BAB 59 Pagi hari Dokter Ardian menyantap sarapan paginya dengan bibir cemberut. Citra sedang menjaga Nizam yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Sedari tadi Citra memerhatikan Dokter Ardian yang cemberut. Ia mengira Dokter Ardian tidak suka dengan menu masakannya hari ini. “Masakannya nggak enak ya, Mas?” tanya Citra dari ruang tengah dengan menatap Dokter Ardian. “Enak,” jawab Dokter Ardian singkat. “Mau dibawakan bekal buat makan siang nanti?” tanya Citra. “Boleh,” balas Dokter Ardian singkat lagi. Citra pun bangkit dari duduknya lalu mengambil kotak bekal makanan. Kemudian ia mengisi kotak makan itu dengan makanan yang ada di atas meja makan. “Kenapa sih, Mas, dari tadi manyun terus?” tanya Citra sambil mengisi kotak bekal. “Nggak apa-apa,” balas Dokter Ardian lalu meminum segelas air putih yang ada di depannya untuk menutup aktivitas sarapan paginya. “Kamu nggak makan?” tanya Dokter Ardian. “Nanti saja nunggu Nizam tidur,” balas Citra dengan tersenyum. “Ya sudah
BAB 61 Dokter Ardian baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir Rumah Sakit Husada. Tiba-tiba terdengar suara ponsel-nya berdering. Ia pun segera mengeluarkan ponsel dari saku kemeja-nya untuk mengetahui siapa yang menelepon pagi-pagi seperti ini. Tampaklah nama “OK” pada layar ponsel Dokter Ardian. Itu adalah nomor telepon ruang operasi di Rumah Sakit Husada. Dokter Ardian pun menghela napas panjang lalu mengembuskan-nya dengan kasar. Ia tahu, pasti ada pasien yang harus segera di SC sekarang. Ia pun segera menggeser tombol warna hijau pada layar ponsel-nya untuk menerima telepon itu. “Halo …,” sapa Dokter Ardian setelah menempelkan benda pipih itu pada daun telinganya. “Dok, Dokter di mana? Ada pasien darurat, Dok!” sahut seseorang yang ada di seberang telepon dengan tidak sabar. “Sudah di parkiran rumah sakit,” balas Dokter Ardian seraya membuka pintu mobil dan turun. “Baik, Dok. Kami akan menunggu,” balas orang yang di seberang telepon dengan sopan. “Oke,” sahut Dokter Ar
BAB 63 Citra menolehkan kepala ke arah kiri tubuhnya untuk melihat jam yang digantung di dinding kamarnya. Ia ingin mengetahui jam berapa sekarang karena Dokter Ardian masih belum pulang juga. Ia benar-benar merinding dan merasa sangat takut. Dengan jantung berdebar dan tangan gemetaran, Citra meraih ponsel-nya yang ada di atas nakas untuk melihat apakah Dokter Ardian mengirim pesan atau menelepon-nya. Namun, tidak ada pesan atau panggilan telepon satu pun dari Dokter Ardian di layar ponsel-nya. “Kamu ke mana sih, Mas? Kenapa masih belum pulang? Nggak telepon atau kirim pesan juga,” gumam Citra. Seketika matanya terasa hangat dan merasa ingin menangis karena ketakutan. “Apa terjadi sesuatu padanya?” Tiba-tiba Citra merasa khawatir. Dengan mata berkaca-kaca, Citra mencoba untuk menelepon Dokter Ardian. Namun, yang terdengar hanyalah suara operator yang mengatakan kalau nomor yang dituju sedang tidak aktif. Ia pun mendesah pelan dengan raut wajah penuh kekecewaan. Tiba-tiba ruangan
BAB 65 “Mas, kasihan Nizam sendirian di kamar,” bisik Citra di telinga Dokter Ardian. Itu hanyalah alasan Citra saja supaya Dokter Ardian mau menemaninya di kamar karena takut sendirian. Dokter Ardian bisa merasakan embusan napas Citra pada daun telinganya. Dan itu membuatnya sangat geli dan terangsang. Tiba-tiba, adik kecilnya bereaksi. “Kalau saya temani di kamar, kamu mau kasih saya apa?” tanya Dokter Ardian dengan posisi yang sama yaitu membelakangi Citra. “Terserah Mas maunya apa,” balas Citra pasrah. Yang penting Dokter Ardian mau menemaninya ke kamar, pikir Citra. Tanpa ia tahu apa yang akan diminta Dokter Ardian. “Oke.” Dokter Ardian mengiyakan permintaan Citra. Kemudian mereka berdua kembali ke kamar Citra. Dokter Ardian naik ke atas tempat tidur Citra dan berbaring di sana. “Mas, mau apa? Teh, kopi, susu, mie, atau apa?” tanya Citra menawarkan makanan pada Dokter Ardian. “Apa?” Dokter Ardian melongo mendengar penawaran Citra. Kenapa harus makanan coba, pikir Dokter Ar
