Share

BAB 4

Menjalani semua ini bukan inginku. Namun, aku harus tetap bertahan demi mereka.

__Tenri__

Pagi ini Narendra pergi ke Bank Artha Graha Internasional untuk mengganti ATM-nya yang tertelan di mesin ATM.

Narendra diberi nomor antrian oleh pak satpam yang berjaga. Dia tidak percaya seorang CEO ternama antri? Padahal dia juga adalah nasabah prioritas di bank ini. Parah!

Narendra jadi bahan perhatian di kantor tersebut karena setelan jas yang ia pakai sangat formal orang-orang berspekulasi bahwa dia bukan orang sembarangan. Karena di Indonesia setelan jas tidak terlalu dipakai saat bekerja, mereka hanya memakai jas saat ada acara penting saja.

Narendra melihat di ujung sana seorang costumer servis sepertinya dia pernah melihat costumer itu, tetapi dia lupa di mana.

"Nomor 9 ke meja 3," suara mesin antrian menyebutkan nomor antrian Narendra. 

Lagi-lagi Narendra jadi bahan tontonan para karyawan wanita yang menatapnya memuja.

"Halo Pak, saya Tenri ada yang bisa saya bantu?" tanya Tenri sangat ramah. Saat itu Tenri belum mengenali siapa pria di hadapannya ini.

"Saya ingin menganti ATM yang tertelan di mesin ATM," jawab Narendra datar tanpa melihat lawan bicaranya.

"Bisa Bapak perlihatkan KTP dan buku tabungan Bapak," pinta costumer servis itu yang tak bukan adalah Tenri.

Tanpa babibu Narendra mengeluarkan KTP dan buku tabungannya.

Tenri terkejut dia baru tahu jika pria tampan di hadapannya ini adalah nasabah prioritas dari perusahaan cabang. Pria yang membuatnya menunggu kemarin.

"Bisa Bapak isi form ini sebagai tanda penggantian kartu," jelas Tenri ramah.

'Gila, apa mereka enggak tahu kalau gue CEO ternama dan sukses di negara ini, masa masih isi form?' dumel Narenda dalam hati.

Tenri mencoba membuka percakapan di antara mereka.

"Bapak kedepanya tidak usah antri, langsung ke ruang prioritas saja, kami akan segera melayani Bapak dengan sebaik mungkin," tutur Tenri dengan senyum khasnya yang menampilkan dua lesung pipit di masing-masing pipinya.

Narendra sempat terkejut. Akan tetapi, segera menetralkan ekspresinya.

'What! dia bisa baca pikiran gue? Menarik nih cewek!' batin Narendra.

Namun, Narendra tetap bungkam tanpa membalas ucapan Tenri.

'Ck, sombong sekali Bapak ini, untung ganteng Pak, jadi aku maafin,' katanya dalam hati.

"Ini kartu Bapak yang baru, untuk ganti pin bisa di ATM yang ada di depan, ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya lagi sembari menyerahkan ATM Narendra yang baru.

Tanpa berkata-kata Narendra pergi meninggalkan Bank itu. Tenri hanya menghela napas. Terlihat Pak Herman menyemangati Tenri yang dibalas senyuman olehnya.

Di Bank itu Tenri disukai oleh banyak orang karena sikapnya yang baik hati dan ramah, dan tak banyak pula yang membencinya.

"Ten, makan yuk lapar nih," ajak Yasmin tiba-tiba menghampiri Tenri.

"Astagfirullah, kaget aku, aku udah sarapan kok tadi," jawab Tenri sembari tersenyum.

"Enggak, kamu temenin aku makan titik enggak ada koma," ucap Yasmin menyeret paksa Tenri menuju kantin kantor.

Sebenarnya hanya alibi jika Tenri telah sarapan karena dia harus mengirit. Baru-baru ini dia habis mengirim uang untuk keluarganya yang ada di Pinrang—Sulawesi Selatan.

...

Sore itu di depan kantornya Tenri menelepon orang tuanya.

"Assalamualaikum, bagaimanami kabar ta, Bu? Ayah bagaimanmi juga sudah baikanmi kasian? Adek-adek sehat ji? Rinduka sama kalian," ujar Tenri dengan suara agak bergetar.

Assalamualaikum, apa kabar, Bu? Apakah Ayah sudah membaik? Adik-adik sehat? Aku rindu sama kalian.

[W*'alaikumsalam Kak, baik-baik ji ki sama adek-adek'mu, Ayahmu begitu jh masih suka kambuh penyakitnya, rindu semuaki sama kamu, masuk mi juga uang yang nu kirim, minggu ini mau ji ko pulang, Kak] tanya ibu Tenri di seberang sana.

Waalaikumsalam Kak, kami baik dengan adik-adikmu. Ayah masih sama, masih sering kambuh penyakitnya, kami rindu sama kamu, uang yang kamu kirim sudah masuk, minggu ini apakah kamu ingin pulang, Kak?

"Alhamdulillah, kalau sehat-sehat semua ji ki di sana mudah-mudahan kasian cepat i Ayah sembuh. Endak bisapi ka pulang kalau minggu ini karena ada acara kantorku. Minggu depannya pi kayakanya Bu baru sa pulang," jawab Tenri pelan air matanya sudah merembes keluar dari mata indahnya yang bulat.

Allhamdulilah, jika kalian semua sehat di sana semoga ayah cepat sembuh. Aku belum bisa pulang karena ada acara kantor. Minggu depan baru aku pulang.

