MasukPemakaman berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada hambatan sama sekali. Duka terlihat dengan jelas menyelimuti mata Alaric. Lelaki itu berlutut di dekat gundukan tanah kuburan sang istri. Ia tatap pusara wanita itu, mengelusnya dengan lembut, dan memberikan satu kecupan untuk waktu yang lama. Ia terlihat berat untuk meninggalkan area pemakaman.
Meski kini tidak lagi ada tetes air mata yang jatuh atas kepergian istrinya, Alaric masih merasakan sakit yang sama dengan detik di saat ia tahu bahwa sang istri telah tiada. “Aku ikut berduka atas kematian Kak Vanessa.” Shesyl mengusap lembut bahu abang iparnya itu. Ia ingin menunjukkan kepeduliannya pada Alaric. Namun, Alaric tidak suka disentuh olehnya. Dengan kasar ia singkirkan tangan Shesyl dari bahunya. Membuat wanita itu berdecak kesal karena lagi-lagi mendapatkan penolakan. Sengang. Satu per satu para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Tersisa beberapa orang yang masih setia menunggu tuannya. “Kita harus pulang, Tuan. Saya tahu ini berat untuk Anda, tapi ini sudah mulai gelap.” Felix berucap dengan lembut, tapi terkesan sangat tegas. Ia tidak ingin tuannya menjadi lemah setelah kehilangan sang istri. Alaric menarik napas dengan berat. Kembali ia berikan satu kecupan pada papan nama istrinya. Lalu bangkit berdiri, memenuhi ajakan Felix untuk segera pulang. Baru saja tiba di rumah, Alaric sudah dikejutkan dengan keributan yang disebabkan oleh adik iparnya. Wanita itu marah-marah dan memaki Elena karena tidak diizinkan untuk memasuki kamar utama. Ia ingin mengambil barang-barang mendiang kakaknya, sebagai kenang-kenangan agar ia bisa mengingat kakaknya di sepanjang sisa usianya. Terlebih semua barang milik Vanessa tidak ada yang murah. Rata-rata barang branded limited edition yang dibelikan oleh Alaric dari hasil uang haramnya. “Mas, kau harus memecatnya. Dia sangat kasar!” Shesyl menunjuk tidak suka pada Elena. Matanya melotot menatap wanita itu, menunjukkan betapa kesalnya ia pada Elena. Dari semua pelayan, hanya wanita bermata hazel itu yang berani menahan langkahnya untuk memasuki kamar utama. Elena menunduk takut saat Alaric menatap padanya. “Maaf, Tuan. Saya hanya menjaga amanah Nyonya Vanessa agar tidak ada yang boleh masuk ke kamarnya tanpa izin darinya.” Elena menjawab dengan mantap meski rasa takut menghinggapi dada. Alaric menghela napas dengan berat. Selama ini ia tidak pernah memerhatikan para pekerja wanita. Jadi, ia tidak hapal dengan wajah-wajahnya. Namun, ia bisa mengingat wajah Elena dengan sangat baik setelah kejadian di rumah sakit pagi tadi. Elena terlalu cantik untuk jadi seorang pelayan. Kulitnya putih bersih, hidungnya bak perosotan, rambut sedikit pirang, juga bola mata yang indah. Ia tampaknya seorang blasteran. “Kau Elena?” Alaric bertanya memastikan. Ia tidak pernah berbicara dengan pelayan wanita hingga ia berbicara dengan Elena. Elena mengangguk dengan cepat. Hanya itu saja, ia tidak memberikan teguran atau pujian atas kinerja Elena yang telah melarang Shesyl dengan keras untuk tidak memasuki kamarnya. Lelaki itu berlalu begitu saja, masuk kamar dan menutup pintu dengan sedikit keras. Ia sedang ingin meratapi nasibnya sekarang. “Kau jangan main-main denganku atau kau akan menyesal!” Shesyl memberikan ancaman, lalu beranjak pergi dengan kesal. Elena tidak merasa terancam sama sekali dengan ucapan wanita barusan. Baginya itu bukanlah sebuah ancaman, ia hanya menjalankan tugas, jadi tidak ada yang harus ia takuti selama ia merasa benar. Felix yang sudah memerhatikan Elena sejak di rumah sakit, mengikuti langkah wanita cantik itu. Ia memanggil dengan lembut, membuat Elena menghentikan langkahnya. “Apa kau pelayan baru? