"Saya terima nikah dan kawinnya Laura Almira binti almarhum Suswanto dengan mas kawin satu set perhiasan tiga puluh gram dibayar tunai!!" Hari ini, bukan hanya hari bahagia biasa, melainkan puncak dari penantian panjang, buah manis dari sebuah kisah cinta yang terjalin penuh liku. Resepsi pernikahan kami berlangsung megah, sebuah perayaan besar yang menghapus bayang-bayang pernikahan siri kami yang disembunyikan dulu. Suasana penuh haru dan sukacita memenuhi ruangan, dipadati oleh keluarga dan sahabat yang turut larut dalam kebahagiaan kami. Ijab kabul kedua ini terasa begitu khidmat, menguatkan ikatan suci kami di hadapan semua orang yang hadir. Dua kali mengucapkan janji suci? Tak masalah. Yang terpenting, semuanya sah dan terasa lengkap, memberikan rasa damai dan tentram di hati. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Mommy, meski tangannya masih sibuk mengurus Lion. Senyumnya yang tulus, walaupun samar di balik kesibukannya, mencerminkan kebahagiaan yang begitu dalam dan
"Hutang itu bukan hutang baru, Mas. Tapi hutang lama, pas dulu Qiara sakit." Suaranya bergetar, mengisyaratkan sebuah cerita yang berat dan menyedihkan. "Memangnya belum lunas?" Aku mengerutkan dahi. Kupikir hutang Laura hanya pada Kimmy dan pihak bank saja. Dan waktu itu aku sendiri yang melunasi hutang ke Kimmy, dengan cara memberikan nominal yang lebih besar saat membeli Laura. Aku tak menyangka masih ada hutang lain yang belum terselesaikan. "Kalau hutang sama Kimmy sudah lunas, sama pihak bank juga sedikit lagi. Tapi karena aku harus bayar hutang yang lain ... jadi aku lupa bayar sisanya di bank, dan alhasil hutang itu jadi berbunga." Laura menjelaskan, suaranya masih bergetar. "Kan bisa pakai uangku yang di rekening, kenapa kamu nggak pakai itu?" Aku bertanya, kebingungan dengan alasannya. "Aku nggak enak, Mas." Laura menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah pakai uang itu untuk kebutuhanku sehari-hari dengan Qiara, masa aku pakai lagi untuk kebutuhan hutangku." Penjelasa
"Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng
"Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat
Agus seolah tak memiliki kekuatan untuk menahan dorongan Mommy. Tubuhnya limbung dan langsung jatuh ke lantai. Padahal, dorongan Mommy menurutku tidak terlalu keras. Kelihatannya Agus memang sedang sangat lemah."Kau ini mantan suaminya Laura, kan? Untuk apa kau datang ke sini dan ingin menemuinya? Kau sudah memiliki kehidupan baru, jadi berhentilah mengganggu Laura!" Mommy berteriak, matanya melotot tajam, suaranya penuh amarah. Jelas sekali dia juga tidak senang dengan kehadiran Agus."Ibu ini siapa? Pakai acara melarang-larangku? Aku dan Laura akan rujuk, dia akan menjadi istriku kem—" Ucapan Agus yang menjijikkan itu terhenti.Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu mere mas mulutnya dengan kuat. Dengan cepat, kutarik tangannya untuk membantunya berdiri, lalu menyeretnya keluar dari rumah sakit."Mmmmpppttt!!" Agus berusaha berontak, tapi sia-sia. Jangankan dengan tubuhnya yang sekarang kurus kering, dulu saat t
"Pak Dylan mohon keluarlah dulu. Bayi Anda akan dimandikan, nanti setelah itu Anda boleh mengadzaninya," ucap Dokter Anita, namun kekhawatiran membayangiku."Terus istri saya bagaimana, Dok?" tanyaku, suara sedikit gemetar. Laura, wanitaku yang luar biasa, yang baru saja berjuang melahirkan buah hati kita... Aku khawatir melihatnya begitu lelah."Istri Anda biar saya obati, biarkan dia beristirahat juga. Nanti Anda bisa menemuinya di ruang perawatan.""Baiklah, Dok. Saya titip istri dan anak saya, ya?" Kalimat itu terucap dengan penuh harap, seolah seluruh tanggung jawabku kuserahkan pada keahlian sang dokter."Siap, Pak."Aku tersenyum, sebuah senyuman yang masih bercampur rasa haru dan lega. Lalu, dengan hati berat, perlahan melepaskan genggaman tangan Laura. Wanitaku itu masih tersenyum, sebuah senyum yang begitu lelah namun penuh cinta. Saat aku meninggalkan ruangan, rasanya seperti meninggalkan sebagian jiwaku di sana."Bagaimana kondisi Laura dan anak kalian, Pak?" Suar