เข้าสู่ระบบ“Tunggu!” Felix menghentikan langkah Elena. Membuat wanita cantik itu semakin memucat. Ia tidak berniat jahat, hanya ingin memberikan ASI-nya agar ia tidak membuangnya seperti biasa. Saat bibir mungil Tuan Muda menyentuh putingnya, ia merasa hangat di dada. Rindu akan mendiang bayinya terbayar tuntas saat tetes pertama ASI-nya diminum oleh anak tuannya.
Elena berhenti, ia tidak berani menatap Felix sama sekali. Ia memang terbiasa menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya dari para pengawal agar tidak ada yang ingin menggodanya seperti pesan Vanessa. Sebab, mendiang Vanessa tahu bahwa anak buah suaminya rata-rata orang yang tidak punya hati, jadi ia ingin agar Elena selalu waspada. Tampaknya mendiang Vanessa tahu banyak hal tentang Elena. “Kau memberinya ASI?” Felix bertanya memastikan. Meski ia sudah melihat dengan mata sendiri, ia tetap ingin Elena menjawab dengan jujur. “Maaf, Tuan.” Elena berucap dengan lembut. “Aku bukan tuanmu, tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu.” Felix membalas dengan tatapan penuh rasa kagum akan kecantikan wanita yang ada di hadapannya. “Permisi.” Elena pamit dan berlalu dengan cepat sebelum ia ditanyai lebih dalam lagi. Felix tidak lagi menahan untuk kali ini, ia tatap cincin yang melekat di jari manis Elena. Sekarang ia sadar bahwa ucapan kepala pelayan adalah benar. Mungkin saja suaminya memang tewas di tangan Alaric dan ia tengah merencanakan sesuatu untuk balas dendam. Felix mengubur informasi itu dalam-dalam, ia tidak akan pernah memberitahu tuannya sebelum ia tahu yang sebenarnya. *** Elena duduk di tepian ranjang. Disentuhnya dada yang tampak basah karena ASI yang melimpah. Jantungnya berdebar saat ia mengingat momen di mana Tuan Muda menyedot ASI-nya. Mata wanita itu memanas saat ia lagi-lagi merindukan bayinya yang bahkan tidak sempat ia dengar suara tangisnya. Elena mengusap ujung mata. Ia tidak ingin larut dalam kesedihan. Ia kuatkan diri sendiri, sebab ia harus tetap hidup dengan penuh semangat. Meskipun ia sudah tidak punya siapa-siapa sekarang. Ketukan di pintu kamar membuat Elena tersentak. Buru-buru ia ganti bajunya agar tidak ada yang curiga dengan dadanya yang basah. Ia hendak menyedot ASI, buah dadanya sudah terasa sakit karena belum ada ASI yang ia keluarkan hari ini. “Tuan Alaric memanggilmu.” Salah satu pelayan berucap padanya. “Apa dia mau dibuatkan susu hangat?” Elena bertanya, sebab ini sudah waktunya para pekerja untuk istirahat. “Aku tidak tahu, sebaiknya temui dia sekarang. Dia menunggumu di kamar Tuan Muda.” Wanita itu lekas berlalu setelah menyampaikan pesan pada Elena. Elena menghela napas dengan berat. Jantungnya semakin berdebar dengan kuat. Ia takut jika hal yang ia lakukan semalam sudah diketahui oleh tuannya. Ia takut akan diberi hukuman berat. Dengan dipenuhi rasa takut Elena memenuhi panggilan Alaric. Ia mendatangi kamar yang baru ia tinggalkan beberapa saat yang lalu, setelah Tuan Muda berhenti menangis dan tertidur dengan lelap. Wanita berhidung mancung itu mengetuk pintu dengan lembut. Ia masuk setelah mendapat perintah oleh Alaric dari dalam kamar. “Tuan memanggil saya?” Elena bertanya tanpa menatap lelaki itu. “Beritahu keluargamu kita akan menikah minggu depan.” Alaric berucap dengan dingin. Setelah mendekam di dalam kamar sejak kemarin malam, akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi keinginan istrinya sebelum meninggal. Elena terdiam, ia mendongak menatap lelaki dingin yang enggan untuk menatapnya. Pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya. Apakah lelaki itu benar-benar tidak mengenalinya? Setelah lelaki itu merenggut paksa nyawa suaminya yang membuat ia harus melahirkan sebelum waktunya karena janin yang meninggal dalam kandungan. Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa ada manusia yang tidak punya hati seperti Alaric. “Saya tidak bisa, Tuan.” Elena menolak dengan mantap. Penolakan itu langsung membuat Alaric menoleh menatap. Tatapannya begitu tajam, seolah pisau yang bersiap untuk menikam. Elena kembali menunduk, ia hindari tatapan yang sangat mengintimidasi itu. “Saya tidak meminta persetujuanmu.” Alaric langsung berucap dengan tajam. Membuat Elena tidak berani sama sekali untuk menjawab. “Saya tidak ingin mendengar alasan apa pun, minggu depan keluargamu sudah harus berada di sini.” Alaric berucap dengan tegas, ia bangkit berdiri, hendak beranjak pergi. “Saya tidak punya siapa-siapa. Saya hidup sebatang kara.” Elena berucap dengan dada yang terasa begitu sakit. Ia hidup dengan bahagia bersama suami tercinta sebelum Alaric merusak dan mengacaukan semuanya. Alaric berhenti melangkah setelah ia mendengar ucapan Elena. “Tidak mungkin kau tidak punya saudara sama sekali.” “Saya tumbuh besar di panti asuhan, Tuan.” Bertambah rasa sakit di dada Elena setelah ia mengungkap jati dirinya. Ia teringat dengan perkataan orang-orang jika ibunya mati gantung diri beberapa bulan setelah ia dilahirkan, sebab ditinggal oleh pacar bulenya yang tidak ingin bertanggung jawab untuk Elena yang masih bayi. “Ya sudah, kita akan menikah tanpa wali dari pihakmu.” Alaric berucap dengan enteng. Ia bahkan tidak menunjukkan rasa simpati setelah tahu latar belakang Elena. Elena ingin menolak, tapi Alaric menegaskan bahwa ia tidak menerima penolakan. Lelaki itu kembali melangkah, hendak beranjak keluar. Namun, tangis Tuan Muda menghentikan langkahnya. Lelaki itu menatap Elena yang tengah berjalan menuju ranjang. Ia tatap bayinya yang berada dalam dekapan wanita itu. “Kau bisa memberinya ASI?” Alaric bertanya setelah ia mengingat perkataan Vanessa jika hanya Elena yang bisa memberinya ASI. Elena mengangguk dengan lembut. “Rawatlah dia dengan baik, cukupi gizinya dengan ASI-mu, jangan biarkan orang lain menyentuhnya selain kau.” Alaric menegaskan. Ia tidak ingin bayinya disentuh oleh orang sembarangan. Ia bahkan tidak penasaran sama sekali mengapa Elena bisa memiliki ASI sementara ia tidak memiliki suami. Elena tersenyum mendengar keputusan Alaric, ia mengangguk dengan penuh semangat. “Kau belum memberinya nama, Tuan.” Elena mengingatkan. Alaric terdiam, ia dan istrinya telah menyiapkan banyak pilihan nama untuk bayi mereka, tapi mereka belum memutuskan untuk memilih yang mana. “Aku punya usulan jika Tuan mengizinkan.” Elena berucap dengan hati-hati. Masalah ini pasti cukup sensitif bagi Alaric. Ia menduga Alaric akan langsung marah padanya, nyatanya tidak. “Apa itu?” Alaric menerima saran darinya. Sebab, ia orang pilihan yang dipilih langsung oleh istrinya. “Daryl.” Elena berucap dengan lemah. Nama itu telah ia dan suaminya siapkan untuk bayi mereka. Namun, nama itu tidak jadi dipakai karena bayinya sudah mendahuluinya menuju surga. Alaric tersentak mendengar nama yang disarankan oleh Elena. Sebab, itu salah satu nama pilihan istrinya. Vanessa sangat menyukai nama itu. “Dari mana kau tahu nama itu?” Alaric bertanya dengan curiga. Ia berpikir jika selama ini Elena sudah menembus batas privasi keluarganya. Sebab, hanya ia dan Vanessa yang tahu pilihan-pilihan nama yang sudah mereka siapkan. Elena terdiam, ia tidak ingin memberitahu yang sebenarnya. “Apa Vanessa yang memberi amanah padamu ketika aku memanggil dokter sebelum kematiannya di hari itu?” Pikiran Alaric tertuju pada hari di mana Vanessa meminta dengan sangat agar dirinya menikah dengan Elena. “Benar, Tuan.” Elena menjawab dengan kebohongan. Pada nyatanya Vanessa tidak meninggalkan pesan apa pun selain keinginannya agar Elena menikah dengan suaminya.Elena merawat Daryl layaknya anak sendiri. Ia anggap bayi mungil itu sebagai pengganti bayinya yang telah mati. Sedikit banyak mulai terbentuk ikatan batin setelah beberapa kali ia beri anak itu minum ASI. Kasih sayangnya tulus bagai ibu sendiri. Tidak ada dendam sedikit pun yang tertanam dalam hatinya untuk si Tuan Muda, sebab ia tahu yang bersalah atas apa yang terjadi adalah Alaric. Bayi mungil itu tidak tahu apa-apa, jadi ia tidak pantas untuk mendapatkan hukuman atas apa yang sudah dilakukan oleh orangtuanya.Pekerjaan rumah bukan lagi tugas Elena. Kini Alaric memberikan ia tugas untuk merawat Daryl sepenuhnya. Membuat wanita itu merasa senang, sebab ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bayi kesayangannya.“Aku hanya ingin menggendongnya.” Shesyl lagi-lagi membuat keributan hari ini. Ia marah seperti biasa, sebab Elena tidak mengizinkannya untuk menyentuh Daryl. Elena benar-benar menjaga bayi mungil itu. Tidak sembarang tangan yang boleh menyentuhnya. Apalagi Shesyl yang
“Tunggu!” Felix menghentikan langkah Elena. Membuat wanita cantik itu semakin memucat. Ia tidak berniat jahat, hanya ingin memberikan ASI-nya agar ia tidak membuangnya seperti biasa. Saat bibir mungil Tuan Muda menyentuh putingnya, ia merasa hangat di dada. Rindu akan mendiang bayinya terbayar tuntas saat tetes pertama ASI-nya diminum oleh anak tuannya.Elena berhenti, ia tidak berani menatap Felix sama sekali. Ia memang terbiasa menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya dari para pengawal agar tidak ada yang ingin menggodanya seperti pesan Vanessa. Sebab, mendiang Vanessa tahu bahwa anak buah suaminya rata-rata orang yang tidak punya hati, jadi ia ingin agar Elena selalu waspada. Tampaknya mendiang Vanessa tahu banyak hal tentang Elena.“Kau memberinya ASI?” Felix bertanya memastikan. Meski ia sudah melihat dengan mata sendiri, ia tetap ingin Elena menjawab dengan jujur.“Maaf, Tuan.” Elena berucap dengan lembut.“Aku bukan tuanmu, tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu.” Felix me
Pemakaman berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada hambatan sama sekali. Duka terlihat dengan jelas menyelimuti mata Alaric. Lelaki itu berlutut di dekat gundukan tanah kuburan sang istri. Ia tatap pusara wanita itu, mengelusnya dengan lembut, dan memberikan satu kecupan untuk waktu yang lama. Ia terlihat berat untuk meninggalkan area pemakaman.Meski kini tidak lagi ada tetes air mata yang jatuh atas kepergian istrinya, Alaric masih merasakan sakit yang sama dengan detik di saat ia tahu bahwa sang istri telah tiada.“Aku ikut berduka atas kematian Kak Vanessa.” Shesyl mengusap lembut bahu abang iparnya itu. Ia ingin menunjukkan kepeduliannya pada Alaric.Namun, Alaric tidak suka disentuh olehnya. Dengan kasar ia singkirkan tangan Shesyl dari bahunya. Membuat wanita itu berdecak kesal karena lagi-lagi mendapatkan penolakan.Sengang. Satu per satu para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Tersisa beberapa orang yang masih setia menunggu tuannya.“Kita harus pulang, Tuan. Saya tah
“Jangan memintaku untuk melakukan hal konyol seperti itu!” Alaric langsung membantah permintaan istrinya. Bagaimana mungkin ia bisa menikah lagi dengan wanita lain, sementara seluruh hati dan cintanya telah ia berikan pada Vanessa?“Saya tidak bisa, Nyonya.” Elena ikut menolak, sebab ia tahu seperti apa kekejaman tuannya itu. Semua orang akan ia bantai saat marah dan hanya Vanessa yang bisa menenangkan hatinya jika sudah begitu.Napas Vanessa mulai tersendat. Sorot matanya terlihat kian meredup.“Menikahlah dengannya demi aku, juga demi anakmu.” Vanessa berucap dengan lemah dan terbata-bata. Ia genggam tangan sang suami kuat-kuat, meminta dengan sangat agar permintaannya tidak ditolak.“Aku tidak mau.” Lelaki berahang keras itu tetap saja menolak.“Elena bisa memberi ASI untuk bayimu. Tidak akan ada yang lebih baik dari dia setelah aku.” Vanessa terus berusaha meyakinkan suaminya. Wanita itu semakin merasa lemah dan tidak bertenaga. Kematian sudah terlihat dengan jelas di depannya.“A
“Tuan, istri Anda sedang dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan.” Suara dari dalam ponsel membuat Alaric terbelalak. Ia lekas berlari keluar dari ruangan, tempat di mana sebentar lagi akan diadakan rapat besar. Tidak ada hal yang lebih penting baginya daripada wanita yang begitu ia cintai, wanita yang ia nikahi satu tahun lalu.“Batalkan semua pertemuan, saya harus ke rumah sakit sekarang!” Alaric memberikan perintah pada kaki tangannya.Lelaki berhidung mancung itu sangat gelisah, tapi masih bisa ia tutupi dengan kewibawaan yang ia miliki. Kaki jenjangnya melangkah melewati lorong demi lorong, sementara anak buahnya mengekor di belakang.Mobil civic telah menunggu di depan pintu saat Alaric tiba di luar gedung. Ia lekas masuk dan meminta agar sang supir lekas menancap gas menuju rumah sakit di mana istrinya tengah berada. Lelaki itu tampak tenang, tapi sesungguhnya hatinya kini tengah bergenderang. Ia tidak ingin melewatkan satu detik pun rasa sakit yang dialami oleh istrinya di