Share

Bab 6. Visi Papi

Penulis: WN. Nirwan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-14 12:11:04

KENZO

Malam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.

Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.

Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.

Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.

“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”

Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak bermasalah. Jadi, aku tidak akan salah paham dengan maksud Papi.

“Ca-calon istri?” sentakku, tergagap.

“Iya. Husna adalah gadis yang cocok. Dia baik hati, suka menolong dan pekerja keras. Cantik, pula. Calon istri idaman yang bisa mendampingimu. Dia pasti bisa ikut membantumu saat Papi dan Mami menyerahkan kendali usaha keluarga kita pada kamu setelah kamu lulus kuliah nanti,” sahut Papi terus nyerocos tak memberiku kesempatan bicara.

Aku menggeleng kuat-kuat. Tapi lagi-lagi, Papi tidak membiarkan aku berargumen.

“Husna itu perempuan yang cocok untuk mendampingimu. Meskipun bisnisnya masih skala mikro, tetap saja dia sudah memahami bisnis. Anaknya juga baik, ikhlas menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Saat kamu mengambil alih kendali usaha keluarga ini, Husna akan menjadi penanggung jawab program CSR kita.”

Ya ampun, kini Papi menyinggung soal corporate social responsibility (CSR) segala. Konsep di mana perusahaan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan bisnisnya seperti masalah polusi, limbah, sampai masalah keamanan.*)

Dasar pebisnis. Papi selalu bisa memberikan visi yang jelas dan gamblang mengenai apa yang akan beliau sampaikan. Setelah tiga bulan mengenal Husna, Papi kelihatannya yakin sekali bahwa Husna bisa menangani program CSR kami seperti yang Mami lakukan selama ini. Konsep suami mengejar profit dan istri mengelola badan amal sepertinya sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam keluarga kami.

Aku belum tahu pandangan Mami soal Husna, tapi aku yakin Papi dan Mami sudah sepakat untuk menjodohkan kami hingga tak segan membahas soal pernikahan seperti ini. Yang jelas, di mata Papi, Husna tak hanya memiliki value sebagai wanita yang akan mendampingiku dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga dalam bisnis.

“Sebentar, Pi. Papi bercanda, ‘kan? Ken belum kenal Husna, tapi Papi sudah mau menjodohkan kami. Ken belum kepikiran soal pernikahan, Pi. Lulus kuliah saja belum,” sergahku.

Aku tidak bisa menerima ini. Bukan hanya masalah perjodohannya. Aku sendiri juga belum ingin terikat. Lagipula, apa gadis sederhana seperti Husna mampu mendampingiku, memenuhi harapan Papi?

Tapi Papi bukan sosok yang suka bercanda, sekalipun beliau adalah pribadi yang ramah. Raut wajahnya tidak berubah mendengar penolakanku. Papi pasti sudah menduga, aku akan menolak mentah-mentah.

Masalahnya, Papi adalah sosok yang punya berbagai cara untuk mendapatkan apa yang beliau inginkan. Papi pasti sudah memperhitungkan, senjata apa yang akan beliau gunakan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Tenang, Nak. Makanya, Papi tidak menyuruhmu menikah sekarang. Papi dan Mami kasih waktu dua tahun untuk kalian agar saling mengenal. Istilahnya, tunangan dulu, gitu,” kata Papi memulai aksinya menekan aku.

“Tetap saja, Pi. Ken tidak setuju. Ken punya kriteria sendiri tentang cewek yang ingin Ken jadikan istri. Dan kriteria itu jelas tidak ada pada diri Husna,” sanggahku.

“Memangnya, apa yang kurang dari Husna? Dia terlihat sempurna di mata Papi dan Mami.”

“Dia cewek kamp— maksud Ken, dia pasti tidak akan bisa beradaptasi dengan kehidupan Ken. Dia itu….”

“Kehidupan yang mana?” potong Papi tajam. “Berpesta di club sampai pagi? Mabuk tapi nekad menyetir sampai nyaris merenggut nyawa Papi dan dua orang bawahan Papi?”

Aku terhenyak. Kehabisan kata-kata.

