BAB 97 “Biarin!” balas Citra kesal. Dua puluh menit kemudian dua orang pelayan datang membawakan makanan pesanan Dokter Ardian. Dokter Ardian memesan gurami bakar, ayam goreng ungkep bumbu rempah, es jeruk dua porsi, cah kangkung, dan setengah bakul nasi. Citra menelan saliva-nya saat melihat makanan itu terhidang di depannya. Bau gurami bakar dan ayam goreng-nya menyeruak memasuki indra penciuman-nya. Tanpa disuruh, ia pun segera mencuci tangan di wastafel yang berada di dekat tempat ia melepas sandalnya. Dokter Ardian menahan senyum saat melihat Citra tidak sabar untuk segera makan. Ia senang karena meskipun marah, Citra tetap mau makan dan tidak jaim (jaga image). “Makan yang banyak, biar bisa lanjut ronde kedua,” ujar Dokter Ardian ketika Citra akan memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Citra pun mengerucutkan bibirnya lalu melanjutkan makannya. Sambil makan, Dokter Ardian memisahkan daging dan duri ikan gurami kemudian menaruhnya di atas piring Citra. Perlahan rasa do
BAB 99 “Ini mau ke mal beli perhiasan lagi apa mau pulang?” tanya Dokter Ardian dengan tetap fokus mengemudi dan sesekali memandang ke arah Citra. “Terserah!” jawab Citra singkat. “Kok terserah sih? Nanti marah lagi,” balas Dokter Ardian. “Kembalikan ponsel dan dompetku, Mas. Aku mau pulang ke rumah Ibuk,” ujar Citra dengan cemberut dan menghadap ke Dokter Ardian. “Kamu mau pulang sekarang? Ini udah malam loh,” tanya Dokter Ardian. Ia merasa khawatir kalau sampai Citra nekat dan pulang sendiri ke rumah Ibunya. “Iya. Mas nggak usah perdulikan aku. Dari dulu aku sudah terbiasa serba sendiri sebelum jadi pengasuhnya Nizam,” balas Citra. “Ya nggak gitu, Cit. Sekarang kamu istriku. Sepenuhnya kamu tanggung jawab aku. Kita pulang dulu, ya? Nanti aku antar. Oke,” tutur Dokter Ardian. Citra pun semakin cemberut dan melipat kedua tangan di depan dadanya. Sesampainya di rumah, Dokter Ardian naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ia mengambil dua setel pakaian untuk berganti di rumah Citra.
BAB 101 Citra pun membenarkan perkataan Dokter Ardian. Memang Dokter Ardian tidak pernah bersikap kurang ajar padanya. Pernah satu kali saat memaksanya untuk menyusui Nizam, tapi Citra maklum karena waktu itu Nizam menangis sangat kencang sekali. Mungkin Dokter Ardian sangat panik waktu itu, pikirnya. “Kamu tahu, aku baru merasakan menembus perawan yang sebenarnya hari ini. Milikmu. Maaf kalau tadi mungkin mengecewakan atau menyakitkan bagimu, tapi itulah kenyataannya,” tutur Dokter Ardian tiba-tiba Citra pun tidak mengerti, kenapa Dokter Ardian berkata seperti itu. Padahal Dokter Ardian seorang duda, sudah pernah menikah. Seharusnya sudah pernah merasakan itu di malam pertama dengan istri pertamanya. “Kamu pasti bingung dan bertanya-tanya. Aku pun masih bertanya-tanya tentang menembus perawan yang sebenarnya itu seperti apa. Karena waktu aku melakukannya dengan Nadia untuk yang pertama kalinya, aku tidak merasakan dinding penghalang apapun waktu itu. Hanya rasa sempit. Karena Nadi
BAB 103 ‘Kok nggak gerak ya nih orang?’ gumam Citra dalam hati. Ia pun memberanikan diri untuk melihat wajah Dokter Ardian. Tampaklah di sana Dokter Ardian yang sudah memejamkan mata dan tertidur dengan lelap-nya. ‘Udah tidur ternyata. Baru kali ini aku lihat wajah Dokter Ardian dari jarak dekat dan seksama. Ternyata emang ganteng, ya? Dari dulu aku nggak berani memandangnya seperti ini. Nggak nyangka sekarang dia udah jadi suamiku. Bermimpi menikah dengannya pun aku nggak berani, eh sekarang malah tiba-tiba aja dia nikahin aku,’ gumam Citra dalam hati. Tidak lama kemudian Citra pun merasa mengantuk dan ikut tidur di samping Dokter Ardian. *** Ting tong Ting tong Ting tong Berkali-kali bel rumah Dokter Ardian berbunyi. Namun, tidak ada yang membukakan pintu. Hingga akhirnya Dokter Ardian merasa terganggu dan terbangun. “Jam berapa ini? Masih pagi sudah mengganggu orang tidur,” gerutu Dokter Ardian seraya bangkit dan keluar dari kamarnya untuk melihat siapa yang memencet bel rum
