Share

Hari Pernikahan

Wanita cantik dengan bibir merah merona itu menyorot Kamila tajam, raut angkuh dan tegasnya membuat siapa pun akan segan. “Angkat kepalamu, jika ingin menjadi bagian dari keluarga Dewangga, jangan pernah sekali-kali menunduk!”

Kamila tergugu, ia langsung mengangkat kepalanya, menatap tepat pada Dona. Sang nyonya besar di rumah ini. “Ba–baik, Nyonya.”

“Berapa usiamu?” tanya Tama, meneliti gadis muda di hadapannya itu.

Kini atensi Kamila beralih pada pria paruh baya yang begitu mirip dengan Aron. “Sembilan belas tahun, Tuan.”

Aron berdeham melihat kedua orang tuanya yang saling melirik satu sama lain. “Apa kau sedang melanjutkan pendidikan saat ini?” balas Tama. Pancaran matanya terlihat ramah kala menatap Kamila.

“Tidak, Tuan. Saya seorang pedagang dan buruh cuci.” Hening, tak ada yang membuka suara kembali. Kamila juga mulai merasakan atmosfer tak enak di sekelilingnya.

Benar saja, firasatnya memang tak pernah salah tatkala nyonya besar di rumah ini melayangkan protes pedas.

“Mengapa Ayah menjodohkan Aron dengan gadis seperti ini, Mas! Aku sungguh tidak ikhlas! Anak kita sekolah tinggi-tinggi dengan profesi membanggakan justru mendapatkan pasangan yang tidak sepadan!” Dona lepas kendali, raut tenangnya sirna seketika, tergantikan oleh kemaran serta kekesalan.

“Dona.” Tama menegur pelan, tapi tidak dengan sorot tegas dari pancaran kedua matanya. “Ini adalah wasiat dari Ayah. Dan aku tidak mungkin mengingkarinya.”

“Ayah benar, Ibu. Dan aku punya cara tersendiri untuk mengakhirinya.” Aron ikut menimpali, wajah tampan dengan ekspresi dingin itu terlihat tak main-main.

Sementara itu, Kamila yang sejak tadi berada di tengah-tengah mereka cukup takjub melihat keluarga sultan ini. Bagaimana bisa mereka menggosipkan dirinya di depannya secara terang-terangan seperti ini!

Lain halnya dengan Dona yang mendengkus mendengar perkataan sang putra. Ia tak pernah terima kenyataan ini, sampai kapan pun! "Jika begitu, urus dia nanti. Jangan sampai membuat ulah, apalagi membuat malu. Kau mengerti, Aron?” .

Aron terdiam sembari bersedekap dada, sangat sulit membaca raut wajah serta pemikiran tuan muda yang rupawan itu. “Tentu, Ibu persiapkan saja semuanya, bila perlu langsungkan pernikahan ini satu bulan lagi.”

Dona tersenyum sinis, entah apa yang terlintas di dalam pikirannya. “Tidak, terlalu lama. Ibu putuskan jika kalian akan menikah nanti malam, dan tak ada bantahan!”

Sontak saja perkataan wanita paruh baya itu membuat Kamila kaget bukan main, tak terkecuali Aron sendiri.

***

Kamila menatap pantulan dirinya, gaun yang ia kenakan begitu sederhana, riasannya pun sangat tipis. Sebenarnya tak mengapa, karena ia tak begitu tertarik dengan segala kemewahan. Kendati demikian, Kamila cukup bingung, Karena pernikahan ini sangat tertutup. Hanya keluarga serta sahabat dari para anggota keluarga Dewangga saja yang menghadiri.

“Kakak!”

Kamila tersentak ketika lengannya dipeluk erat. “Hai, adikku begitu tampan.” Ia memeluk erat Arfin dari samping, sesekali membubuhkan kecupan hangat.

“Kakak juga sangat cantik!”

Kamila tersenyum manis, belum sempat ia menjawab. Suara dari belakang punggungnya mengalihkan atensi gadis itu.

“Sudah selesai? Acaranya mau dimulai,” ucap Aron datar. Kamila menoleh, menemukan eksistensi Aron bersama seorang wanita cantik—bukan—sangat cantik, ia saja sampai tertegun melihatnya.

Tubuh semampai dengan kulit putih bersinar, matanya yang sendu dilengkapi senyum manis menawan. Siapa yang tak bertekuk lutut melihat wajah jelita itu? “Hai! Saya Relin, sahabatnya Aron.”

Kamila tersenyum kikuk, lalu menerima uluran tangan wanita itu. Jujur saja ia sangat insecure, karena telapak tangannya tak semulus dan sehalus Relin. “Saya Kamila, senang bertemu denganmu, Nona Re—”

“Jangan panggil, Nona. Cukup Relin, saja. Walau usia saya dan Aron sama, tapi saya tidak terlihat tua, bukan?”

