BAB 77 “Sebentar ya, Yang. Aku ke atas dulu,” pamit Dokter Ardian. ‘Yang? Sayang gitu?’ sungut Citra dalam hati dengan menghentakkan kakinya semakin keras sembari menaiki anak tangga ketika mendengar suara Dokter Ardian. “Jangan lama-lama ya, Mas. Aku mau pulang, bentar lagi maghrib,” sahut wanita itu dengan manja. “Oke. Beres!” timpal Dokter Ardian. Citra pun semakin mempercepat langkah kakinya menaiki anak tangga supaya segera sampai di kamarnya. sesampainya di kamar, ia segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Dokter Ardian melewati kamar Citra dengan menggeleng-gelengkan kepalanya lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia membuka almari kaca yang berisi khusus buku kesehatan, tepatnya bukunya waktu kuliah dulu. Setelah mengambil dua buku yang dibutuhkan, ia menutup kembali almari kacanya dan keluar dari kamar. “Cit, kamu kenapa? Buka dong pintunya!” seru Dokter Ardian di depan pintu kamar Citra dengan mencoba memutar gagang pintu kamar itu, tapi tidak bisa terbuka karena C
BAB 79 Keesokan harinya Dokter Ardian baru saja sampai di ruang poli kandungan. Setelah duduk di kursinya, ia melihat data pasien yang akan diperiksa hari ini. “Sudah ada lima belas pasien, ya?” tanya Dokter Ardian pada asisten-nya. “Iya, Dok,” balas Dewi yang menjadi asisten-nya hari ini. “Ya sudah, langsung saja pasien pertama suruh masuk,” ujar Dokter Ardian lalu memakai jas putih yang biasa dipakai dokter di rumah sakit. Pasien pertama pun masuk. Ia seorang ibu paruh baya berusia empat puluh dua tahun. Setelah duduk di depan Dokter Ardian, ibu itu menatap Dokter Ardian dengan kagum. ‘Wuaaaah … dokter-nya ganteng,’ gumam ibu itu dengan girang di dalam hati. Dokter Ardian masih menundukkan kepalanya membaca data keluhan ibu itu yang sudah ditulis asisten-nya tadi sebelum ia datang. “Keluhannya keputihan dan gatal ya, Bu?” tanya Dokter Ardian seraya menatap pasien yang ada di hadapannya. “A-apa, Dok?” tanya ibu itu baru tersadar dari lamunannya karena terpesona ketampanan Do
BAB 81 Citra pun buru-buru mengambil pakaiannya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi ia berdiri di depan wastafel dan melihat tanda merah pada leher dan bahunya. “Gimana cara menutupinya?” gumam Citra panik seraya meraba leher, bahu serta tulang selangka-nya. Ia merasa malu kalau sampai ada yang melihatnya. “Cit, cepetan dong ganti bajunya!” seru Dokter Ardian dari dalam kamar. “I-iya, Mas,” sahut Citra lalu bergegas memakai pakaiannya. Sementara itu di luar rumah, Mirna sedang mencari orang. Tepatnya mengumpulkan massa. Tadi ia sempat naik ke lantai dua dan hendak menidurkan Nizam di kamar Citra. Namun, ketika ia hendak mengetuk kamar Citra, samar-samar ia mendengar suara desahan Citra dan bergumam “Jangan, Mas”. Ia pun berpikir kalau Citra dan Dokter Ardian sedang melakukan sesuatu yang tidak senonoh. “Ada apa, Buk?” tanya salah satu warga yang kebetulan lewat dan melihat Mirna seperti sedang kebingungan di depan pintu gerbang. “Mm … anu di mana ya rumah pak R
BAB 83 Siang hari Dokter Ardian mendengar Nizam menangis di kamar sebelah, tepatnya kamar Citra. Ia pun buru-buru pergi ke kamar sebelah. Karena pintunya tertutup, Dokter Ardian membukanya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di dalam kamar itu Citra berbaring miring membelakangi pintu. “Ada apa, Cit?” tanya Dokter Ardian. Ia berjalan mendekat ke arah Citra untuk mengetahui kenapa Nizam menangis. Citra terkejut saat mendengar suara Dokter Ardian sudah berada di dalam kamarnya. Ia pun segera menutup buah dadanya dan mengancingkan pakaiannya kembali. “Mas, kamu kok di sini?” tanya Citra ketika sudah membenahi pakaiannya dan duduk serta menoleh pada Dokter Ardian. “Aku mendengar tangisan Nizam. Ada apa?” tanya Dokter Ardian balik. Ia menghampiri Nizam dan menggendong di depan dadanya. “Anu, Mas … mm … dia mau nenen terus. Kalau aku tutup, dia nangis,” balas Citra seraya menyentuh dadanya. “Ya … kasih lah, Cit. Mungkin dia ngantuk dan bentar lagi tidur,” ucap Dokter Ardian sembari membe
