Haloo, terimaskih sudah mamapir. Bgaaimna part ini?? semoga sukaa
Satu minggu kemudian, Aron sudah mulai mengajar. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, lalu melangkah menuju ruang dosen. Para mahasiswi yang melihatnya hanya mampu memekik dari jauh, mereka tak berani mendekat pada keturunan Dewangga itu. Di kelas saja seramnya bukan main, belum lagi nada dingin serta tatapan tajamnya yang membuat nyali menciut. “Ar, kau sudah selesai mengajar?” Aron menoleh, melihat ke arah sahabatnya yang mantap padanya. “Sudah,” jawabnya singkat.“Kau langsung ke perkebunan setelah ini? Aku dengar-dengar ada panen anggur yang akan dibawa ke luar kota.” tanya Erza. Selaku rekan dosennya sekaligus sahabat Aron sendiri. “Ya.” Aron membereskan meja kerjanya, diikuti oleh Erza. “Kenapa kau juga ikut beres-beres?” Erza menyengir, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Aku ikut.” Aron tak merespon, ia dengan cepat keluar dari ruang dosen menuju parkiran, dan sudah disambut oleh Bimo. “Hai, Bim. Kau semakin tampan saja, walau aku lebih tampan.” Bimo hanya t
Kamila meregangkan ototnya, ternyata jadi pelayan di rumah orang kaya tak seindah yang ada di kepalanya. Dari pagi ia bekerja tanpa henti, belum lagi melayani sang tuan muda. Wanita itu mengalihkan atensinya pada dapur yang mewah ini, terdapat meja makan untuk para pelayan. Kamila mulai menyendok nasi putih serta mengambil satu potong ayam, ketika hendak memulai menyantapnya, terdengar suara pelayan yang memasuki dapur. Ia tersenyum kecil seraya menawarkan, tapi tak ada tanggapan. Justru pelayan itu bersedekap dada sambil menatapnya sinis. “Enak sekali kau, saya saja yang senior di sini belum makan siang!” sindir wanita itu.Kamila menaruh kembali sendoknya, ia meremas kedua tangannya gugup. Perutnya perih karena belum sarapan. “Saya … saya minta maaf, tadi saya sudah izin sama Bibi Atika, dan diperbolehkan untuk makan siang terlebih dahulu.” Wanita itu mendengkus sinis, terlihat sekali ia tak menyukai keberadaan Kamila di sini. “Pantas saja kau berani membalas ucapan saya! Ternyata
“Relin!” seru Aron keras, pria itu langsung menggendong Relin ala bridal style menuju kamar tamu. “Bimo! Telepon Dokter Meyda sekarang!” teriaknya kembali ketika melihat eksistensi Bimo yang mengikutinya. “Baik, Tuan muda.” Pria tiga puluh lima tahun itu berujar tegas seraya mengikuti instruksi dari Aron.Sedangkan para pelayan yang sejak tadi berbaris di depan pintu dapur sontak saja langsung pucat pasi, apalagi yang kebagian masak untuk hidangan malam ini. “Atika! Kumpulkan para pelayan yang bertugas menyajikan makan malam!” titah Dona tegas. “Siap, Nyonya!”Sementara Panji, mengikuti langkah Aron tergesa-gesa, ia yang sebagai suaminya Relin saja kalah sigap dengan Aron, padahal mereka duduk bersebelahan. Tiba-tiba rasa cemburu menyusup dihati Panji, tapi ia segera menepisnya. Karena ini bukanlah momen yang pas untuk memikirkan hal itu. “Kamila, tunggu!” Kamila yang akan menaiki undakan tangga menjadi terhenti, ia menoleh pada ibu mertuanya. “Iya, Ib—Nyonya,” jawabnya gugup, unt
Wanita paruh baya itu terkejut bukan main, begitu pula para pelayan yang ada di sana, termasuk Kamila. Atika membungkuk meminta maaf pada Aron, lalu mengangkat wajahnya dan menunjuk ke arah samping pria itu. “Kamila, Tuan. Dia yang mengolah bagian lauk pauk." Kamila tersentak, ia menatap Atika dengan tatapan tak percaya. “Bibi, apa maksudmu mengatakan semua ini? Bukankah saya hanya membantu pelayan yang lainnya, dan itu karena instruksi dari Bibi Atika sendiri?” balasnya cepat, tak ingin Aron salah paham.“Sama saja, kau membantu di dapur juga, Kamila. Bahkan kau sendiri yang menyelesaikan masakannya, ” kelit Atika tak mau kalah.Kamila tergugu, perasaan kecewa yang dirasakan membuatnya sesak, ia tak menyangka wanita yang dikira baik ternyata sama saja dengan pelayan yang lainnya. Kamila ingin menangis meraung, ia seperti dijebak. “Sudah cukup, kini giliran kalian yang memberi kesaksian. Apakah benar yang dikatakan Atika?” Aron beralih pada tiga pelayan yang memang bertugas memasak d
