KENZO
“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”
“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.
“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.
Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.
Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanita yang tepat untukku hanya dalam waktu satu bulan. Jika tidak, seperti ancaman Papi, aku tidak akan menjadi ahli warisnya lagi.
Aku mendesah sambil memainkan botol kosong di meja yang kutempati. Berpikir, betapa menyedihkannya aku sekarang. Dengan gajiku yang tidak sebesar pendapatanku saat masih menjadi pengusaha, aku tidak dapat menyewa kamar VIP. Di sini, mana ada gadis yang tertarik pada orang yang hanya mampu membayar bir paling murah dan duduk di meja biasa? Apalagi jika melihat mobil yang kukendarai saat ini. Gadis-gadis itu pasti akan kabur sebelum aku bisa menyapa mereka.
Padahal, rencanaku adalah mencari gadis sebanyak-banyaknya dalam waktu bersamaan untuk kupilih lalu kuperkenalkan pada orang tuaku. Tapi, baru saja hendak melangkah, aku sudah kekurangan modal untuk menarik perhatian para gadis yang sesuai dengan seleraku itu.
Aku kembali memandang sesama pengunjung yang tengah melantai. Ada yang santai menikmati alunan musik yang diramu oleh DJ, ada pula yang bergerak liar. Aku curiga, yang bergerak mirip cacing kepanasan itu adalah pengguna obat-obatan yang mengira goyangan mereka enak untuk disimak.
Aku terkekeh melihat berbagai jenis manusia yang tengah melantai itu. Aku menimbang-nimbang, haruskah turun melantai dan mendekati sejumlah gadis yang berpenampilan seksi dan berdandan heboh itu?
Tepat saat aku memutuskan untuk turun, sudut mataku menangkap sosok gadis bergaun biru ketat dan mini, yang memperlihatkan lekuk tubuh dan belahan dadanya. Aku terkesima melihatnya bergerak di bawah siraman lampu warna-warni yang menyorot dari berbagai arah.
Gadis bergaun biru itu gadis yang cantik. Melihatnya membuatku teringat pada sosok gadis lain yang aku kenal. Sayang, aku lupa, siapa gadis lain yang mengingatkan aku pada gadis bergaun biru itu.
Tapi, tidak perlu memikirkan hal yang tak berhubungan dengan apa yang ada di depan mata. Dengan penuh semangat, aku bergabung dengan kumpulan orang-orang yang tengah berdansa. Merayap mendekati gadis yang memikat pandanganku itu, menembus barikade sesama pengunjung yang masih menikmati keramaian malam itu.
Tampaknya, biru kini menjadi warna favoritku.
***
HUSNA
Pulang dari acara menginap di kediaman Bu Krisye dan Pak Kenta dua hari yang lalu, aku lebih banyak diam. Sampai-sampai, Asma mengira bahwa aku tidak suka berada di sana.
Asma bahkan khawatir, karena aku tidak suka menginap di rumah sebesar istana itu, maka dia akan kehilangan kesempatan lagi untuk merasakan kemewahan di sana. Dasar!
Aku memang tidak memberitahukan adikku itu tentang permintaan Bu Krisye dan Pak Kenta. Tentang menjadi calon istri Kenzo, putra mereka satu-satunya.
Kupikir memang tidak perlu memberitahukan adik semata wayangku itu. Sebab, selain masih anak-anak, Asma juga mungkin berpandangan bahwa aku harus menerima permintaan itu. Tentu saja, alasannya pasti agar dia bisa ikut menikmati kemewahan di rumah Kenzo sebagai adik iparnya.
Maka, aku terpaksa menyimpan keresahan ini sendiri. Aku sudah meminta waktu untuk berpikir pada Bu Krisye. Sebab, rasanya sungkan jika harus menolak mentah-mentah. Dengan sedikit basa-basi sebelum menolak permintaan Bu Krisye, aku bisa mengatasi rasa tidak enak hati ini.
Meskipun aku tahu bahwa Bu Krisye tidak mungkin bercanda saat memintaku menjadi calon istri anaknya, aku tidak ingin mengambil kesempatan. Ya, Kenzo memang keren. Tapi, siapa aku dibandingkan dengan dirinya?
Aku tidak percaya bahwa Cinderella benar-benar ada. Menurutku, orang-orang hanya akan bergaul dengan sesamanya. Orang kaya seperti Kenzo dengan sesamanya. Orang miskin seperti diriku dengan sesamaku pula.
Terlalu banyak perbedaan yang harus dipertimbangkan jika aku menerima tawaran Bu Krisye. Lagipula, aku juga tidak mengenal Kenzo. Dia pun tidak tahu apa-apa tentang aku. Lantas, apa yang membuat aku jadi pantas untuk bersanding dengannya?
Setelah membalik papan bertuliskan BUKA yang tergantung di jendela toko kue kecilku, aku kembali ke dalam dan duduk di balik meja kasir. Menunggu pembeli pertamaku dengan pikiran yang masih terbebani.
Tak lama setelah aku duduk, seorang wanita memasuki toko sambil mengucapkan salam. Aku membalas salamnya sambil berdiri.