“Nak, kamu sudah dua puluh tahun. Sudah waktunya mengarahkan hidupmu menjadi lebih positif, lebih baik. Papi dan Mami tidak bisa memercayaimu untuk mengambil alih kendali usaha keluarga kita, jika hidupmu masih mengutamakan kesenangan semu seperti itu.”

Kali ini aku terkejut. Meskipun aku tahu bahwa Papi akan menekan aku, aku tidak menyangka bahwa beliau akan melancarkan ancaman seperti itu.

“Papi tidak kekurangan orang-orang hebat untuk meneruskan usaha keluarga kita. Bahkan, kalau Papi ingin pensiun saat ini, Papi bisa saja menunjuk salah seorang anak didik Papi untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan kita. Tapi, lebih dari itu, Papi ingin agar kamu yang menjadi ahli warisnya, Nak. Masalahnya sekarang, apakah kamu mampu dan mau memperbaiki diri untuk menjadi ahli waris yang Papi harapkan.”

Papi diam sejenak sambil menatapku. Aku juga membisu. Menunggu kelanjutan kata-kata Papi.

“Di mata Papi dan Mami, bersama Husna, kalian bisa menjadi tim yang hebat, baik dalam kehidupan rumah tangga mau pun pekerjaan. Percayalah, Papi dan Mami tidak mengambil keputusan dengan tiba-tiba. Kami sudah memikirkannya masak-masak sebelum memilih Husna sebagai calon istrimu.”

Tepat setelah Papi menyelesaikan uraiannya, Mami mendekati kolam renang. Di sebelahnya, Husna mengikuti dengan pandangan agak menunduk. Canggung sekali.

“Jangan kelamaan berenangnya, Ken. Makan malam sudah hampir siap, tuh,” kata Mami.

“Iya, Mi. Ken sudah selesai, kok. Nggak perlu disamperin ke sini.”

“Bagus. Kasihan ‘kan Husna dan adiknya, jangan-jangan sudah lapar.”

Husna mengangkat kepala saat mendengar kata-kata Mami.

“Maaf, saya belum….”

Kalimat Husna terpotong saat pandangannya mengarah padaku. Ia tampak terkejut, lalu berbalik dan segera menjauh dari kolam renang.

“Sa-saya ke kamar dulu,” pamitnya tergesa.

Aku dan Papi saling menatap. Kebingungan melihat tingkah gadis berjilbab itu. Tapi, Mami rupanya tahu, apa yang membuat Husna kabur begitu saja.

“Coba itu ditutup dulu kalau ada perempuan di dekatmu,” kata Mami sambil menunjuk apa yang aku kenakan di bawah pinggangku.

Secara bersamaan, aku dan Papi menengok ke tempat yang ditunjuk oleh Mami. Aku langsung menyadari bahwa aku masih mengenakan celana renang pendek yang memperlihatkan pangkal pahaku dan menonjolkan bagian yang ‘itu’. Panik, buru-buru aku menutupinya dengan jubah dan mengikatnya.

“Telat. Sudah telanjur dilihat Husna,” seloroh Papi sambil terkekeh.

Mami juga tergelak melihat reaksiku yang memang terlambat. Tega orang tuaku ini. Menertawakan anak mereka sendiri yang kini merasa malu.

Sebentar. Malu? Aku merasa malu pada seorang gadis, setelah apa yang pernah aku lakukan dengan gadis-gadis sebelumnya yang kubawa ke hotel untuk ‘bersenang-senang’?

Tidak! Aku menggeleng kuat-kuat. Mengapa aku harus malu pada Husna?!

*) dikutip dari https://bakrie.ac.id

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 50

    KENZOAku memeriksa akun-akunku di berbagai sosial media. Lalu tersenyum saat mengetahui bahwa Cindy, gadis yang tengah bersamaku saat aku menabrak mobil yang ditumpangi oleh Papi, kini telah bekerja di sebuah perusahaan atas rekomendasi Papi.Aku tidak mengucapkan selamat atau kata-kata lainnya karena khawatir Cindy masih belum bisa menerimaku. Akan tetapi, diam-diam aku berdoa yang terbaik untuknya.Kemudian, aku menggeser layar ponselku dan melihat foto Putri tengah bersama makan malam bersama Bang Rano. Sekarang aku tahu, kenapa Bang Rano minta izin pada Papi untuk tidak hadir dalam acara ini, walaupun diundang oleh kedua orang tuaku.Namun, biarlah. Baik Bang Rano mau pun Putri tentunya menghindari situasi yang canggung jika mereka tetap hadir malam ini. Padahal, saat melihat foto mereka, aku tidak merasakan apa-apa. Benar-benar tidak merasakan cemburu, bahagia mau pun kesal. Datar saja.Daripada berlama-lama melihat foto Putri, aku berganti sosial media. Pandanganku langsung ter

