Wanita bertubuh gempal itu maju ke depan, tatapan matanya menghunus tajam pada Naila yang terkejut, tidak menyangka istri dari pria yang dia jadikan sumber uangnya ternyata ada di sini.
Sampai di atas pelaminan, wanita itu menarik rambut Naila sekuat tenaga. Suasana kembali riuh, mereka melihat istri sah yang melabrak pelakor, karena Alandra yang membuka semuanya.
Ada yang menatap miris, terkejut dan banyak pula yang mencibir karena mereka menyayangkan sikap Naila yang masih muda tapi sudah menjadi penggoda suami orang lain.
"Sini kau, rasakan ini! Ternyata kau yang sudah merebut waktu suamiku, kau yang menghabiskan uang suamiku. Dasar jalang, aku tidak akan melepaskanmu pelacur!"
Naila tidak bisa membalas, karena tubuh wanita itu jauh lebih besar dari pada dirinya yang kurus. Naila memberi tatapan memohon pada Zaura dan Alandra. Tapi Alandra tidak menoleh sama sekali, membiarkan Naila dan perempuan itu menjadi tontonan orang lain.
Merasa suasana sudah semakin tidak kondusif, Alandra menarik tangan Zaura untuk turun ke bawah. Beruntungnya ini hanya sekedar acara akad, bukan resepsi. Jadi yang menyaksikan insiden memalukan Naila ini hanya orang-orang tertentu. Tapi tidak menuntut kemungkinan, berita ini akan meluas kemana-mana.
"Pak Al, k-kita mau kemana?" tanya Zaura, saat tangannya terus di seret oleh suaminya keluar dari gedung.
Langkah Alandra berhenti. Matanya menatap Zaura yang sudah menjadi istrinya. "Istirahat Ra. Aku males banget kalau harus melihat tontonan memalukan itu. Tapi aku bahagia, karena aku bisa menikahi kamu dan kamu sudah menjadi milikku sekarang,"
Zaura hanya terdiam membisu, bibirnya terasa kelu dan tak bisa menjawab apapun. Perasaanya campur aduk, antara sedih, bahagia dan terkejut karena suaminya adalah Alandra. Laki-laki yang selama ini mengejarnya.
Alandra kembali berjalan, Zaura hanya bisa mengikuti langkah suaminya karena Zaura pun bingung harus melakukan apa.
Sampai di kamar, Zaura duduk di atas kasur. Sementara Alandra juga duduk di sampingnya, memegang tangan Alandra dengan lembut. Tatapan hangat yang Alandra tunjukan pada Zaura, membuat Zaura memalingkan wajahnya karena salah tingkah.
"Kamu cantik," cicit Alandra, masih betah memandangi wajah istrinya yang masih mengenakan makeup.
Zaura semakin menghindari tatapan Alandra. Jantungnya berdegup kencang, selama ini belum pernah ada laki-laki yang memujinya seperti Alandra. Karena Zaura tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun karena hasutan Naila.
"Pak, Acaranya sudah selesai kan? Kita tidak akan kembali lagi ke ballrom hotel?" tanya Zaura, karena merasa tidak nyaman dengan makeup tebal yang masih menutupi wajahnya.
"Sudah, memangnya kenapa?"
"A-aku mau ganti baju," jawab Zaura, Alandra mengerti mungkin istrinya tidak nyaman dengan gaun yang menjuntai indah.
"Boleh, tapi bolehkah aku yang membersihkan makeup kamu? Aku rasa, kamu akan kesulitan membersihkan makeup itu karena tebal sekali ternyata," Ucap Alandra, mencari alasan agar dia bisa semakin leluasa memandangi wajah cantik istrinya.
"E-emangnya gapapa?"
"Ya ga apa-apa dong, pahala loh bantuin istri. Biar aku ambil kapas dan pembersihnya, kamu diam di sini." Zaura hanya mengangguk, Zaura masih canggung dan belum bisa berucap apa-apa.
"P-pak, gimana kondisi gedung tadi? A-apa ada yang membereskan di sana?" tanya Zaura, saat suaminya tengah membersihkan wajahnya.