“Jadi, kau mengira aku ini sudah tua?!” Aron menangkup wajah wanita itu, ekspresinya memang tetap terlihat dingin, tapi tidak dengan tatapan lembut penuh puja itu.

“Memang kau sudah tua!” Relin mengejek Aron kembali, membuat sang empu mencubit pipinya gemas. Tak lupa kecupan singkat pada pucuk kepala sang wanita.

Kamila yang melihat itu semua hanya membeku, apakah seperti ini perlakuan seorang sahabat? Mereka justru terlihat seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Dan jika dibandingkan dengannya, Aron jauh lebih pantas bersanding bersama Relin.

“Jangan begini, Aron. Nanti calon istrimu salah paham.” Relin menegur lembut, tapi Aron tetap acuh tak acuh.

“Jangan menghalangi apa yang aku sukai," titah Aron mutlak.

Wanita itu hanya pasrah, justru sekarang ia yang melingkarkan tangannya pada lengan Aron. “Baiklah, tapi cepat bawa pengantinmu sebelum Tante Dona yang turun tangan.”

Aron mendatarkan wajahnya, raut hangat yang ia tampakkan tergantikan dengan wajah mengejek kala menatap penampilan Kamila. Ia pun kembali mengalihkan atensinya pada Relin, kali ini disertai sorot mendamba. “Relin, bisa tinggalkan aku bersama gadis ini? Ada hal penting yang aku ingin bicarakan, sekalian bawa anak laki-laki itu keluar.”

Relin tersenyum lembut. “Baik, jika ada sesuatu yang kau butuhkan, panggil saja aku.” Aron mengangguk seraya mengusap punggung tangan wanita itu penuh sayang—di depan calon istrinya sendiri.

Kini tinggallah Aron bersama Kamila, pria itu bersedekap dada sembari menyorot dalam wajah di depannya. “Kau akan tetap di rumah bagian selatan, karena rumah utama tidak menerima orang asing. Dan setelah menikah, kau bisa bekerja di restoran milik Ibu saya, atau mungkin ….” Aron sengaja menguntungkan ucapannya. ia meneliti Kamila dari atas sampai bawah, sebelum berujar dengan nada merendahkan. “Kau jadi pelayan saja? Kebetulan ada beberapa posisi yang kosong.”

Netra gadis itu bergetar, tanpa sadar Kamila meremas kuat kedua tangan. Entah mengapa ia merasa jika kehidupannya setelah menikah akan jauh lebih berat lagi, alih-alih bahagia seperti pemikirannya di awal.

Kendati demikian, ini jauh lebih baik daripada ia diserahkan untuk menjadi istri dari rentenir mesum itu. Ya, Kamila tak boleh lemah serta bersedih, karena ini semua adalah pilihannya.

“Baik, Tuan. Saya menjadi pelayan saja, sekalian untuk mengawasi Arfin, karena tidak mungkin saya meninggalkannya sendiri.”

Aron mengangkat sudut bibirnya, pria itu sengaja mendekatkan diri pada Kamila. Ia mencondongkan punggung, sampai bibir tebal kemerahannya berada tepat di telinga gadis muda itu. “Adikmu juga harus bekerja, Sayang. Tidak mungkin dia hidup gratis di sini, bukan?”

***

Tiga jam berlalu, acara sederhana itu pun sudah selesai, kini Kamila berjalan melewati lorong menuju ke paviliun-nya.

Kamila masih mengenakan gaun pernikahannya yang sederhana, para pelayan yang melewatinya tak repot-repot memberi salam atau selamat. Justru mereka hanya mendengkus dengan wajah penuh celaan.

Kamila menunduk, ia semakin mempercepat langkahnya. Namun, ia tersandung oleh gaunnya sendiri. Untung saja Kamila dengan cepat berpegangan pada tembok. Tapi pergelangan kakinya begitu sakit, gadis itu melihat sekitar. Mencari tempat untuk duduk. Karena tidak mungkin ia berdiam diri di lorong tempat para pelayan berlalu lalang.

Tak mendapatkan yang ia cari, Kamila memaksakan diri untuk menuju paviliun yang akan ditempati. Dan ketika sudah berbelok pada koridor kediamannya, langkah Kamila terhenti. Bersamaan dengan napas yang tercekat melihat kedua insan di hadapannya sedang menumpahkan kerinduan.

“Re–relin, Tu–tuan Aron. Kalian ...."

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ana j
terima kasih warga sipil ^_^
goodnovel comment avatar
Tio febriyan
cerita ini sangat bgs
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status