BAB 105 Setelah itu ia membuka kunci layar ponsel-nya untuk segera memesan beberapa menu makanan di aplikasi Gejek. Sementara itu Citra mengambil sapu dan pengki di belakang untuk membersihkan pecahan kaca di ruang tamu. Sambil menunggu makanan pesanan datang, Dokter Ardian mengambil tangga di gudang untuk menurunkan foto pernikahannya dengan Nadia. Memang sudah saatnya foto itu pensiun dan berganti foto baru, pernikahannya dengan Citra. Citra membantu Dokter Ardian menurunkan foto itu dengan menunggu di bawah tangga. Namun, karena kurang hati-hati memegang pigura foto yang masih ada pecahan kacanya, jari Citra pun terluka. Ketika Dokter Ardian akan menaruh foto itu di gudang, ia melihat tangan Citra mengeluarkan darah. Memang tidak banyak, tapi kalau tidak dihentikan darah itu akan terus mengalir. “Tangan kamu berdarah, Cit,” ujar Dokter Ardian seraya menarik tangan Citra setelah menaruh pigura foto yang ada tangannya. “Ah, nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit, kok. Aku mandi dulu,
BAB 107 “Ada apa?” tanya Dokter Ardian seraya memilih pakaian di dalam almari. Ia harus segera berangkat ke rumah sakit. “Mm … anu, Mas, makanannya sudah datang. Ayo makan nanti keburu dingin,” balas Citra dengan kikuk. “Aku ada SC sekarang,” balas Dokter Ardian sembari memakai kaos dalam. “Oh,” sahut Citra singkat. “Kok ‘Oh’ doang sih? Bantuin dong, Cit!” ujar Dokter Ardian sambil memakai kemeja. Citra pun masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah Dokter Ardian. “Dibantuin apa?” tanya Citra. Ia tidak tahu bantuan apa yang diminta suaminya itu. “Kancingkan!” perintah Dokter Ardian seraya menunjuk kancing kemeja-nya. “Oh, oke,” balas Citra lalu mulai mengancingkan kemeja Dokter Ardian. Sementara itu tangan Dokter Ardian mengambil celana dalam kemudian memakainya di depan Citra. Citra pun segera memejamkan matanya saat Dokter Ardian melepas handuk-nya. Dokter Ardian tersenyum samar ketika melihat Citra yang masih malu-malu padanya. “Kenapa memejamkan mata?” tanya Dokter Ardian
BAB 109 Dokter Herlina pun membawa bayi itu ke sebuah meja dengan lampu sangat terang untuk diperiksa dan dibersihkan jalan napasnya. Setelah itu ia menimbang bayi itu untuk mengetahui berat lahir bayi tersebut. Dokter Ardian merasa lega karena ibu dan bayinya selamat. Ia ingin segera menyelesaikan operasi ini supaya bisa segera pulang. Sedari tadi di pikirannya hanya ada Citra yang tengah menunggunya di dalam mobil. Usai melakukan heating, Dokter Ardian melepas semua APD yang menempel pada tubuhnya dibantu seorang perawat. Setelah itu ia mencuci tangannya lalu duduk pada sebuah meja untuk menulis laporan kembali. Sambil menulis, Dokter Ardian tersenyum-senyum sendiri dan sesekali menggelengkan kepalanya. Dokter Herlina memperhatikan itu karena ia berada tidak jauh dari tempat Duduk Dokter Ardian. Dokter Ardian teringat kejadian di dalam mobil tadi. Citra menyuapinya dengan penuh kesabaran dan sangat telaten. Almarhumah Nadia saja belum pernah melakukan hal itu padanya. Karena itu
BAB 111 “Pergi? Ke mana?” tanya Dokter Ardian sembari mengerutkan keningnya. “Saya tidak tahu, Pak. Tadi waktu saya baru sampai di depan gerbang, saya melihat Mbak Citra pergi dengan membawa tas yang dulu pertama kali ia bawa ke sini. Sudah saya panggil, tadinya mau nanya hendak pergi ke mana, tapi Mbak Citra-nya keburu naik taksi dan sudah terlalu jauh. Mungkin tidak dengar,” tutur Bik Yati menjelaskan. “Oh gitu. Ya sudah, Bik. Makasih, ya. Kalau capek istirahat saja. Jangan dipaksakan kerjanya. Kan baru sembuh,” balas Dokter Ardian dengan ramah seperti biasanya. “Iya, Pak,” balas Bik Yati sopan. Setelah itu Dokter Ardian pun segera menaiki anak tangga dengan tidak sabar. Sesampainya di lantai atas, ia masuk ke dalam kamar Citra. Ia berjalan mendekati almari Citra dan membukanya. Ia ingin tahu apakah Citra membawa semua pakaiannya atau tidak. Saat pintu almari terbuka, ia melihat beberapa lipatan pakaian Citra tampak berantakan dan terlihat berkurang jumlahnya. Sepertinya Citra