Elena: Luka Terindah

Elena: Luka Terindah

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-10-16
Oleh:  AqillahOngoing
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
10Bab
201Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Di dunia di mana darah lebih berharga dari cinta, Rafael De Luca tumbuh tanpa hati, pewaris kekuasaan yang dibangun dari kematian dan kebohongan. Hingga suatu malam, seorang saksi bernama Elena muncul dan mengguncang segalanya. Elena seharusnya mati, tetapi Rafael justru menunda peluru yang sudah siap di pelipisnya. Sejak itu, setiap senja menjadi saksi dari pertarungan yang tak pernah selesai, antara cinta dan kehancuran, antara nafsu dan luka yang tak bisa disembuhkan. Dalam istana yang megah namun dingin, cinta mereka tumbuh dari darah, dan berakhir dalam api yang sama yang menciptakannya. “Aku tak tahu apakah aku mencintaimu, atau hanya ingin melihatmu hancur bersamaku.”

Lihat lebih banyak

Bab 1

Chapter 1

Senja merayap turun di pinggiran kota Milan ketika Rafael De Luca membuka pintu besi gudang yang berderit. Cahaya oranye yang redup menembus celah-celah atap yang berkarat, jatuh tepat di tengah ruangan seperti sorotan panggung untuk sesuatu yang harusnya tidak disaksikan manusia.

Rafael berjalan masuk dengan langkah tenang. Sepatunya memijak genangan air hujan bercampur oli, meninggalkan jejak gelap di lantai. Di belakangnya, dua pengawal membawa seorang pria dengan tangan terikat, wajah lebam, dan napas yang berat.

Pria itu Marcello, dulu salah satu tangan kanan keluarga De Luca. Sekarang, ia hanya beban bernyawa yang diseret menuju akhir.

“Kau membuatku kecewa,” kata Rafael pelan, suaranya datar. “Aku mempercayaimu.”

Marcello terbatuk. “Aku … aku tidak bermaksud—”

“Semua pengkhianat mengatakan seperti itu.” Rafael mendekat. Wajahnya masih muda, tetapi matanya dingin seperti baja yang menunggu ditempa.

Gudang itu sunyi. Hanya suara tetesan air yang jatuh dari pipa pecah. Dua pengawal melemparkan Marcello ke kursi yang sudah disiapkan, kursi besi dengan tali yang kusut. Bukan pertama kali kursi itu dipakai.

Marcello menggeliat, tetapi tubuhnya lemah. Ia tahu melawan hanya akan mempercepat ajalnya.

Rafael mengeluarkan sarung tangan kulit dan mengenakannya perlahan. Tidak terburu-buru, seolah prosesi ini adalah ritual yang wajar.

“Kau menjual informasi keluarga kepada polisi,” katanya. “Dan kau pikir aku tidak akan tahu?”

“Aku … aku takut, Raf. Mereka menekanku. Aku tidak punya pilihan.”

Rafael berhenti memasang sarung tangan. “Semua orang punya pilihan.” Ia menatap tajam. “Dan kau memilih yang salah.”

Isyarat kecil dari dagunya membuat dua pengawal menahan bahu Marcello. Kursi bergoyang pelan, nafas Marcello memburu.

Rafael mengambil sebuah alat dari meja. Tidak besar, tetapi cukup untuk membuat seseorang menjerit.

“Aku akan membuatmu bicara,” katanya sambil mendekat.

Marcello menggeleng cepat, panik. “Tidak, tidak, Rafael, aku sudah mengatakan yang sebenarnya!”

“Oh, aku percaya,” ujarnya. “Tapi kau tetap harus membayar.”

Suara pertama yang keluar bukan teriakan, lebih seperti hembusan napas yang tertahan, disusul erangan panjang. Gudang yang tadinya hanya dipenuhi bau oli kini bercampur bau lain. Aroma metalik yang tidak asing bagi Rafael.

Ia tidak menikmati prosesnya, bukan juga membencinya. Ini tugas, warisan, dan identitas keluarga.

Di luar, matahari hampir tenggelam. Warna merah senja merembes masuk dari atap gudang, seperti turut menyaksikan akhir hidup Marcello.

Dan ketika suara itu akhirnya berhenti, Rafael melepaskan sarung tangannya yang kini kotor, lalu menjatuhkannya ke lantai. Pengawalnya membersihkan area tanpa ia perlu memerintah. Mereka sudah tahu prosedur.

Rafael menarik napas, mengembuskannya perlahan, lalu menatap tubuh yang terkulai lemas di kursi. “Kau seharusnya tetap di sisi kami.”

Ia membalikan badan, siap keluar dari gudang ketika salah satu pengawal berlari masuk.

“Signor De Luca!” serunya terengah-engah. “Ada seseorang di luar. Sepertinya dia melihat semuanya!”

Rafael menghentikan langkahnya.

“Seorang pria?”

“Tidak. Perempuan.”

Alis Rafael terangkat tipis. “Perempuan?”

“Dia lari ke arah pintu belakang gudang. Sepertinya dia berusaha kabur.”

Rafael tidak berkata apa-apa. Hanya mengangguk pelan. Dan itu cukup bagi kedua pengawalnya untuk bergerak cepat.

***

Elena berlari secepat yang ia bisa. Nafasnya terpotong-potong, dadanya sakit, tetapi kakinya menolak berhenti. Sepatu ketsnya menginjak bebatuan dan puing gudang yang berserakan, membuat langkahnya sempoyongan.

“Bodoh,” gumamnya sambil terus berlari. “Kenapa aku harus lewat sini?”

