"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"
Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas. Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain? Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran! Braak!! Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat. "Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal, tubuhku gemetar menahan amarah. Plaaakkk!! Namun, sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi kananku. Mas Agus, dia yang menamparku. Aku tercengang. Harusnya aku yang menamparnya! Kenapa dia yang melakukannya? "Dasar perempuan tidak berguna!" teriaknya suaranya penuh kebencian. Dia merangkul wanita itu, yang kini menangis tersedu-sedu. "Pergi kau! Jangan ganggu hidupku lagi!" Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada tamparan itu. "Kenapa… kenapa Mas melakukan ini padaku?" suaraku bergetar, menahan isak. Bola mataku berkaca-kaca, air mata yang kurasakan kali ini berbeda, lebih pedih, lebih menyayat. "Apa salahku? Sampai Mas tega menduakan aku dan pergi meninggalkanku tanpa kabar?" "Karena aku sudah bosan. Kamu tidak menarik lagi." Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk-nusuk jantungku. Dingin dan tajam. "Tidak menarik?" Aku tak percaya. Dulu, saat pacaran, dia selalu mengatakan aku adalah wanita tercantik di dunia. Apakah itu semua bohong? Atau… apakah aku memang sudah tidak menarik lagi? Apakah aku sudah berubah? "Tapi, kalau aku tidak menarik… itu semua karena kamu, Mas!" Aku berteriak, rasa sakit hati dan amarah membuncah. "Karena aku?" Satu alisnya terangkat, dia tertawa sinis. "Jangan bercanda, Ra. Memangnya kamu bisa mengurus diri sendiri?" Ejekannya terasa seperti tamparan yang jauh lebih menyakitkan daripada tamparan fisik. "Aku bisa mengurus diri sendiri kalau uang nafkah darimu cukup, Mas!" Aku membentak. Aku bahkan masih ingat jelas, dia hanya memberikanku uang nafkah dua juta perbulan, dan itupun tidak setiap bulan. Karena dia selalu beralasan membaginya kepada Mamanya yang janda. Plaaakkk!! Kedua kalinya tamparan mendarat di pipiku. Rasanya bukan hanya pipiku yang terasa panas, tapi seluruh tubuhku. Aku ingin membalas, ingin mencekik lehernya. "Kurang ajar kamu, Mas! Berani-beraninya .…" Aku mencoba meraih lehernya, tetapi dia lebih tinggi dan lebih kuat. Dan dia lah yang akhirnya berbalik mencekikku sekarang. "Kamu perempuan yang tidak tau diri! Aku menyesal menikahimu! Apalagi mendapatkan anak yang penyakitan darimu!" Suaranya menggelegar, penuh kebencian. "Mulai sekarang… aku talak kamu, Laura!!" Kata-kata itu jatuh seperti batu nisan di atas hatiku, menandai akhir dari segalanya. "Dan aku tidak akan memberikan nafkah lagi untukmu atau anak kita. Cukup untuk ibuku yang janda!" tambahnya dengan nada sinis, seolah mengukir luka yang lebih dalam. Kepedihan dan keputusasaan menggelombang dalam diriku. Semua pengorbananku, semua perjuanganku, hancur dalam sekejap mata. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sepertinya, niatan untuk meminta tolong padanya membayar biaya operasi Qiara telah pupus. Aku pun tak sudi. Andai hanya aku yang dihina, mungkin aku masih akan merendahkan diri untuk memohon uang. Namun, penghinaan terhadap Qiara... itu tak bisa kuterima. Qiara memang memiliki penyakit jantung bawaan. Dan karena penyakit itulah, semenjak dia lahir, Mas Agus dan keluarganya tidak menyukainya. Tapi itu 'kan bukan salah Qiara, dan sebagai seorang ayah, tidak seharusnya dia seperti itu. Dasar pria br*ngsek! Cukup. Semua telah berakhir. Aku tak perlu lagi bergantung padanya, apalagi menangisinya. Toh, sebulan ini, aku dan Qiara hidup berdua, dan aku yakin bisa melewatinya, meskipun jalan di depan masih terasa gelap. Aku akan kuat. Aku pasti bisa. Dan suatu hari nanti, aku akan membalas semua perbuatanmu. * * Hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnya, memburamkan pandanganku dan memberatkan langkah. Tubuhku menggigil kedinginan, namun aku mengabaikannya, menerjang hujan demi segera mendapatkan angkutan umum. Bahkan memesan ojek online pun terasa sulit, banyak yang menolak order. Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna merah menyala berhenti di depanku, membuatku terpaku. Keningku berkerut. Perlahan, jendela mobil itu turun, memperlihatkan seorang perempuan cantik berpakaian modis di balik kemudi. "Kamu Laura, kan?" tanyanya, melepas kacamata hitamnya. Awalnya, kupikir dia orang asing. Namun, sesuatu dalam dirinya terasa familiar. "Kimmy?" tanyaku ragu, suaraku hampir tak terdengar di tengah derasnya hujan. Wajahnya, meskipun beberapa tahun tak kulihat, tetap kukenal. Kimmy, sahabatku semasa SMA. "Iya, ini aku. Mau ke mana? Cepat masuk, biar kuantar," ajaknya, suaranya penuh perhatian. Tanpa ragu, aku buru-buru masuk ke dalam mobilnya yang hangat. Sebuah handuk lembut segera disodorkan kepadaku. "Keringkan rambutmu. Nanti kamu masuk angin," kata Kimmy, suaranya lembut. "Iya. Terima kasih ya, Kim," jawabku, masih sedikit gemetar karena kedinginan. "Sama-sama. Kamu kalau mau ganti baju, aku ambilkan, ya? Aku punya baju ganti di kursi belakang," tawar Kimmy sambil memutar badan, lengannya terulur. Namun, aku langsung mencegahnya. "Nggak usah, Kim. Terima kasih. Aku ganti pas pulang saja." "Memangnya kamu tinggal di mana?" tanyanya. "Di Jalan Cempaka Putih, Kim. Kamu tahu, kan?" "Tahu kok," Kimmy mengangguk, lalu menyalakan mesin mobilnya. "Aku antar pulang, ya?" "Iya," jawabku singkat. Mobil mewah itu pun melaju melewati derasnya hujan. Tapi, apa gunanya pulang? Niatku kan mencari uang untuk biaya operasi Qiara. Tunggu! Pandanganku tertuju pada Kimmy. Sebuah ide tiba-tiba muncul. Dari media sosial, aku tahu Kimmy bekerja sebagai Lady Companion atau biasa di singkat LC, di sebuah klub malam di Jakarta. Gajinya lumayan besar, apalagi katanya ada tambahan 'tip' dari pelanggan. Bagaimana kalau aku meminta bantuan padanya? Apakah dia mau membantuku? Resiko penolakan memang ada, tapi... aku harus mencoba. "Kamu habis dari mana sih, Ra? Kok hujan-hujanan?" tanya Kimmy, suaranya membuatku tersentak dari lamunan. "Aku habis menyusul suamiku, Kim. Dia nggak pulang-pulang sudah sebulan." "Pergi ke mana memangnya? Kok bisa, nggak pulang-pulang?" Kimmy mengerutkan kening, menunjukkan rasa khawatirnya. "Awalnya aku nggak tau alasannya, tapi sekarang aku sudah tau... dia pergi karena sudah bosan sama aku. Dia juga sudah selingkuh." "Selingkuh?!" Mata Kimmy membulat sempurna, kejutan tergambar jelas di wajahnya. Aku mengangguk, air mata hampir jatuh. "Kurang ajar banget! Harusnya kamu siram dia pakai air keras, Ra! Pas mukanya! Biar mukanya hancur dan matanya buta!" Kimmy tampak benar-benar marah. "Enggak," jawabku lirih. "Aku nggak kepikiran ke arah situ, Kim. Tapi... sebenarnya ada sesuatu yang lebih penting daripada suamiku selingkuh." "Sesuatu apa?" Kimmy menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku... aku ...." Lidahku terasa kelu. Rasa malu menggelegak. Bertemu Kimmy setelah sekian lama, lalu langsung meminjam uang? Rasanya memalukan. Aku takut dia kapok berteman denganku. Tapi... Kimmy adalah satu-satunya harapanku.