Namun, setelah mengenali wanita yang masuk itu, aku tercengang. Setelah setahun ini tidak melihatnya, kini wanita itu tiba-tiba muncul lagi di depan mataku. Apa yang dia inginkan, setelah mengusir aku dan Asma dari rumah kami sendiri hingga terpaksa tinggal di kos-kosan sempit?
KENZOAku memeriksa akun-akunku di berbagai sosial media. Lalu tersenyum saat mengetahui bahwa Cindy, gadis yang tengah bersamaku saat aku menabrak mobil yang ditumpangi oleh Papi, kini telah bekerja di sebuah perusahaan atas rekomendasi Papi.Aku tidak mengucapkan selamat atau kata-kata lainnya karena khawatir Cindy masih belum bisa menerimaku. Akan tetapi, diam-diam aku berdoa yang terbaik untuknya.Kemudian, aku menggeser layar ponselku dan melihat foto Putri tengah bersama makan malam bersama Bang Rano. Sekarang aku tahu, kenapa Bang Rano minta izin pada Papi untuk tidak hadir dalam acara ini, walaupun diundang oleh kedua orang tuaku.Namun, biarlah. Baik Bang Rano mau pun Putri tentunya menghindari situasi yang canggung jika mereka tetap hadir malam ini. Padahal, saat melihat foto mereka, aku tidak merasakan apa-apa. Benar-benar tidak merasakan cemburu, bahagia mau pun kesal. Datar saja.Daripada berlama-lama melihat foto Putri, aku berganti sosial media. Pandanganku langsung ter
HUSNASambil tersenyum kikuk, aku menyerahkan uang kembalian pada seorang anak perempuan yang membeli browniesku.“Kak, uangnya kelebihan, nih. Harusnya dua puluh ribu saja,” tegur gadis kecil itu, jujur.Aku tersentak, menyadari kesalahanku. Sambil mengucapkan maaf dan terima kasih, aku menerima kembali kelebihan uang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Sebagai ucapan terima kasih, aku memberikan teh kemasan satu botol padanya.Setelah gadis kecil tersebut meninggalkan tokoku, aku mengintip jam di ponselku. Sudah lebih dari lima belas menit Kenzo dan Himawari berbicara di ruang tengah rumah kontrakanku. Mudah-mudahan mereka sudah bisa menyelesaikan masalah di antara mereka. Masalah yang juga telah menyeretku hingga harus berpura-pura pingsan segala.Sebenarnya, aku masih merasa malu pada Kenzo karena sudah kasar padanya. Padahal, dia hanya ingin menolongku yang tiba-tiba terkapar di lantai tokoku. Meskipun perbuatan konyolku itu timbul karena ulah Himawari juga, tak ayal aku merasa bersa
KENZOAku semakin malu saja pada Husna. Aku tahu, aku yang pertama kali melakukan kesalahan dengan membentak Hima. Kalau Hima tidak langsung mau memaafkan aku, itu antara aku dan dia saja. Tapi tidak ada hubungannya dengan Husna.Aku terheran-heran. Kenapa saat sedang marah padaku, Hima justru kabur ke tempat Husna? Mereka belum lama saling mengenal, tapi Hima sudah berani mengganggunya saat sedang merajuk begini.Belum lama saling mengenal. Kalimat ini akhirnya membuat aku bisa menerka alasan di balik kaburnya Hima ke toko Husna.Hima tidak punya teman di kota ini. Teman-teman yang ia kenal semasa kecil, semuanya telah berada di seberang lautan. Sama seperti Hima yang sebenarnya juga menetap di luar negeri.Di kota ini, hanya aku dan keluargaku yang Hima kenal dengan baik. Takdir membuat ia akhirnya mengenal Husna dengan perantara adik-adik mereka dan brownies buatan Husna. Jadi
KENZOAku merasa malu. Sangat malu pada Husna karena tingkah laku Hima yang telah merepotkannya.Maka, aku segera bertolak ke toko sekaligus rumah Husna untuk menemui Hima. Sekaligus meminta maaf pada Husna yang sudah direpotkan oleh sepupu jauhku itu.Saat aku hendak memasuki mobil, aku melihat Vita tengah berada di antara dua orang gadis lain yang tampaknya adalah sesama mahasiswi. Mereka tengah menghibur Vita yang tampak sedang menangis.Aku tertegun sebelum menyalakan mobil. Merasa bersalah telah mengatakan bahwa kami hanya teman. Setelah apa yang telah aku lakukan untuknya, membantunya agar tetap dapat kuliah, memberinya harapan, lantas mengatakan bahwa bahwa kami tidak ada hubungan apa-apa.Padahal, aku sendiri yang ‘memilih’ Vita sebagai calon pertama untuk menggantikan Husna. Sekarang, aku mengelak saat Vita menyatakan perasaannya yang jujur saja, membuatku terkejut.Pengecut. Kurang ajar. Entah kata-kata kasar apa lagi yang dapat disematkan padaku.Apa aku menemui Vita dulu y
HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga
KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat