เข้าสู่ระบบElena merawat Daryl layaknya anak sendiri. Ia anggap bayi mungil itu sebagai pengganti bayinya yang telah mati. Sedikit banyak mulai terbentuk ikatan batin setelah beberapa kali ia beri anak itu minum ASI. Kasih sayangnya tulus bagai ibu sendiri. Tidak ada dendam sedikit pun yang tertanam dalam hatinya untuk si Tuan Muda, sebab ia tahu yang bersalah atas apa yang terjadi adalah Alaric. Bayi mungil itu tidak tahu apa-apa, jadi ia tidak pantas untuk mendapatkan hukuman atas apa yang sudah dilakukan oleh orangtuanya.
Pekerjaan rumah bukan lagi tugas Elena. Kini Alaric memberikan ia tugas untuk merawat Daryl sepenuhnya. Membuat wanita itu merasa senang, sebab ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bayi kesayangannya. “Aku hanya ingin menggendongnya.” Shesyl lagi-lagi membuat keributan hari ini. Ia marah seperti biasa, sebab Elena tidak mengizinkannya untuk menyentuh Daryl. Elena benar-benar menjaga bayi mungil itu. Tidak sembarang tangan yang boleh menyentuhnya. Apalagi Shesyl yang baru dari luar, barangkali ia membawa virus dan bakteri yang melekat di tubuhnya. “Dia masih sangat sensitif, kulitnya sangat rentan jika dipegang-pegang oleh banyak tangan.” Elena memberi alasan. “Kau itu hanya pelayan, tidak ada hak untuk melarang. Posisiku lebih tinggi dibanding kau. Berikan dia padaku!” Shesyl berusaha merebut. Sejujurnya ia tidak begitu peduli pada keponakannya itu, hanya saja ia ingin menarik simpati Alaric agar terkesan sebagai bibi yang perhatian dan penuh kasih sayang. Elena tetap menolak. Ia dorong tubuh Shesyl dengan sedikit tenaga agar wanita itu menjauh darinya. Sebab, ia mulai merasa terganggu oleh kehadiran wanita itu. “Kau! Berani sekali kau mendorongku! Kau pikir siapa dirimu?” Shesyl semakin terpancing emosinya. Ia angkat tangan tinggi-tinggi, bersiap untuk menghajar Elena yang sudah membuat harga dirinya terasa diinjak-injak. Elena memejamkan mata seraya memalingkan wajah saat telapak tangan itu hendak mengenai wajahnya. Namun, Felix dengan sigap menahan tamparan Shesyl. Ia empaskan dengan kasar tangan wanita angkuh itu agar menjauh dari wajah Elena. “Jangan coba-coba berani menyakiti Tuan Muda!” Felix memberikan ancaman, sebab posisi Elena tengah menggendong Daryl saat Shesyl hendak memberikan tamparan. “Jangan sok jadi pahlawan kamu! Kamu itu penjilat, suka mencari muka di depan Mas Alaric. Harusnya kau, juga kau dipecat! Kalian sama sekali tidak pantas bekerja di sini karena tidak tahu cara menghormati majikan.” Shesyl menunjuk wajah Felix dan Elena secara bergantian. “Kau bukan majikan, sadar dengan posisimu! Jika bukan karena kau adiknya Nyonya Vanessa, aku sudah menghajarmu!” Felix berucap dengan rahang yang mengeras. Ia terlihat begitu kesal pada Shesyl. Siapa yang tidak akan kesal padanya? Dia begitu angkuh dan sok berkuasa. Juga suka semena-mena. Shesyl menggeretakkan gigi, ia menghentakkan kaki dengan kesal, lalu beranjak pergi. Ia merasa terpojok dengan omongan yang terlontar oleh orang kepercayaan iparnya itu. “Terima kasih karena sudah membela, Tuan.” Elena berucap dengan kepala yang menunduk. Ia tidak ingin menatap pria itu, tidak ingin tahu lebih jauh tentang lelaki yang sudah membantunya. Ia bergegas pergi setelah mengucap terima kasih. Felix hanya bisa menghela napas dengan berat seraya menatap wanita pujaan hatinya. Ia ingin berinteraksi lebih lama, tapi tampaknya Elena tidak memberikan lampu hijau untuknya. **** Alaric menatap dari ambang pintu. Ia tidak suka pada Elena, hanya saja ia suka ketika bayinya diperlakukan dengan sangat baik oleh wanita itu. Ia bisa melihat ketulusan yang terpancar dari tatapan juga sentuhan yang diberikan oleh Elena pada putranya. “Sayang, minum ASI Ibu yang banyak ya. Biar kamu cepat gede.” Elena mengajak bayi itu berbicara. Ia memberi ASI dengan begitu hikmat, fokusnya tertuju pada wajah Daryl yang tengah terpejam menikmati asupan nutrisi darinya. Wajah itu terlihat begitu mirip dengan Alaric. Semua yang ada padanya seolah fotokopian ayahnya. Matanya, hidungnya, bibirnya, rambutnya, semua mirip dengan Alaric. Seolah tidak ada jejak Vanessa yang tertinggal