"Biarkan saja, aku sudah menyuruh anak buahku untuk mengusir Naila dan orang-ornag tadi untuk pergi dari sini. Walaupun ada kerusakan, aku yang akan bertanggung jawab."
"Kenapa? Apa kamu keberatan aku membuka aib Naila di depan umum?" tanya Alandra, hawatir jika istrinya tidak mendukung tindakannya.
Zaura menghela nafas panjang. "Bukan begitu, selama ini aku memang tahu kelakuan sepupuku itu bagaimana, tapi orang seprtiku sulit untuk mendapatkan bukti tentang Naila. Aku juga ingat dulu dia selalu menjelekan aku sama semua orang, aku juga tidak punya teman karena mereka semua menjauhiku."
Zaura memberanikan diri menatap mata elang suaminya, laki-laki yang sudah membelanya dan membalas Naila tanpa perlu turun tangan. "Terimakasih karena sudah membelaku. Kamu adalah orang kedua yang melindungiku setelah ibu, aku kira di dunia ini tidak ada lagi orang yang mau dekat dengan aku karena kata mereka aku anak haram. Aku pernah melakukan tindakan bodoh itu karena aku takut kehilangan ibu, hanya ibulah satu-satunya orang yang menyayangiku," ujar Zaura dengan suara bergetar.
Alandra membawa istrinya ke dalam pelukannya. Alandra memang tahu, bagaimana kehidupan istrinya selama ini. Tapi setelah diam-diam Alandra menyelidikinya tentang Zaura lebih jauh lagi, Alandra tahu jika Zaura tidak seburuk yang orang lain kira.
"Setelah ini, aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti kamu lagi. Aku di sini melindungi kamu Zaura, percaya sama aku. Izinkan aku mencintaimu sepenuh hatiku dan menjagamu." Alandra berucap tegas, kemudian mendaratkan ciuman kecil di puncak kepala sang istri.
Andai saja waktu itu Alandra menolak perjodohan ya dengan gadis pilihan Rosa, ibunya. Mungkin akan sulit sekali bagi Alandra untuk menaklukan hati Zaura. Dan sekarang, Aakah prinsip yang selama ini Zaura simpan akan berubah begitu saja? Padahal, Zaura tidak pernah ingin terlibat dengan yang namanya pernikahan. Tapi di dalam dekapan Alandra sekarang, Zaura merasakan kenyamanan dan ketenangan yang belum pernah dia rasakan. Apakah sebentar lagi hatinya akan berlabuh pada laki-laki yang sedang mendekapnya sekarang? Ah entahlah, Zaura dilema.
*
*
*
"Sialan! Zaura, kamu menghancurkan segalanya," desis Naila, saat dia berhasil lolos dari kejaran ibu-ibu gempal tadi yang terus menghajarnya.
Di dalam gedung tadi, saat semua orang mencibirnya dan menyorakinya pelakor. Naila berusaha mencari celah untuk pergi dari tempat itu, tubuhnya terasa remuk karena wanita gendut tadi benar-benar menghajarnya habis-habisan.
Dengan rambut yang acak-acakan, Naila berhasil keluar dari dalam gedung dan langsung menyetop taksi yang kebetulan lewat. Beruntungnya, wanita gendut tadi tak sampai mengejarnya sampai keluar, mungkin karena bobot tubuhnya yang terlalu besar hingga kesulitan mengejar Naila yang kurus.
Di dalam taksi, Naila menggerutu kesal. Sumpah serapah yang dia ucapkan pada Zaura. Naila merasa Zauralah penyebab dari kekacauan ini. Padahal tanpa sadar, dirinyalah yang memulai bendera perang sampai Alandra membalasnya. Sopir yang membawa Naila sampai menutup kedua telinganya dengan earphone.
"Lihat saja, Zaura aku tidak akan pernah tinggal diam. Aku gak akan rela kamu hidup bahagia dengan Alandra sedangkan aku menderita. Dan penderitaan ini gara-gara dia!"