Sekitar pukul lima pagi, Kamila dikejutkan oleh seseorang yang masuk pada gudang kosong itu, pria berbadan kekar itu menyuruhnya untuk kembali ke kediamannya atas perintah dari Aron. Kamila dengan cepat pergi dari tempat pengap yang membuatnya tak tidur nyenyak semalaman, setelah sampai di kediamannya, ia segera mandi dan bersiap-siap untuk membuatkan Arfin sarapan, lalu bergegas menuju kediaman utama. Ia tak mau membuat kesalahan, takut Aron kembali menghukumnya. “Selamat pagi, Nyonya Kamila.” Kamila yang sudah sampai dapur dikejutkan oleh sapaan Atika, wanita itu terdiam dengan tatapan lurus pada kepala pelayan di hadapannya. Setelah membuatnya tak tidur tenang semalam, serta dilanda ketakutan setiap saat. Dan bisa-bisanya Atika bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Kamila menggeleng tak percaya, apa ia dianggap sebuah lelucon?Kamila hanya mengangguk, sekarang ini ia tak percaya siapa-siapa lagi. Kamila dan adiknya hidup tenang itu sudah lebih dari cukup. “Nyonya Kamila, Anda ja
Aron memutuskan untuk menemui ayahnya, sedangkan Relin diurus oleh Kamila. Pria itu merasa heran, tak biasanya sang ayah ingin berbicara empat mata. Hubungan mereka begitu kaku, jadi kalau bertemu juga paling hanya basa-basi belaka. Aron melangkah menuju ruang kerja Tama, keningnya semakin berkerut ketika membuka pintu ruangan itu dan menemukan Bimo ada di sana. “Selamat pagi, Ayah,” sapanya datar sembari mengambil duduk pada sofa yang tersedia di sana. Tama berdehem singkat, lalu memfokuskan atensinya pada sang putra.”Kau tidak mengajar hari ini?” Aron menaikkan sebelah alisnya, ada apa gerangan ayahnya bertanya hal demikian. “Nanti pukul sepuluh,” sahutnya datar. Tama menganggukkan kepala sambil melirik ke arah Bimo singkat. “Begini Aron, Ayah sebetulnya ingin menawarkanmu memegang rumah sakit. Kau tahu sendiri Ayah adalah dokter bedah di sana, dan jika merangkap sebagai owner, rasanya begitu memberatkan,” ungkap Tama dengan mata yang terlihat lelah, rumah sakit Dewangga adalah r
“Apa kau membutuhkan sesuatu, Relin?” tanya Kamila ketika melihat wanita itu keluar dari kamar mandi. Relin tersenyum tipis, ia tampak segar dan sehat sekarang. “Tidak ada Kamila, Maaf jika saya merepotkanmu, ya?” Kamila menggeleng pelan, lalu melangkah membantu Relin menuju kasurnya. Tapi langsung ditolak oleh wanita itu. “Saya bisa sendiri, Kamila. Kau duduk saja, ada hal yang ingin saya bicarakan.” Kamila mengalah, ia mengambil duduk pada kursi yang terdapat di samping kasur. “Kau bahagia dengan pernikahanmu bersama Aron?” tanya Relin seraya merebahkan tubuhnya. Kamila yang ditanya hal seperti itu cukup tertegun beberapa saat, sebelum kembali menguasai dirinya. “Tentu saja, Relin. mengapa bertanya hal demikian?” Relin berdehem sejenak, lalu melemparkan senyum tipis. “Saya bahagia mendengarnya, saya pikir Aron memperlakukanmu buruk, mengingat saat malam setelah akad dia memaksakan kehendaknya padamu.” Relin mengelus punggung tangan Kamila, bak seorang kakak yang peduli pada adi
Aron melangkah menuju ruangannya, tapi ia dicegat oleh seorang wanita, pria itu mengerutkan kening. Tak ada yang berani mendekat selama ini padanya, apalagi para mahasiswa di kampus ini. “Selamat siang, Pak,” sapa wanita itu. Memang jika di area kampus, panggilan Aron berubah. Ia melarang keras semua orang memanggilnya ‘tuan’, walau ia arogan dan tak pernah mau kalah, nyatanya Aron masih bisa menempatkan diri."Selamat siang, Pak.” Wanita itu mengulang kembali kalimatnya, keberaniannya yang tadi meluap-luap seketika menciut kala menatap netra tajam di depannya. “Ada apa?” jawab Aron serak.”Be–begini, Pak. Saya teman sepermainannya Kamila, dan saya tahu jika Anda sudah menjadikannya istri. Dikarenakan beritanya sudah meluas di kampung saya, tepat ketika Anda membawanya pagi itu.” Wanita itu meremas erat tali ranselnya, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ekspresi Aron terlihat mendingin, sepertinya ada yang ia lewatkan. “Apa beritanya hanya sampai di kampungmu saja? Dan te