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.” Felix bertanya dengan tatapan yang beda. Ia merasa kagum atas kecantikan wanita itu. Belum pernah ia bertemu dengan pelayan seanggun itu. “Saya direkrut oleh Nyonya Vanessa bulan lalu.” Elena mendongak menatap. Akhirnya Felix bisa menikmati betapa indahnya sepasang mata cantik yang ada di hadapannya. “Kau pelayan baru, mengapa Nyonya Vanessa begitu percaya terhadapmu?” Felix bertanya tidak mengerti. Elena terdiam, sesungguhnya ia juga tidak tahu. “Di mana Nyonya Vanessa menemukanmu?” Felix sangat ingin tahu. Ia begitu terpesona dengan kecantikan wanita itu. Elena tidak ingin menjawab. Ia berbalik dan meneruskan langkah menuju ruang di mana Tuan Muda berada. Hal itu membuat Felix mati penasaran. Ia ingin tahu banyak hal tentang Elena. Ia sudah sebulan menjadi pelayan, tapi baru hari ini mereka bertatap muka. Felix berlari menuruni anak-anak tangga. Ia berjalan mencari kepala pelayan untuk menanyakan perihal Elena. Tampaknya ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama, tanpa tahu jika tuannya diminta untuk menikahi wanita itu. “Saya kurang tahu, karena Nyonya Vanessa sendiri yang merekrutnya.” Jawaban kepala pelayan tidak bisa membuat Alaric puas. “Tapi dari rumor yang beredar, dia salah satu tawanan Tuan Alaric karena telah menjadi saksi pembunuhan suaminya yang seorang polisi.” Wanita paruh baya itu berucap dengan tidak yakin. Ia sendiri tidak sepenuhnya percaya, sebab tidak akan ada seorang wanita yang ingin bekerja dengan sangat baik untuk orang yang sudah membunuh suaminya. “Apa lagi yang kau ketahui?” Felix ingin menggali lebih dalam lagi. “Ada juga rumor yang beredar jika salah satu pelayan pernah melihatnya tengah memompa ASI. Sepertinya dia baru melahirkan.” Kepala pelayan semakin tidak yakin dengan apa yang ia katakan. “Kurasa itu hanya rumor. Elena memang sedikit tertutup, tapi sejauh ini dia sangat baik. Tidak ada hal yang mencurigakan tentangnya.” Wanita itu kembali menambahkan. Felix mengangguk mengerti. “Beritahu aku jika kau sudah mendapatkan informasi tambahan tentangnya.” Felix meninggalkan pesan seraya beranjak keluar dari dapur. Lelaki yang memiliki paras layaknya Cagatay Ulusoy itu berpikir keras mengenai beberapa polisi yang sudah ia eksekusi dengan tangan sendiri atas perintah Alaric, sebab mereka yang tidak ingin diajak untuk bekerja sama. Orang-orang jujur akan langsung dibabat habis oleh mereka. Sebab, itu akan menghambat pekerjaan. Pikiran Felix dipenuhi oleh banyak tanda tanya. Ia ingin lebih dekat dengan Elena, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Terlalu sibuk mengurusi bisnis gelap milik Alaric, ia bahkan sampai tidak punya waktu untuk mengenal cinta. Felix melangkah dengan pasti menuju lantai tiga, ia ingin mengecek keadaan Tuan Muda. Sejak tadi, tidak terdengar suaranya sama sekali. Saat ia membuka pintu kamar, ia dikejutkan dengan Elena yang tengah memberikan ASI pada bayi mungil itu. Melihat kedatangan Felix, Elena memucat di tempat. Ia takut akan dipenggal karena memberi ASI tanpa izin dari Alaric. Ia diminta untuk memberikan susu formula, bukan memberikan ASI-nya. Cepat, Elena melepas kuluman bayi mungil itu dari buah dadanya. Ia bangkit berdiri, meletakkan Tuan Muda di ranjangnya, kemudian berlalu keluar kamar seraya merapikan pakaian. Dadanya berdebar dengan sangat kencang. Ia sangat takut sekarang. Sebab, bayangan ketika Alaric mengayunkan pedang ke kelapa suaminya masih terputar dengan jelas di otaknya. Alaric mungkin sudah lupa, apalagi Felix yang saat itu tidak ikut serta. Namun, Elena tidak akan pernah lupa hingga akhir hayatnya.Elena merawat Daryl layaknya anak sendiri. Ia anggap bayi mungil itu sebagai pengganti bayinya yang telah mati. Sedikit banyak mulai terbentuk ikatan batin setelah beberapa kali ia beri anak itu minum ASI. Kasih sayangnya tulus bagai ibu sendiri. Tidak ada dendam sedikit pun yang tertanam dalam hatinya untuk si Tuan Muda, sebab ia tahu yang bersalah atas apa yang terjadi adalah Alaric. Bayi mungil itu tidak tahu apa-apa, jadi ia tidak pantas untuk mendapatkan hukuman atas apa yang sudah dilakukan oleh orangtuanya.Pekerjaan rumah bukan lagi tugas Elena. Kini Alaric memberikan ia tugas untuk merawat Daryl sepenuhnya. Membuat wanita itu merasa senang, sebab ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bayi kesayangannya.“Aku hanya ingin menggendongnya.” Shesyl lagi-lagi membuat keributan hari ini. Ia marah seperti biasa, sebab Elena tidak mengizinkannya untuk menyentuh Daryl. Elena benar-benar menjaga bayi mungil itu. Tidak sembarang tangan yang boleh menyentuhnya. Apalagi Shesyl yang