Ia hanya berniat memotong jalan menuju halte bus. Gudang tua itu biasanya kosong. Tidak ada aktivitas sejak bertahun-tahun lalu. Tetapi sore ini, ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia lihat. Dan kini nyawanya taruhannya.

Suara langkah kaki berat terdengar dari belakangnya. Elena panik. “Ya Tuhan, ya Tuhan.”

Ia menoleh sekilas. Dua pria besar mendekat cepat. Sudah terlalu dekat.

Elena berlari ke arah pagar kawat tua yang setengah roboh. Tangannya gemetar meraih bagian yang renggang dan mencoba memanjat, tetapi kawatnya kasar dan menusuk kulitnya.

“Aduh!” Ia mengerang, tetapi tetap memaksa.

Saat ia hampir melewati sisi atas pagar, sebuah tangan besar menarik pergelangan kakinya.

“Ketemu!” suara rendah itu bergema.

Elena menjerit saat tubuhnya terhempas ke tanah. Debu mengepul. Punggungnya sakit, tetapi ia langsung merangkak mundur, berusaha bangkit.

“Lepaskan! Saya tidak lihat apa-apa!” teriaknya.

Salah satu pria menertawakannya. “Sayang, itu alasan yang paling basi.”

Elena menendang, tetapi kakinya ditahan.

Tiba-tiba, langkah sepatu lain terdengar. Lebih ringan, dan lebih teratur. Pria-pria itu spontan memberi ruang.

Rafael De Luca muncul di hadapan Elena dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya senja terakhir memantul di matanya yang gelap.

Saat pandangan Elena bertemu dengan matanya, ketakutan Elena memuncak. Mata pria itu tajam, dingin, dan jelas-jelas terbiasa melihat kematian.

“Apa kau melihat sesuatu?” tanya Rafael, suaranya rendah dan stabil.

Elena menggeleng cepat. “T-tidak! Saya cuma lewat! Saya bahkan tidak tahu itu apa!”

Pengawal di kanan menyeringai. “Dia berbohong, bos. Tadi dia meliat semuanya. Dia bahkan sempat berteriak.”

Rafael berjongkok di depan Elena sehingga wajah mereka sejajar. Elena mundur sedikit, tetapi Rafael menahan dagunya dengan dua jari, memaksanya menatap.

“Kalau kau tidak melihat apa-apa,” katanya tenang, “kenapa kau lari?”

Elena menggigit bibir, tangannya gemetar. “S-saya takut, tempat itu … suara tadi .…”

“Kau tidak perlu berbohong,” kata Rafael pelan. "Saya bisa melihat dari matamu.”

Elena terdiam, matanya memerah menahan tangis.

Rafael melepaskan dagunya. Ia berdiri perlahan, menatap pengawalnya. “Bawa dia ke dalam.”

“Tunggu! Jangan! Tolong!” Elena meronta, tetapi kedua pria itu mencengkeram lengannya dengan kuat dan menyeretnya kembali menuju gudang.

Tubuhnya bergetar hebat. Ia berusaha menggali tenaga terakhir untuk melawan.

“Tolong! Saya janji tidak akan mengatakan apa-apa! Saya tidak akan melapor! Sayabtahu siapa kalian!”

Rafael menyusul dari belakang dengan langkah santai. “Tentu saja tidak,” ujarnya. “Karena kalau kau mati, kau tidak bisa mengatakan apa-apa.”

Elena membeku, pria itu terlalu serius. Benar-benar serius.

Air mata Elena jatuh tanpa bisa ia tahan. “Kenapa kalian melakukan ini? Saya tidak sengaja! Saya cuma lewat!”

Rafael menatapnya sebentar. Ada jeda singkat. Seolah ia mempertimbangkan sesuatu.

“Kau tahu apa masalahku?” katanya akhirnya. “Saya tidak bisa meninggalkan saksi.”

Rafael mengangkat tangan sedikit sebagai kode. Pengawalnya mulai mengeluarkan senjata.

Elena menahan napas.m, hanya beberapa detik lagi, hanya beberapa detik.

Rafael menatap Elena sekali lagi, lebih lama dari seharusnya. Mata gadis itu besar, penuh ketakutan, tetapi ada sesuatu yang lain. Entah apa, tetapi cukup membuat Rafael terhenti.

Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini memberi sinyal untuk stop.

Pengawal langsung membeku.

Elena memejamkan mata, menunggu rasa sakit yang tidak kunjung datang. Ketika ia membuka mata, Rafael sudah berdiri sangat dekat. Wajah tegasnya hanya beberapa centimeter dari wajah Elena.

Rafael menatapnya lama, lalu ia berkata pelan, hampir seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri:

“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak ingin membunuhmu.”

Elena terpaku.

Pengawalnya saling menatap, bingung.

“Boss?” salah satunya bertanya.

Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap Elena dengan pandangan yang sulit dibaca, antara campuran rasa ingin tahu, kebingungan, dan sesuatu yang bahkan tidak ia pahami sendiri.

“Bawa dia,” kata Rafael akhirnya. “Tapi jangan sakiti dia.”

Pengawal mengangguk. “Lalu kita mau bawa ke mana?”

Rafael menatap Elena sekali lagi.

“Kita bawa dia ke villa.”

Elena terperanjat. “Apa?! Tidak! Jangan! Saya—”

“Diam,” kata Rafael pelan, tapi tegas. “Mulai sekarang, hidupmu ada di tanganku.”

Elena ingin menjerit, tetapi ketakutan membungkam lidahnya.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Tidak ada komentar
10 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status