BAB 67 POV Citra Sore ini sudah beberapa kali aku memandangi jam, baik yang tergantung di dinding maupun yang ada di layar ponsel-ku. Semakin sore, jantung-ku semakin berdegup kencang. Aku yakin, sebentar lagi Dokter Ardian atau tepatnya suamiku itu akan segera pulang. Namun, aku sangat berharap semoga dia pulang larut malam seperti kemarin malam. Semenjak membaca buku yang diberikannya tadi pagi, aku jadi membayangkan yang tidak-tidak. Sudah pukul setengah lima sore. Aku turun ke lantai bawah dengan menggendong Nizam di dadaku setelah mandi dan memandikan Nizam. Kulihat Mbak Mirna sudah bersiap-siap untuk pulang. “Mbak, mau pulang?” tanyaku seraya berjalan menghampirinya. “Iya, Mbak,” jawabnya singkat. “Nggak menginap di sini saja, Mbak?” tanyaku, tapi lebih tepatnya meminta supaya dia menginap di sini malam ini. “Nggak, Mbak. Sebentar lagi Herman akan datang. Aku ke depan dulu, ya,” pamit-nya lalu pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Karena tidak ada k
BAB 69 “Cit, biar Nizam tidur sama Ibuk saja ya,” ujar Bu Ratna karena Nizam sudah tidur di gendongannya. “Loh kenapa, Buk?” tanya Citra. “Kamar kamu kan sempit, nanti nggak bisa gerak. Lagian Ibuk kan tidur sendiri. Nggak apa-apa kan kalau Nizam tidur sama Ibuk?” tanya Bu Ratna seraya menatap Dokter Ardian. “Iya, Buk. Nggak apa-apa,” balas Dokter Ardian dengan tersenyum. Bu Ratna pun mengajak Nizam masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Citra masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkannya sebentar. “Mas, kalau capek, istirahat saja. Kamarnya sudah saya bersihkan,” ucap Citra pada Dokter Adrian. Dokter Ardian pun mengangguk lalu masuk ke dalam kamar Citra. Setelah Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya, Citra pergi ke kamar Bu Ratna. “Buk, Citra mau bicara sebentar,” ucap Citra dengan setengah berbisik. “Ada apa, Cit?” tanya Bu Ratna setelah bangkit. Mereka pun berbicara di ruang tengah supaya tidur Nizam tidak terganggu. “Ibuk kenapa langsung setuju aja saat Dokter Ardian melamar
BAB 71 Citra berbaring miring membelakangi Dokter Ardian dengan bibir mengerucut. Sesekali ia melirik ke belakang dan mendengkus pelan. Tangannya memegangi handuk di dada yang menutupi bahunya dan selimut yang menutupi tubuhnya. “Cit, apa kamu nggak gerah?” tanya Dokter Ardian yang melihat Citra menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. “Nggak, Mas,” jawab Citra singkat. “Cit,” panggil Dokter Ardian seraya memegang bahu Citra. “Hm,” sahut Citra tanpa menoleh dan mengedikkan bahunya yang dipegang Dokter Ardian. Karena Citra tidak mau menoleh padanya, Dokter Ardian pun menarik bahu Citra secara paksa supaya Citra mau menghadap ke arahnya. “Apaan sih, Mas?” sungut Citra seraya mengerutkan alisnya lalu kembali membelakangi Dokter Ardian. “Saya mau bicara,” ujar Dokter Ardian dengan sabar. “Bicara saja. Saya dengar, kok,” sahut Citra. “Saya tadi mendengar kamu ngobrol sama Ibuk. Apa masalah kalau kamu menikah dengan duda?” tanya Dokter Ardian. Citra pun melebarkan kelopak matanya
BAB 73 “Tina!” seru Bu Tini ketika sudah sampai di rumah dengan memegangi dadanya. Tina, anak Bu Tini yang kebetulan sedang menonton televisi segera bangkit dan menghampiri Bu Tini. Kemudian ia membantu Bu Tini untuk duduk di kursi ruang tamu. “Ada apa, Buk? Asma Ibuk kambuh lagi?” tanya Tina ketika melihat Ibunya kesusahan menarik napas. “Mana obat Ibuk? Cepat ambilkan!” seru Bu Tini sambil sesekali menarik napas dalam-dalam. Tina pun segera bangkit untuk mengambilkan obat sesak napas Bu Tini. Ia merasa heran karena masih pagi asma Ibunya sudah kambuh. Padahal sudah lama penyakit Bu Tini tidak pernah kambuh. Bu Tini pun segera menghirup inhaler yang disemprotkan Tina di depan hidung dan mulutnya. Tidak lama kemudian asma-nya pun mereda. “Ibuk kenapa?” tanya Tina. “Itu si Citra pulang. Tau-tau udah nikah dan punya anak. Suaminya dokter kandungan, ganteng lagi,” sungut Bu Tini sambil menunjuk-nunjuk rumah Citra yang ada di seberang rumahnya. “Citra udah punya anak? Gimana cerit