“Tunggu!” Felix menghentikan langkah Elena. Membuat wanita cantik itu semakin memucat. Ia tidak berniat jahat, hanya ingin memberikan ASI-nya agar ia tidak membuangnya seperti biasa. Saat bibir mungil Tuan Muda menyentuh putingnya, ia merasa hangat di dada. Rindu akan mendiang bayinya terbayar tuntas saat tetes pertama ASI-nya diminum oleh anak tuannya.Elena berhenti, ia tidak berani menatap Felix sama sekali. Ia memang terbiasa menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya dari para pengawal agar tidak ada yang ingin menggodanya seperti pesan Vanessa. Sebab, mendiang Vanessa tahu bahwa anak buah suaminya rata-rata orang yang tidak punya hati, jadi ia ingin agar Elena selalu waspada. Tampaknya mendiang Vanessa tahu banyak hal tentang Elena.“Kau memberinya ASI?” Felix bertanya memastikan. Meski ia sudah melihat dengan mata sendiri, ia tetap ingin Elena menjawab dengan jujur.“Maaf, Tuan.” Elena berucap dengan lembut.“Aku bukan tuanmu, tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu.” Felix me
Pemakaman berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada hambatan sama sekali. Duka terlihat dengan jelas menyelimuti mata Alaric. Lelaki itu berlutut di dekat gundukan tanah kuburan sang istri. Ia tatap pusara wanita itu, mengelusnya dengan lembut, dan memberikan satu kecupan untuk waktu yang lama. Ia terlihat berat untuk meninggalkan area pemakaman.Meski kini tidak lagi ada tetes air mata yang jatuh atas kepergian istrinya, Alaric masih merasakan sakit yang sama dengan detik di saat ia tahu bahwa sang istri telah tiada.“Aku ikut berduka atas kematian Kak Vanessa.” Shesyl mengusap lembut bahu abang iparnya itu. Ia ingin menunjukkan kepeduliannya pada Alaric.Namun, Alaric tidak suka disentuh olehnya. Dengan kasar ia singkirkan tangan Shesyl dari bahunya. Membuat wanita itu berdecak kesal karena lagi-lagi mendapatkan penolakan.Sengang. Satu per satu para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Tersisa beberapa orang yang masih setia menunggu tuannya.“Kita harus pulang, Tuan. Saya tah
“Jangan memintaku untuk melakukan hal konyol seperti itu!” Alaric langsung membantah permintaan istrinya. Bagaimana mungkin ia bisa menikah lagi dengan wanita lain, sementara seluruh hati dan cintanya telah ia berikan pada Vanessa?“Saya tidak bisa, Nyonya.” Elena ikut menolak, sebab ia tahu seperti apa kekejaman tuannya itu. Semua orang akan ia bantai saat marah dan hanya Vanessa yang bisa menenangkan hatinya jika sudah begitu.Napas Vanessa mulai tersendat. Sorot matanya terlihat kian meredup.“Menikahlah dengannya demi aku, juga demi anakmu.” Vanessa berucap dengan lemah dan terbata-bata. Ia genggam tangan sang suami kuat-kuat, meminta dengan sangat agar permintaannya tidak ditolak.“Aku tidak mau.” Lelaki berahang keras itu tetap saja menolak.“Elena bisa memberi ASI untuk bayimu. Tidak akan ada yang lebih baik dari dia setelah aku.” Vanessa terus berusaha meyakinkan suaminya. Wanita itu semakin merasa lemah dan tidak bertenaga. Kematian sudah terlihat dengan jelas di depannya.“A
“Tuan, istri Anda sedang dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan.” Suara dari dalam ponsel membuat Alaric terbelalak. Ia lekas berlari keluar dari ruangan, tempat di mana sebentar lagi akan diadakan rapat besar. Tidak ada hal yang lebih penting baginya daripada wanita yang begitu ia cintai, wanita yang ia nikahi satu tahun lalu.“Batalkan semua pertemuan, saya harus ke rumah sakit sekarang!” Alaric memberikan perintah pada kaki tangannya.Lelaki berhidung mancung itu sangat gelisah, tapi masih bisa ia tutupi dengan kewibawaan yang ia miliki. Kaki jenjangnya melangkah melewati lorong demi lorong, sementara anak buahnya mengekor di belakang.Mobil civic telah menunggu di depan pintu saat Alaric tiba di luar gedung. Ia lekas masuk dan meminta agar sang supir lekas menancap gas menuju rumah sakit di mana istrinya tengah berada. Lelaki itu tampak tenang, tapi sesungguhnya hatinya kini tengah bergenderang. Ia tidak ingin melewatkan satu detik pun rasa sakit yang dialami oleh istrinya di