BAB 85 Sesampainya di gedung tempat resepsi pernikahan Joni berlangsung, Citra merasa kikuk kalau harus berjalan berdampingan bersama dengan Dokter Ardian. Bagaimana pun, dulu ketika ia masih bekerja di rumah sakit, Dokter Ardian adalah atasannya. “Ayo masuk!” ajak Dokter Ardian seraya mengulurkan tangannya pada Citra. Tiba-tiba terdengar suara Dewi memanggil Citra dari kejauhan. Ia baru saja datang dan melihat Citra turun dari mobil Dokter Ardian. “Mas, masuk duluan aja. Aku mau ketemu Dewi dan teman-teman bidan lainnya dulu,” ujar Citra sebelum Dewi datang menghampirinya. “Oke. Kalau gitu, aku masuk duluan ya,” balas Dokter Ardian lalu masuk ke gedung resepsi pernikahan Joni seorang diri. Dewi datang menghampiri Citra dengan tersenyum. Sudah lama mereka tidak bertemu. Mereka berkomunikasi hanya melalui ponsel dan itu sangat jarang mereka lakukan. “Gimana kabar kamu, Cit?” tanya Dewi sambil berjalan beriringan dengan Citra. “Alhamdulillah baik, Wik. Kamu sendiri gimana?” balas
BAB 87 Citra terperanjat kaget. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Baru kali ini ia melihat Dokter Ardian marah. Selama ini yang ia tahu, Dokter Ardian adalah sosok laki-laki yang sabar. Bahkan saat menangani pasien sekali pun. Tiba-tiba Dokter Ardian mematikan lampu yang ada di atas kepalanya lalu mendekat ke arah Citra dan menciumnya dengan kasar. Citra tidak melawan. Ia takut Dokter Ardian akan semakin marah padanya. Ia pun pasrah ketika Dokter Ardian membuka kancing pakaiannya dan menciumi leher serta dadanya. “Mas! Kamu ini kenapa?” Tiba-tiba Citra berteriak karena Dokter Ardian menyakitinya. Isak tangis pun mulai terdengar. Tubuh Citra bergetar karena menangis. Dokter Ardian pun menghentikan aktivitasnya. Ia merasakan tetesan air mata Citra yang jatuh mengenai dahinya. Kemudian ia menghela napas panjang dan kembali duduk di belakang kemudi. Setelah itu ia menyalakan mesin mobil dan melajukan-nya dengan kencang pulang ke rumah. Selama perjalan pulang, tidak ada yang memu
BAB 89 “Yaaah … kok basah sih?” keluh Citra seraya mengangkat kaus dalamnya. Citra mulai bingung. Ia harus memilih memakai kaus dalam basah itu atau memakai lingerie menerawang milik Nadia. Kalau memakai kaus dalam basah, bisa dipastikan ia akan masuk angin, dan yang pasti Dokter Ardian tidak akan membiarkan itu. Pasti Dokter Ardian akan melepaskan kaus dalamnya secara paksa. Kalau memakai lingerie menerawang itu, ia akan sangat malu seandainya dilihat Dokter Ardian. “Cit, kamu nggak ketiduran kan di dalam kamar mandi?!” seru Dokter Ardian dari dalam kamar. “Enggak, Mas. Bentar lagi keluar, kok,” sahut Citra dengan buru-buru memakai lingerie menerawang milik Nadia. Tidak lama kemudian Citra keluar dari dalam kamar mandi dan dengan setengah berlari ia segera naik ke atas tempat tidur lalu masuk ke dalam selimut. Sedari tadi Dokter Ardian menunduk menatap layar ponsel. Sehingga ia tidak melihat apa yang dipakai Citra. Segera ia menoleh ketika Citra masuk ke dalam selimut dengan ke
BAB 91 “Dokter, ini tadi dari Dokter Herlina,” ucap Yeni yang bertugas menjadi asisten di ruang poli kandungan hari ini seraya menunjuk kotak makan yang ada di atas meja Dokter Ardian. “Terima kasih,” balas Dokter Ardian lalu duduk untuk mulai bekerja. Siang hari, Citra pergi ke kantin untuk membeli makanan dan minuman. Ia juga membeli untuk makan siang Dokter Ardian. Setelah membayar makanan yang dipesannya, ia membawa makanan itu ke ruang poli kandungan untuk makan bersama dengan suaminya. Namun, ketika membuka pintu ruang poli kandungan, ia melihat Dokter Ardian baru saja membuka kotak bekal makan yang diberikan Dokter Herlina. Dokter Ardian pun menoleh saat pintu terbuka. “Cit,” ucap Dokter Ardian ketika melihat Citra. Citra pun menyembunyikan makanan yang dibelinya tadi di balik tubuhnya. Kemudian ia masuk dan duduk di depan Dokter Ardian. “Sekarang dapat makan siang dari rumah sakit? Kotaknya bagus ya?” sindir Citra. Yang ia tahu, selama ini rumah sakit hanya memberikan ro