(POV Author) "Alhamdulillah... akhirnya kamu sudah bebas, Mel." Pak Wisnu memeluk erat putrinya, air mata bahagia bercampur haru membasahi pipinya. Senyumnya merekah, mencerminkan kelegaan yang begitu mendalam setelah hampir enam bulan menjalani hari-hari cemas menunggu pembebasan Melisa. Sebenarnya, hukuman yang harus didapatkan Melisa adalah 10 tahun. Namun, di negeri ini hukuman bisa dibeli, jadi Pak Wisnu menggunakan kekayaannya untuk mengubah putusan pengadilan. Melisa membalas pelukan Papinya, menghirup aroma familiar kemeja Pak Wisnu yang selama ini hanya terbayang dalam mimpinya. Napas lega dihela panjang, mencoba melepaskan beban berat yang selama ini menimpanya. "Iya, Pi," bisiknya, suaranya sedikit serak. "Tapi aku benar-benar tersiksa selama di penjara." Melisa masih terbayang pada tembok-tembok dingin, makanan yang hambar, dan suara jeruji besi. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Nggak bisa makan enak, belanja, jalan-jalan, dan ke salon. Liha
"Ya sudah kalau memang itu keinginan Mommy." Aku menghela napas panjang.Meskipun kekhawatiran masih ada, tapi aku berusaha untuk percaya. Lagipula Mommy sudah berpengalaman mengurus anak, buktinya aku sendiri bisa tumbuh sebesar ini tanpa bantuan baby sitter."Sekarang pergilah ke kamar, istirahat. Eh tapi... Laura sudah di KB, kan? Mommy khawatir dia hamil lagi. Ya Mommy sih nggak keberatan nambah cucu, malah seneng. Tapi masalahnya... Laura baru melahirkan, kasihan kalau langsung hamil lagi. Nggak baik juga untuk kesehatannya." Wajah Mommy berubah serius, kekhawatirannya terlihat jelas.Aku mengelus pundak Mommy dengan lembut, sentuhan yang penuh kasih sayang dan rasa hormat. "Mommy tenang saja." Ucapku, mencoba menenangkannya. "Laura memang belum KB, tapi aku sudah mempersiapkan untuk memakai kon *dom yang super kuat dan tahan gesekan. Semuanya aman.""Kamu yakin?" Mommy menatapku tak percaya, keraguan terlihat jelas di matanya. "Bukannya dulu kamu dan Laura berhubungan
"Saya terima nikah dan kawinnya Laura Almira binti almarhum Suswanto dengan mas kawin satu set perhiasan tiga puluh gram dibayar tunai!!" Hari ini, bukan hanya hari bahagia biasa, melainkan puncak dari penantian panjang, buah manis dari sebuah kisah cinta yang terjalin penuh liku. Resepsi pernikahan kami berlangsung megah, sebuah perayaan besar yang menghapus bayang-bayang pernikahan siri kami yang disembunyikan dulu. Suasana penuh haru dan sukacita memenuhi ruangan, dipadati oleh keluarga dan sahabat yang turut larut dalam kebahagiaan kami. Ijab kabul kedua ini terasa begitu khidmat, menguatkan ikatan suci kami di hadapan semua orang yang hadir. Dua kali mengucapkan janji suci? Tak masalah. Yang terpenting, semuanya sah dan terasa lengkap, memberikan rasa damai dan tentram di hati. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Mommy, meski tangannya masih sibuk mengurus Lion. Senyumnya yang tulus, walaupun samar di balik kesibukannya, mencerminkan kebahagiaan yang begitu dalam dan
"Hutang itu bukan hutang baru, Mas. Tapi hutang lama, pas dulu Qiara sakit." Suaranya bergetar, mengisyaratkan sebuah cerita yang berat dan menyedihkan. "Memangnya belum lunas?" Aku mengerutkan dahi. Kupikir hutang Laura hanya pada Kimmy dan pihak bank saja. Dan waktu itu aku sendiri yang melunasi hutang ke Kimmy, dengan cara memberikan nominal yang lebih besar saat membeli Laura. Aku tak menyangka masih ada hutang lain yang belum terselesaikan. "Kalau hutang sama Kimmy sudah lunas, sama pihak bank juga sedikit lagi. Tapi karena aku harus bayar hutang yang lain ... jadi aku lupa bayar sisanya di bank, dan alhasil hutang itu jadi berbunga." Laura menjelaskan, suaranya masih bergetar. "Kan bisa pakai uangku yang di rekening, kenapa kamu nggak pakai itu?" Aku bertanya, kebingungan dengan alasannya. "Aku nggak enak, Mas." Laura menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah pakai uang itu untuk kebutuhanku sehari-hari dengan Qiara, masa aku pakai lagi untuk kebutuhan hutangku." Penjelasa
"Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng
"Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat