk? Aku tenanan, lah. Nggak apa tinggal di sini sementara. Paling juga dua tiga bulan kelarnya," jawab Ari menggampangkan."Masalahnya, mbangun rumah 6x10 meter itu nggak cuma sekamar, Kak! Mana bisa lu lakuin sendiri?"Kali ini Rendi bangkit dari ranjang dan meraih rokok elektriknya. Ia mengambil duduk tepat di depan sang kakak."Kalo buat ngecor ya pasti butuh bantuan, Ren, lebih dari itu ya kemungkinan tak lakuin sendiri. Lumayan sambil ngumpulin duit lagi.""Elu gila? Pagi kerja, malem juga mau kerja? Jan kemaruk kalo kata ayah.""Bukan kemaruk, Ren," bela Ari. Lantas ia menyesap rokoknya dalam-dalam. "Ini namanya lagi mode rajin. Anggep ajalah aku istirahat di kamar kalo malem.""Gue bantuin.""Nggak perlu.""Gue ma
"Elu kerja sampingan, Ren?" tanya Saka. Kedua matanya melotot ke arah kawannya sejak dini, sedang tangan yang tadinya menyangga kepala merenggang ke arah Rendi."Bukan kerja, sih," jawab Rendi yang menggaruk kepala."Terus apaan?" Dimas mengalihkan pandang, enggan terlalu overask pada sang kawan."Rumah lagi direnov sama kakak. Gue cuma bantuin dikit-dikit, lah.""Wait ...." Dimas menghentikan aksinya yang hampir meneguk segelas kopi dingin.Melihat gurat tanya pada wajah Dimas, Rendi hanya mengangguk, membenarkan. "Gue nguli."Sontak saja, Dimas dan Saka menggeleng sembari berdecak. Rendi yang merasa diperhatikan pun hanya merasa terharu pada kedua kawan yang tak biasanya seperti ini. "Gue nggak apa, kok, kalian nggak usah bantuin."Rendi mengulas senyum saat Dimas dan Saka ternganga. Merasa begitu hebat, laki-laki beralis tebal itu kemb
"Kan gue uda pernah bilang, elu nggak boleh deketin Eiffor!"Ari yang mendengar teriakan Lara dari ujung ponselnya hanya bisa sedikit menjauhkan speaker dari telinga. Lantas, ia menyimpul senyum kuda. "Bukan gitu, Ra. Dia sendiri yang ngedeketin aku. Awak'e tau sendiri 'kan pesonaku emang sekuat itu.""Bullshit!" maki Lara penuh emosi."Jadi, kiro-kiro awak'e iki cemburu gitu, ya?" goda Ari yang kemudian duduk dan bersandar.Tarissa yang berada di bangku lain, melihat ke arah Ari sembari tersenyum ramah."Jan ngimpi di siang bolong!""Tapi tunggu. Awak'e kok tau kalo aku sama salah satu genkmu? Nyewa mata-mata?"Seketika itu juga, Ari mengedarkan pandang. Tak didapatinya sosok yang mencurigakan kecuali ....Perlahan Ari mendekati meja di belakangnya, lantas menarik koran yang tengah dibentang hingga menutupi wajah. So
Lara memukul kabinet berwarna broken white dalam kamarnya dengan kencang saat melihat beberapa gambar bidikan dikirim ke ponselnya. Rahangnya mengerat, sedangkan matanya memicing tajam."Argh! Lama-lama gue bisa stres kalo mikirin si berengsek!"Kamar tidur yang didominasi warna hitam dan putih itu terasa pengap untuk sesaat. Lantas, Lara membuka jendela besarnya hanya dalam sekali gerakan."Ini nggak bisa dibiarin. Gimanapun juga, dia megang kartu bagus buat ngejatuhin gue!"Lara memikirkan banyak cara untuk sekadar membuat Ari lengah. Lalu ia akan dengan mudah menghapus jejak digital dalam akun surel milik sang montir licik."Gue nggak bisa ngebiarin ini!"Dengan cepat Lara membuka aplikasi perpesanan dan menuju ke grup Eiffor. Selain Lalita dan Derisca yang saling melempar canda, Tarissa masih enggan menampakkan batang hidungnya."Tari