"Arghh! Kenapa keberuntungan selalu memihak pada anak itu. Anak haram yang tidak pantas mendapatkan laki-laki seperti Alandra. Setelah aku memfinah Zaura, menjauhkan dia dari laki-laki yang berusaha mendekatinya, kenapa Zaura malah mendapatkan yang lebih dari yang aku kira!"
"Tidak bisa! Aku tidak akan tinggal diam, Zaura harus kembali menderita," desisnya dengan suara tajam.
Naila teringat, pada sosok Tika yang saat ini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Senyum sinisntersungging di bibirnya, karena sepertinya Naila sedang merencanakan sesuatu untuk membalaskan dendamnya pada Zaura.
"Pak, Rumah sakit Santoso. Antarkan aku ke sana sekarang juga, jangan pake lama," ujar Naila dengan nada memeintah.
Kedua pipi Launa memerah, tatkala seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya dan langsung memujinya. Setelah menoleh, ternyata Ziyan yang sedang memperhatikannya sejak tadi. Padahal Launa mengira itu suaminya."Eh, elo. Kirain Zayn.""Kenapa emang?""Gue tadinya salting kalo beneran Zayn yang muji gue. Eh tapi, beneran gue cocok pake baju kayak gini?" tanya Launa lagi, dengan memutar-mutar tubuhnya di depan cermin."Bagus kok, cantik," kata Ziyan lagi, mengakui kalau Launa memang sangat cantik mengenakan gamis berwarna maroon lengkap dengan hijabnya."Kalo gitu gue gak bakal ganti lagi. Gue mau ke kampus pake gamis ini aja. Gue yakin si, pasti banyak orang-ornag yang terpesona.""Terpesona! Inget, udah punya suami!""Ya iya Ziyan tenang aja. Gue juga inget kok."Tiba di ruang makan, semuanya sarapan dengan tenang. Sesekali Aqlan melihat emangnya yang tampak pangling, masih tidak menyangka jika menantunya sudah langsung berubah dan mau memakai set hijab seperti ini."La
Siang harinya, Khafi menemui sahabatnya di kantor miliknya. Saat ini, Khafi emang membutuhkan Hanif sebagai orang yang dia andalkan termasuk partner curhatnya juga. Dan Hanif juga banyak tahu tentang masalah yang di hadapi oleh Khafi saat ini."Ada apa? Tumben banget pakmil satu ini tiba-tiba datang ke sini.""Gue lagi pusing nif," jawab Khafi, seraya mendaratkan bokongnya duduk di atas sofa ruangan Hanif."Pusing? Kepala Lo kambuh lagi?" tanya Hanif hawatir."Ck, bukan!""Lah, terus apa?""Ada sesuatu yang harus kita selidiki. Hampir satu bulan ini, cafe Alara ada masalah. Pemasukan tiba-tiba menurun, padahal pelanggan tetap rame seperti biasa. Udah ada satu orang yang jadi tersangka, tapi dia kabur.""Terus masalahnya apa? Kenapa gak langsung laporin aja tu orang yang ngambil uangnya?"Khafi menatap Hanif dengan tajam. Jika masalahnya hanya itu, mungkin Khafi tidak mungkin menemuinya untuk mengajak Hanif diskusi."Masalahnya, gue yakin pasti ada orang yang ikut campur dan jadi dalan
"Siap," sahut Naila langsung menaiki mobil dan duduk di samping Khafi.Khafi melakukan mobilnya dengan kecepatan cepat, namun cenderung lebih lambat. Sambil sesekali melihat ke samping berhadap bisa menemukan istrinya."Bang, kita mau cari mbak Alara kemana?" tanya Naila dengan nada malas."Ke Cafenya," jawab Khafi singkat. Bahkan sejak tadi Khafi tidak mempedulikan ocehan Naila yang membuat telinganya panas.Bagiamana tidak panas, Naila selalu membicarakan keburukan Alara. Kembali memanas-manasi keadaan agar Khafi tidak perlu mencari Alara."Abang, sebenarnya keputusuan Abang itu udah tepat. Abang nyuruh mbak Alara pergi karena itu kesalahan dia sendiri, Abang yakin masih mau memaafkan mbak Alara sedangkan mbak Alara sudah sejauh ini membohongi Abang."Cekiiittt!Dahi Naila terbentur ke atas dashboard, Khafi menatapnya dengan tajam."A-abang kenapa ngerem mendadak sih," Kesal Naila karena Khafi seperti sengaja ngerem mendadak, tapi setelah melihat gelagat Khafi yang sepertinya marah