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 49

    HUSNASambil tersenyum kikuk, aku menyerahkan uang kembalian pada seorang anak perempuan yang membeli browniesku.“Kak, uangnya kelebihan, nih. Harusnya dua puluh ribu saja,” tegur gadis kecil itu, jujur.Aku tersentak, menyadari kesalahanku. Sambil mengucapkan maaf dan terima kasih, aku menerima kembali kelebihan uang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Sebagai ucapan terima kasih, aku memberikan teh kemasan satu botol padanya.Setelah gadis kecil tersebut meninggalkan tokoku, aku mengintip jam di ponselku. Sudah lebih dari lima belas menit Kenzo dan Himawari berbicara di ruang tengah rumah kontrakanku. Mudah-mudahan mereka sudah bisa menyelesaikan masalah di antara mereka. Masalah yang juga telah menyeretku hingga harus berpura-pura pingsan segala.Sebenarnya, aku masih merasa malu pada Kenzo karena sudah kasar padanya. Padahal, dia hanya ingin menolongku yang tiba-tiba terkapar di lantai tokoku. Meskipun perbuatan konyolku itu timbul karena ulah Himawari juga, tak ayal aku merasa bersa

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 48

    KENZOAku semakin malu saja pada Husna. Aku tahu, aku yang pertama kali melakukan kesalahan dengan membentak Hima. Kalau Hima tidak langsung mau memaafkan aku, itu antara aku dan dia saja. Tapi tidak ada hubungannya dengan Husna.Aku terheran-heran. Kenapa saat sedang marah padaku, Hima justru kabur ke tempat Husna? Mereka belum lama saling mengenal, tapi Hima sudah berani mengganggunya saat sedang merajuk begini.Belum lama saling mengenal. Kalimat ini akhirnya membuat aku bisa menerka alasan di balik kaburnya Hima ke toko Husna.Hima tidak punya teman di kota ini. Teman-teman yang ia kenal semasa kecil, semuanya telah berada di seberang lautan. Sama seperti Hima yang sebenarnya juga menetap di luar negeri.Di kota ini, hanya aku dan keluargaku yang Hima kenal dengan baik. Takdir membuat ia akhirnya mengenal Husna dengan perantara adik-adik mereka dan brownies buatan Husna. Jadi

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 47

    KENZOAku merasa malu. Sangat malu pada Husna karena tingkah laku Hima yang telah merepotkannya.Maka, aku segera bertolak ke toko sekaligus rumah Husna untuk menemui Hima. Sekaligus meminta maaf pada Husna yang sudah direpotkan oleh sepupu jauhku itu.Saat aku hendak memasuki mobil, aku melihat Vita tengah berada di antara dua orang gadis lain yang tampaknya adalah sesama mahasiswi. Mereka tengah menghibur Vita yang tampak sedang menangis.Aku tertegun sebelum menyalakan mobil. Merasa bersalah telah mengatakan bahwa kami hanya teman. Setelah apa yang telah aku lakukan untuknya, membantunya agar tetap dapat kuliah, memberinya harapan, lantas mengatakan bahwa bahwa kami tidak ada hubungan apa-apa.Padahal, aku sendiri yang ‘memilih’ Vita sebagai calon pertama untuk menggantikan Husna. Sekarang, aku mengelak saat Vita menyatakan perasaannya yang jujur saja, membuatku terkejut.Pengecut. Kurang ajar. Entah kata-kata kasar apa lagi yang dapat disematkan padaku.Apa aku menemui Vita dulu y

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 46

    HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga

  • Terpaksa Jadi Playboy   Bab 45

    KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status