[Janganmi pale dulu nu pulang, sehat-sehat ki di sana di Kak jan perna ki lupa untuk ibadah.] 

Kamu tidak usah pulang dulu kalau begitu. Kamu sehat-sehat di sana jangan lupa ibadah.

"Iye Bu, kusayang semua ki assalamualaikum," balasnya seraya mematikan sambungan ketika mendapat balasan salam.

Iya Bu, aku sayang kalian assalamualaikum. 

Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Tenri dan mengagetkannya.

Dorh! 

"Hayo, lagi apa?" tanya si pelaku yang tak bukan adalah Yasmin.

"Astagfirullah, kaget tahu Yas," jawab Tenri tanpa menjawab pertanyaan Yasmin.

"Jangan nangis dong, 'kan ada aku Beb," ucap Yasmin seraya mengusap punggung Tenri lembut.

"Apaan sih Yas, siapa yang nagis ini tuh aku kelilipan," elak Tenri berbohong.

Ia sangat tahu apa yang Tenri rasakan karena hanya dirinya tempat Tenri berkeluh kesah.

"Ten, sebentar jadi 'kan gantiin temenku si Amel jadi resepsionis sementara di cafee A? Gajinya gede loh, sampai di sana kamu tinggal biacara sama pemilik cefee Pak Ryan," ujar Yasmin mengalihkan pembicaraan.

"Jadi dong Yas, aku lagi butuh duit nih buat bayar uang kuliah adik," jawab Tenri kembali tersenyum.

"Ok, banjunya udahku bawa ke kostsan kamu lewat ojek online," ucap Yasmin lagi.

"Thanks ya, kalau gitu aku deluan by, assalamualaikum," ujar Tenri seraya berlalu.

"By, w*'alaikumsalam," balas Yasmin.

...

Tenri telah rapi dengan seragam yang ia kenakan untuk bekerja sementara sebagai resepsionis pengganti di caffe A.

Tenri bimbang apa dia harus pakai make-up atau tidak jika tidak pakai dia takut tidak cocok dengan pekerjaannya.

Huft! Tenri menghela napas sebelum berucap, "Ya Allah, hamba hanya ingin membahagiakan orang tua," ucap Tenri setelah itu memakai make up yang natural terkahir ia memakai hijab pashmina untuk menutupi rambutnya yang sehalus sutra.

Saat sampe di cafee A Tenri langsung bertanya kepada pelayan letak ruangan pak Ryan. Tenri diantar ke ruangan pak Ryan setelahnya.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek! setelah mengetuk Tenri masuk ke ruangan itu.

"Maaf Pak, saya Tenri yang akan mengantikan Amel yang cuti karena typus," ucap Tenri tersenyum ramah.

"Wah, ternyata kamu sangat cantim Tenri, kamu tidak mau kerja tetap di sini? Gajinya gede loh, hahaha," tawar pak Ryan seraya terkekeh.

"Maaf Pak, saya hanya sampai weekend di sini," jawab Tenri masih tersenyum ramah.

"Baiklah, ini job deks kamu, kamu bisa minta bantuan pada supervisor di sana, namanya adalah Dinda, tugasmu hanya mengangkat telepon serta mencatat pesanan meja dan mengkoordinasikan dengan Dinda, paham?!" ucap pak Ryan menjelaskan.

"Paham Pak," jawab Tenri dan berlalu keluar.

Tenri dengan cepat menguasai job desk yang diberikan berkat data dari resepsionis lama serta bantuan Dinda sebagai supervisor.

Ketika Tenri banyak mendapat telepon dan suaranya hampir serak akibat berkomunikasi dengan Dinda lewat walkie tokie. Seseorang yang mengenalnya menghampiri.

"Eh, Tenri? Kamu kerja di cafee ini ya? Kamu enggak keluar 'kan dari bank Artha Graha Internasional?" tanya Dio yang mengenali Tenri.

"Duh enggak Dio, aku masih kerja di bank kok, aku lagi butuh duit Ayahku sakit, kamu lagi apa di sini?" tanya Tenri kembali setelah menjawab pertanyaan Dio.

"Oh, aku lagi ada nasabah di sini," jawab Dio.

"Mr. Jung meja nomor 22." 

Untung Tenri menghafal setiap nama tamu VIP di sini.

"Udah dulu ya Dio, aku lagi sibuk," ucap Tenri dan melayani pengunjung yang ada di belakang Dio dan tidak mempedulikan pria itu lagi karena pria itu juga telah memasuki cafee.

Keesokan harinya Tenri terbangun dengan kepala yang berdenyut ngilu karena pelanggan yang datang sangat banyak jadi jam tiga subuh baru dia selesai dan tak lupa membantu para OB membersihkan caffe walaupun tidak diminta. Menurut Tenri apa salahnya membantu?

Untung saja semalam waktu ia pulang sudah sepi. Karena dia malas bertemu para berandalan yang selalu mengganggunya.

"Hm, rindu masakan Ibu," guman Tenri. Saat ini tujuanya hanya satu yaitu pergi kewarteg dan memesan makanan. Untung ini weekend jadi Tenri tidak terlalu pusing dengan para nasabah.

Jangan salah walaupun Tenri tinggal di lingkungan kumuh dan gang sempit, tapi kostsan Tenrilah yang paling bersih di antara rumah yang berjejer dari jalan raya. Dan makanan di tempat itu juga tak kalah enak. Walaupun hanya makanan biasa tidak wah seperti di hotel-hotel berbintang yang ada di Jakarta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status