untuknya. “Pukul tiga nanti dokter akan datang untuk memberikannya suntikan vaksin.” Alaric berucap dengan suara baritonnya. Ia masih berdiri di ambang pintu, tidak ingin masuk agar lebih dekat dengan Elena. Mendengar suara itu, Elena sangat terkejut. Segera ia tutupi dadanya yang setengah terbuka, sebab merasa malu ketika dilihat oleh lelaki dewasa. “Baik, Tuan. Saya akan siapkan semua keperluan yang dibutuhkan oleh Tuan Muda. Mungkin ia akan sedikit rewel karena biasanya akan meriang setelah mendapatkan suntikan.” Elena berucap seraya memunggungi Alaric, ia tidak ingin dadanya tereskspos untuk lelaki itu karena posisinya yang tengah menyusui. “Aku percayakan semuanya padamu.” Alaric berucap dengan dingin. Hening, tidak ada suara sama sekali. Mendadak mereka saling diam. Setelah memerhatikan cukup lama, Alaric menarik napas dengan dalam, lalu beranjak maju beberapa langkah. “Berikan dia padaku, aku ingin memeluknya sebelum aku pergi.” Alaric meminta dengan perasaan entah. Harusnya ia bisa menemani istrinya dan bermain dengan putranya seraya Vanessa tengah menyusui putra mereka. Namun, impian itu tidak akan pernah tercapai, sebab kini Vanessa telah berbeda alam dengan mereka. “Hati-hati, Tuan.” Elena memindahkan bayi mungil itu ke dalam gendongan Alaric dengan sangat hati-hati. Meski sudah beberapa kali menggendongnya, Alaric tetap saja terlihat sangat kikuk. Ia takut, takut jika putranya terjatuh dari gendongannya. Lalu ia kembali kehilangan orang yang begitu dicintainya. “Tanganmu taruh di sini, Tuan, agar dekapanmu lebih aman.” Elena membantu memindahkan tangan kanan Alaric agar menopangnya di bagian bokong. Ia terlihat senang melihat interaksi antara anak dan ayah itu. Alaric langsung memberikan tatapan tajam, sebab ia tidak mengizinkan wanita mana pun menyentuh tubuhnya tanpa izin darinya, apa pun alasannya. “Maaf, Tuan.” Elena langsung menunduk dan lekas memberikan jarak yang cukup jauh untuk mereka. Ia mendadak takut melihat sorot tajam yang diberikan oleh Alaric untuknya. “Meskipun aku akan menikahimu, jangan berpikir aku akan bersikap baik padamu. Kau tidak bisa menyentuhku dengan sesukamu. Ada batasan antara kau dan aku.” Alaric berucap dengan tajam. “Saya paham, Tuan. Maaf atas kelancangan saya terhadap Anda.” Elena lagi-lagi meminta maaf. Sesungguhnya itu di luar keinginannya, tangannya secara spontan mengajari lelaki itu bagaimana cara menggendong yang benar. Itu terjadi secara naluri, di luar kehendaknya. “Ada hal yang harus kau ingat, kau bukan ibu putraku. Kau hanya pengasuh baginya, jangan bersikap seolah kau adalah ibunya. Dia mungkin akan tumbuh besar denganmu, tapi jangan pernah kau cuci otaknya dengan mengatakan bahwa kau adalah ibunya. Ingat, kau hanya pengasuh!” Alaric menegaskan status Elena. Ia tidak ingin posisi mendiang istrinya tergantikan oleh Elena. Elena tersentak, wajahnya mendadak memucat. Ia sama sekali tidak sadar jika Alaric tengah memerhatikan saat ia menyebut dirinya sebagai ibu pada Daryl. “Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya.” Elena berucap dengan lemah. Kini ia sadar jika bayi mungil itu tidak sepenuhnya milik dirinya. Ia hanya tangan yang akan ikut membantu tumbuh kembangnya.Elena merawat Daryl layaknya anak sendiri. Ia anggap bayi mungil itu sebagai pengganti bayinya yang telah mati. Sedikit banyak mulai terbentuk ikatan batin setelah beberapa kali ia beri anak itu minum ASI. Kasih sayangnya tulus bagai ibu sendiri. Tidak ada dendam sedikit pun yang tertanam dalam hatinya untuk si Tuan Muda, sebab ia tahu yang bersalah atas apa yang terjadi adalah Alaric. Bayi mungil itu tidak tahu apa-apa, jadi ia tidak pantas untuk mendapatkan hukuman atas apa yang sudah dilakukan oleh orangtuanya.Pekerjaan rumah bukan lagi tugas Elena. Kini Alaric memberikan ia tugas untuk merawat Daryl sepenuhnya. Membuat wanita itu merasa senang, sebab ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bayi kesayangannya.“Aku hanya ingin menggendongnya.” Shesyl lagi-lagi membuat keributan hari ini. Ia marah seperti biasa, sebab Elena tidak mengizinkannya untuk menyentuh Daryl. Elena benar-benar menjaga bayi mungil itu. Tidak sembarang tangan yang boleh menyentuhnya. Apalagi Shesyl yang
“Tunggu!” Felix menghentikan langkah Elena. Membuat wanita cantik itu semakin memucat. Ia tidak berniat jahat, hanya ingin memberikan ASI-nya agar ia tidak membuangnya seperti biasa. Saat bibir mungil Tuan Muda menyentuh putingnya, ia merasa hangat di dada. Rindu akan mendiang bayinya terbayar tuntas saat tetes pertama ASI-nya diminum oleh anak tuannya.Elena berhenti, ia tidak berani menatap Felix sama sekali. Ia memang terbiasa menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya dari para pengawal agar tidak ada yang ingin menggodanya seperti pesan Vanessa. Sebab, mendiang Vanessa tahu bahwa anak buah suaminya rata-rata orang yang tidak punya hati, jadi ia ingin agar Elena selalu waspada. Tampaknya mendiang Vanessa tahu banyak hal tentang Elena.“Kau memberinya ASI?” Felix bertanya memastikan. Meski ia sudah melihat dengan mata sendiri, ia tetap ingin Elena menjawab dengan jujur.“Maaf, Tuan.” Elena berucap dengan lembut.“Aku bukan tuanmu, tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu.” Felix me
Pemakaman berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada hambatan sama sekali. Duka terlihat dengan jelas menyelimuti mata Alaric. Lelaki itu berlutut di dekat gundukan tanah kuburan sang istri. Ia tatap pusara wanita itu, mengelusnya dengan lembut, dan memberikan satu kecupan untuk waktu yang lama. Ia terlihat berat untuk meninggalkan area pemakaman.Meski kini tidak lagi ada tetes air mata yang jatuh atas kepergian istrinya, Alaric masih merasakan sakit yang sama dengan detik di saat ia tahu bahwa sang istri telah tiada.“Aku ikut berduka atas kematian Kak Vanessa.” Shesyl mengusap lembut bahu abang iparnya itu. Ia ingin menunjukkan kepeduliannya pada Alaric.Namun, Alaric tidak suka disentuh olehnya. Dengan kasar ia singkirkan tangan Shesyl dari bahunya. Membuat wanita itu berdecak kesal karena lagi-lagi mendapatkan penolakan.Sengang. Satu per satu para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Tersisa beberapa orang yang masih setia menunggu tuannya.“Kita harus pulang, Tuan. Saya tah
“Jangan memintaku untuk melakukan hal konyol seperti itu!” Alaric langsung membantah permintaan istrinya. Bagaimana mungkin ia bisa menikah lagi dengan wanita lain, sementara seluruh hati dan cintanya telah ia berikan pada Vanessa?“Saya tidak bisa, Nyonya.” Elena ikut menolak, sebab ia tahu seperti apa kekejaman tuannya itu. Semua orang akan ia bantai saat marah dan hanya Vanessa yang bisa menenangkan hatinya jika sudah begitu.Napas Vanessa mulai tersendat. Sorot matanya terlihat kian meredup.“Menikahlah dengannya demi aku, juga demi anakmu.” Vanessa berucap dengan lemah dan terbata-bata. Ia genggam tangan sang suami kuat-kuat, meminta dengan sangat agar permintaannya tidak ditolak.“Aku tidak mau.” Lelaki berahang keras itu tetap saja menolak.“Elena bisa memberi ASI untuk bayimu. Tidak akan ada yang lebih baik dari dia setelah aku.” Vanessa terus berusaha meyakinkan suaminya. Wanita itu semakin merasa lemah dan tidak bertenaga. Kematian sudah terlihat dengan jelas di depannya.“A
“Tuan, istri Anda sedang dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan.” Suara dari dalam ponsel membuat Alaric terbelalak. Ia lekas berlari keluar dari ruangan, tempat di mana sebentar lagi akan diadakan rapat besar. Tidak ada hal yang lebih penting baginya daripada wanita yang begitu ia cintai, wanita yang ia nikahi satu tahun lalu.“Batalkan semua pertemuan, saya harus ke rumah sakit sekarang!” Alaric memberikan perintah pada kaki tangannya.Lelaki berhidung mancung itu sangat gelisah, tapi masih bisa ia tutupi dengan kewibawaan yang ia miliki. Kaki jenjangnya melangkah melewati lorong demi lorong, sementara anak buahnya mengekor di belakang.Mobil civic telah menunggu di depan pintu saat Alaric tiba di luar gedung. Ia lekas masuk dan meminta agar sang supir lekas menancap gas menuju rumah sakit di mana istrinya tengah berada. Lelaki itu tampak tenang, tapi sesungguhnya hatinya kini tengah bergenderang. Ia tidak ingin melewatkan satu detik pun rasa sakit yang dialami oleh istrinya di