Rantai besi di pergelangan tanganku masih dingin, menempel erat pada tiang besi di sisi ranjang tua berlapis ukiran Castel. Malam di villa itu berjalan lambat, seakan setiap detik ditarik paksa untuk menyiksa jiwa. Dari jendela kecil berjeruji, aku hanya bisa melihat bulan yang separuh tertutup awan. Seperti diriku—terperangkap, separuh terhisap oleh kegelapan.
Langkah berat bergema di koridor. Suara sepatu bot menghantam lantai marmer berulang-ulang, semakin mendekat. Naluriku menegang. Bukan Verena. Suaranya berbeda. Lebih keras, lebih maskulin, lebih penuh amarah yang ditahan.
Pintu besi dibuka kasar, engselnya berderit panjang. Sosok itu muncul—tinggi, tegap, dengan mata yang sama kelamnya seperti Grayson… tapi dipenuhi kebencian. Dion Castel. Darah dari garis ayahku. Darah yang sama yang terus kucoba tolak, kini berdiri hanya beberapa langkah dariku.
"Akhirnya kau kembali ke rumahmu sendiri!" katanya, suaranya berat, penuh kepuasan sinis.
POV GraysonNapas Antonio tersengal-sengal, tubuhnya tergeletak di lantai marmer basah oleh hujan yang menetes dari langit-langit kapel tua. Cahaya lilin yang masih bertahan bergetar, menyoroti wajahnya yang dipenuhi darah dan kebencian. Aku berdiri di atasnya, tinjuku masih terangkat, siap mengakhiri semuanya dengan satu hantaman terakhir.Tapi suara Eleanor barusan menggema di kepalaku. Ia memanggilku dengan nada yang tak hanya memohon, tapi juga memerintah. Suara itu menahan amarahku, menarikku dari jurang di mana aku bisa kehilangan kendali.Antonio terbatuk, darah mengalir dari mulutnya. “Bunuh aku, Blake… dan kau akan hidup dengan bayangan wajahku selamanya di matamu. Kau akan tahu… aku menang, bahkan dalam kematian.”Aku menekankan sepatu botku ke dadanya, membuatnya meringis. “Kau tidak menang. Kau bahkan tidak pernah menguasai apa pun. Eleanor bukan milikmu. Dan keluargamu—Castel maupun Moretti—akan runtuh di tanganku.”Sorot matanya bergetar, tapi bibirnya melengkung membent
POV GraysonTangan Antonio menghantam rahangku dengan kekuatan penuh, membuat kepalaku terpelintir ke samping. Darah muncrat dari bibirku, rasa logam memenuhi lidah. Lantai kapel yang dingin bergema oleh dentuman tubuh kami yang saling berbenturan. Aroma debu, keringat, dan darah bercampur menjadi satu.Aku meludah ke lantai, lalu kembali menatap mata pria itu. Sorot matanya tajam, penuh kebencian, tapi juga kesombongan yang menusuk. Antonio Moretti bukan sekadar pewaris mafia; dia binatang yang lapar akan darah dan kekuasaan.“Eleanor tidak akan pernah menjadi milikmu,” aku mendesis, suaraku berat namun mantap.Dia menyeringai, giginya berlumuran darah. “Dia sudah milik siapa pun yang cukup kuat untuk merebutnya. Dan malam ini… itu aku.”Amarahku meledak. Aku menerjang ke depan, menumbuk perutnya dengan pukulan beruntun. Suara retakan terdengar samar, mungkin tulang rusuknya patah, tapi dia tidak mun
