Cukup ya yang manis² nya. bahaya bisa diabetes kita nanti. Kita masuk konflik. Apa ya kira² konfliknya?
“Kenapa lama banget di toilet, Bulan?” seru Yona dengan nada tak sabar.“Semedi,” jawab Bulan asal, menarik kursi dan duduk santai.“Kita tunggu kamu, tahu! Ada berita penting,” timpal Tania, ikut kesal.“Berita penting apa?” Bulan mengernyit heran, lalu celingukan. “Eh, bakso aku mana?”“Sabar, itu lagi dibawa Mang Ucup,” sahut Yona sambil mengangguk ke arah penjual yang sedang melangkah ke meja mereka.“Oh.” Bulan menerima mangkuk bakso yang disodorkan Mang Ucup, “Makasih Mang,” menghirup aromanya sebentar, lalu mulai mengaduk pelan. “Terus, beritanya apa?” “Si Swallow kejepit, dikeluarin dari sekolah!” kata Leoni. “Swallow kejepit siapa?” Bulan mengangkat kepalanya bingung, pandangannya berpindah dari satu wajah ke wajah lain.“Ih, kamu ini. Lemot banget sih,” Yona berdecak. “Itu lho, selingkuhannya mantan kamu!”“Apa?” Bulan terkejut. “Kenapa bisa?”“Ya mana kita tahu?” Mereka serempak mengedikkan bahu. Tidak tahu dan tidak mau tahu.“Mungkin gara-gara kejadian waktu itu,” tebak
“Ingat, jangan jauh-jauh dari pengawasan Zack,” ucap Air tegas sebelum istrinya turun dari mobil.Bulan memutar bola mata malas. Entah sudah berapa kali suaminya itu mengingatkan; telinganya sampai panas. Pria itu benar-benar tidak percaya padanya. Padahal, dia nanti hanya pergi ke rumah sakit bersama teman-teman sekolah. Tetapi sikap Air seakan-akan dia akan ikut pelatihan militer.“Iya, Hubby,” balas Bulan singkat. “Sudah bisa aku turun? Sebentar lagi bel bunyi.”“Hem.”Begitu pintu mobil ditutup, Bulan menarik napas panjang. Rasanya seperti baru bebas dari tahanan—bisa menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.“Haah… menyebalkan sekali! Untung suami, kalau bukan sudah aku lelang di pasar loak... Eh, tidak akan laku juga, soalnya terlalu bossy,” gerutunya pelan sambil melangkah menuju gerbang sekolah.“Ke markas,” titah Air datar, setelah memastikan siput nakalnya masuk ke area sekolah.“Baik, Tuan,” jawab Jeff, lalu melajukan mobil menuju tempat yang dituju.***Setengah jam kemu
“Hubby, boleh aku tanya sesuatu?” Bulan bertanya hati-hati sekali. “Mau tanya apa, sweetie?”‘Yesss, hatinya sedang baik.’“Janji ya jangan marah?” Bulan mengacungkan kelingkingnya di depan wajah tampan suaminya. Ekspresi mukanya dibuat memelas sekali. Alis Air tertarik, seringai kecil muncul di bibirnya. “Hem,”“Iss, janji dulu Hubby. Seperti ini,” Bulan menautkan kelingking mereka dengan tak sabaran. “Nah, sudah janji. Hubby tidak boleh marah,”Bulan menarik napas panjang, jujur saja dia sangat gugup. Suaminya susah ditebak, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi harimau ganas dan memangsanya. “Bukan Hubby kan yang membuat Mirza masuk rumah sakit?”“Hu-Hubby dengar dulu, aku belum selesai. Nanti aja marahnya, ya. Kita bicara dulu.” Sela Bulan cepat saat mata tajam suaminya menghunusnya tajam. “Aku hanya bertanya, bukan karena aku masih punya rasa atau peduli. Hanya ingin tau saja, just it.” ucap Bulan pelan. “Hem,” Bulan mencebik, bibirnya mengerucut. Suaminya kembali mode es–di
Suara pintu kamar mandi yang dibuka, berhasil mengalihkan fokus Air dari layar iPad. Dia yang sedang duduk bersandar pada headboard tempat tidur, kini menatap sosok kecil yang baru saja keluar dari sana. Bulan baru selesai menyikat gigi, membersihkan diri, dan berganti pakaian tidur. Dia enggan jadi bahan ledekan suaminya lagi—dikatain bau daging. ‘Masa, cantik-cantik bau daging.’ Kalimat singkat itu, tapi sangat menjengkelkan di rungu Bulan. Dalam diam, Air memperhatikan istri kecilnya yang sedang sibuk di depan cermin. Rutinitas wajib setiap malam yang dilakukan gadis itu sebelum tidur. Dari cermin, Bulan bisa melihat suaminya yang menatapnya tanpa ekspresi. Tatapan yang bikin risih seolah dia punya utang miliaran. “Hubby, bisa tidak melihat itu seperti orang normal. Jangan seperti penagih utang. Aku tau, aku ini emang cantik dan manis. Gula sama madu saja minder lihat aku,” ujarnya narsis sambil melangkah ke ranjang. Air menaikkan sebelah alis. Salah satu sudut bibirnya teran
Sentuhan lembut yang diberikan Air di pipi Bulan, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Kelopak mata dihiasi lentiknya bulu panjang itu bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Disambut senyum tipis sang pria yang menatapnya lembut dan penuh cinta.“Maaf, saya harus bangunkan kamu. Sebentar lagi malam,” ucap Air masih mengelus pipi kenyal Bulan.Bulan tersenyum dengan mata terbuka sayu, dia memegang tangan yang mengusap pipinya. Dengan gerakan pelan Bulan merubah posisi tidurnya jadi menyamping dan kini tangan lebar itu dijadikan alas bantalnya.“Maaf, tidurnya sampai lupa waktu.” Sesal Bulan, melupakan suaminya yang hari ini pulang lebih awal dari biasanya.“Kamu memang harus banyak istirahat, sayang.” Sahut Air lembut, Bulan sudah terbiasa dengan panggilan sayang dari pria dewasa itu. Jika di awal dia suka mencak-mencak dan mengamuk, sekarang panggilan itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.Gadis itu tersentak, teringat akan sang Ayah. “Papi dimana? Ya ampun, aku sampai melupak
“Anak haram?” Keduanya sontak menoleh ke arah pintu. Di ambangnya, Shallo berdiri terpaku, wajahnya menunjukkan kebingungan mendalam. Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Mirza—dan kini, kata-kata sang Ayah menghantamnya seperti badai. “A-apa maksud Papa? Siapa anak haram? Apa Papa punya anak lagi dari perempuan lain?” tanyanya tajam, menatap pria yang selama ini ia panggil Papa dengan sorot curiga. “Jangan pernah lagi panggil saya Papa,” suara Bagas dingin, penuh penolakan. “Karena saya bukan Papamu.” Sudah cukup aku membiarkan mereka bersikap semaunya. Terlalu besar harga yang harus dia bayar atas diamnya selama ini. Perusahaan miliknya di ambang kehancuran. “Maaass... dia anakmu!” jerit Rini panik. Dia berdiri, melangkah mendekati Shallo yang kini mematung. “Papamu sedang emosi, sayang. Masuklah ke kamar.” bujuknya lembut. Wanita itu tidak ingin Shallo mendengar lagi kata-kata yang lebih menyakitkan dari suaminya. Namun langkah Shallo terhenti saat su