Alandra mengecupi seluruh permukaan wajahnya. Memberikan istrinya ketenangan, agar Zaura tak lagi meratapi rasa sakitnya karena perawan ya sudah benar-benar pecah oleh Alandra, suaminya sendiri. Alandra sedikit menyesal karena hal ini ternyata sangat menyakiti istrinya. Tapi, masa iya dia tidak boleh melakukan hubungan suami istri yang justru dia dan istrinya sudah halal. "Berhenti saja hhhm? Aku gak akan melanjutkannya kalau kamu masih merasa sakit," ucap Alandra, dengan membelai wajah istrinya dengan tangannya. "Jangan! Kenapa harus berhenti?" "Kamu kesakitan, aku gak tega lihatnya!" "Sakitnya cuma sebentar mas. Sebentar lagi mungkin hilang, maaf kalau aku begini karena rasanya benar-benar sakit." "Tidak apa-apa. Aku tidak akan melanjutkannya, biar punya kamu membiaskan diri dengan milik aku." Zaura mengangguk, demi mengalihkan perhatian suaminya Zaura memulainya dengan meraih wajah suaminya dan mencium bibir laki-laki itu. Tentu saja Alandra tidak menolak, dia juga membalas l
Alandra tertawa melihat istrinya yang ketakutan Melihat rudal sakti miliknya. Bagaimana jadinya jika Alandra sampai memasukan rudal saktinya ke dalam goa sempit milik istrinya. Pastinya sangat nikmat, dan Alandra semakin tak sabar menunggu waktunya tiba. Tapi Alandra tak ingin melakuaknya secara langsung, laki-laki itu tidak ingin menakut-nakuti Zaura dengan rudal miliknya yang sudah seperti pedang sakti. "Kenapa Hhhm?" Tanya Alandra, seraya menciumi bahu tebuka istrinya. "I-itu apa mas? k-kenapa besar sekali?" "Ini benda yang akan bikin kamu keenakan. Kenapa malah takut Hhm? Ayo pegang," tukas Alandra, kembali menarik tangan istrinya. Zaura kembali menarik tangannya, rasanya dia enggan melihat ke arah rudal suaminya yang sudah mencuat ke atas. Apalagi sampai menyentuhnya, membayangkannya saja Zaura sudah bergidik ngeri. Lagi-lagi Alandra di buat tertawa dengan sikap sikap istrinya. Zaura takut dengan rudal miliknya, dan apakah Alandra akan berhenti saja? Oh tidak, sulit ba
Tidak berhenti di situ, dan Alandra tidak ingin memandanginya saja. Seraya memajukan wajahnya, bibirnya menyentuh puncak kuncup cokelat itu dan menjilatinya pelan. Zaura kembali bergetar. karena Alandra mulai memasukan seluruh permukaan bukit kembar itu ke dalam mulutnya, menyedotnya dengan kuat. seperti bayi yang kehausan. Sementara tangan satunya lagi masih memberikan remasan kecil di bukit satunya lagi. Bagaimana zuara tidak mengenal lagi. sedangkan perbuatan suaminya ini membuatnya tak kuasa untuk sekedar menahan desahannya. Zaura mendongak, menikmati setiap sesapan suaminya. Zaura juga meremas rambut Alandra dan menekannya hingga bukit kembar itu terasa penuh di mulutnya. Usai memberikan rangsangan melalui bukit kembar istrinya. Alandra mencium seluruh permukaan perut Zaura hingga Zaura menggeliat kegelian. Zaura merasa banyak sekali kupu-kupu yang hinggap di perutnya. Rasanya aneh, dan Zaura tidak sabar untuk menantikan kegiatan selanjutnya. "Ssssh, mas!" jerit Zaura,