POV EleanorDentuman peluru menggema, memantul di dinding batu kapel tua itu, bercampur dengan jeritan, suara teriakan, dan denting kaca pecah. Lampu gantung berayun liar, sebagian kristalnya pecah, jatuh berhamburan di lantai, memantulkan kilatan cahaya dari moncong senjata.Aku menunduk, merapat pada dinding pilar marmer yang dingin, napasku memburu. Grayson bergerak di depan, tubuhnya kaku, lincah, seperti bayangan yang tahu betul medan ini. Markus meraung di sisi lain, menumbangkan musuh dengan kekuatan brutalnya. Clara menembak tepat sasaran, gerakannya dingin dan presisi.Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Pasukan Castel berhamburan dari setiap pintu, mengurung kami di tengah kapel seperti binatang buruan.Verena berdiri di balkon, wajahnya memerah oleh amarah. “Habisi mereka! Jangan biarkan satu pun keluar hidup-hidup!” teriaknya.Antonio tidak ikut berteriak. Dia hanya berdiri dengan tenang di sampingnya, satu t
POV EleanorUdara dipenuhi asap dan bau mesiu yang menusuk, membuat paru-paruku terasa terbakar setiap kali menarik napas. Tubuhku masih gemetar dalam pelukan Grayson ketika ia menarikku melewati koridor sempit yang dipenuhi reruntuhan batu. Suara ledakan tadi masih menggema di telinga, bercampur dengan teriakan orang-orang Castel yang mengejar dari belakang.Aku hampir tersandung saat kakiku menimpa pecahan kaca, tapi Grayson meraih pinggangku lebih erat. “Tetap bersamaku, Eleanor!” suaranya terdengar garang, penuh tekad.Aku mengangguk, meski suaraku tercekat. “Aku… aku bersamamu.”Koridor itu seakan tak berujung. Batu-batu tua menjulang di kedua sisi, dihiasi ukiran lambang Castel yang kini dipenuhi debu dan retakan. Ironis. Dinding yang dulu menjadi simbol kebanggaan kini jadi labirin neraka yang menahan napas kami.Clara menyusul di belakang, tembakannya berulang kali menghentikan musuh yang mend
POV GraysonUdara di aula seketika berubah. Hening yang baru saja kuraih setelah menjatuhkan Antonio pecah oleh derap langkah sepatu berat. Pintu samping terbuka lebar, dan belasan pria bersenjata masuk, senjata otomatis terangkat, cahaya lampu dari luar memantul di laras mereka.Verena berdiri di atas podium, wajahnya pucat tapi matanya berkilau puas. Dia mengangkat pisau yang masih berlumuran darah ke udara, lalu menunjuk ke arahku.“Bunuh dia!”Suara teriakannya menggema, memicu gelombang kematian.Aku meraih Eleanor sekilas dengan tatapanku. Dia masih terikat di tiang, tubuhnya gemetar, matanya melebar saat melihat laras senjata diarahkan ke arahku. Napasnya terputus-putus, tapi aku bisa membaca satu hal jelas di sana jangan menyerah.Markus muncul dari balik pintu yang kami dobrak sebelumnya, darah mengalir di pelipisnya tapi senapannya masih di tangannya. “GRAY!” teriaknya, lalu
POV GraysonPeluruku melesat, menghantam udara dengan kecepatan kilat. Tapi Verena terlalu cepat—dia mendorong Eleanor ke samping, pisau hampir terlepas dari tangannya. Eleanor terhuyung, terjerembab ke lantai marmer yang berlumur debu dan darah.Suara raungan menggema dari seberang. Antonio. Matanya membara, wajahnya merah karena amarah dan rasa sakit. Bahunya masih berdarah dari tembakanku sebelumnya, tapi dia tidak peduli. Dengan satu geraman, ia melempar pistolnya ke lantai dan menerjangku.Benturan tubuh kami terdengar keras. Aku terhempas ke belakang, punggung menghantam pilar dingin. Nafasku terputus sejenak, tapi aku menangkis tinjunya yang meluncur ke wajahku. Tinju keras itu menghantam telapak tanganku, kekuatannya seperti palu.“Dia milikku, Blake!” raungnya.Aku membalas dengan kepala menghantam wajahnya. Darah segar mengucur dari hidungnya, tapi Antonio hanya terkekeh miring. Tangannya mencengkeram le