Pagi di Palermo kembali redup, tapi tidak untuk kami. Setelah penyusupan sukses ke Marseille dan data keuangan Verena berhasil kami kantongi, hari ini adalah awal dari fase baru. Serangan balasan.Aku berdiri di ruang pertemuan utama vila, masih mengenakan pakaian serba hitam dari misi semalam. Vincent dan Damien sudah lebih dulu hadir. Clara memproyeksikan data dari hard disk yang kami curi ke layar besar."Inilah seluruh jaringan rekening dan operasional Verena," jelas Clara. "Ada total tiga puluh satu akun tersebar di Swiss, Kepulauan Cayman, dan Singapura. Lima belas di antaranya sudah aktif memindahkan dana dalam dua belas jam terakhir sejak kita menyalin data."Grayson berdiri di sampingku, wajahnya tegas namun matanya sesekali melirikku—seperti memastikan aku benar-benar ada di sini dan bukan bayangan mimpi buruknya yang lain.“Berarti Verena tahu kita sudah mengambil sesuatu darinya,” gumamku.Damien mengangguk. “Dia
Langit pagi Palermo begitu kelabu. Kabut tipis melayang di atas perbukitan kecil di luar vila Grayson, seakan tahu bahwa hari ini bukan awal yang tenang. Di dalam ruang bawah tanah vila, kami semua kembali berkumpul. Tapi kali ini, suasananya berbeda.Aku tidak lagi sekadar berada di antara mereka.Aku sekarang bagian dari rencana.“Ada empat titik yang harus kita lumpuhkan terlebih dahulu,” ujar Damien. “Semua pusat logistik dan komunikasi milik Verena. Salah satu yang terbesar ada di Marseille, Prancis. Gudang senjata dan data pencucian uang mereka diatur dari sana.”Clara menambahkan, “Kalau kita bisa masuk ke server utama mereka di sana, kita bisa melumpuhkan seluruh jaringan rekening Verena. Ia akan kehilangan kendali keuangan. Dan dia benci kehilangan kontrol.”Vincent mengangguk dari sisi ruangan. “Tapi akses ke dalam sistem hanya bisa dilakukan dari lokasi fisik. Dan tempat itu... dijaga seperti mar
Langkahku menggema di sepanjang lorong sempit yang nyaris gelap total. Dinding-dindingnya lembap dan kusam, seperti menyimpan suara-suara rahasia dari masa lalu. Nafasku berat, tetapi teratur. Aku tahu Rafael lari ke arah sini. Dan aku tahu ia takkan keluar tanpa perlawanan.Di belakangku, suara langkah Vincent menyusul dengan cepat. “Lorong kanan bercabang tiga. Yang tengah langsung menuju ruang data. Tapi berbahaya.”Aku mengangguk. “Itu jalur yang akan dia pilih. Dia suka risiko.”Aku menyusuri lorong tengah, senjata tergenggam erat. Mataku menangkap bayangan bergerak cepat di ujung koridor. “Rafael!” teriakku.Tak ada jawaban. Hanya suara pintu logam dibanting keras. Lalu bunyi alarm otomatis berbunyi dari sistem atas.“Sial,” gumamku. “Dia mengaktifkan penguncian sekunder.”“Clara, aku butuh jalur keluar alternatif dari ruang data. Sekarang!” seruku.Clara me
Malam itu, untuk pertama kalinya aku berdiri di ruang perencanaan Grayson sebagai sekutu. Bukan lagi sebagai perempuan yang perlu disembunyikan atau dijaga terlalu erat—tapi sebagai seseorang yang tahu risikonya, dan tetap memilih tinggal.Peta digital terpampang lebar di layar, menampilkan garis merah menyambung titik-titik pelabuhan, laboratorium ilegal, rumah lelang, hingga kediaman mewah yang pernah jadi tempat pesta Verena Callisto.“Ada satu penghubung yang belum kita sentuh,” ujar Vincent sambil menunjuk tanda berwarna kuning di peta. “Rumah lelang bawah tanah di Palermo. Di situlah Rafael Vega terakhir kali melakukan pertemuan langsung dengan Verena.”Grayson menyilangkan tangan. “Dan siapa pengelolanya?”“Gadis bernama Clara Serrano. Tapi sejak peretasan terakhir, dia menghilang dari jaringan. Kami curiga dia bukan sekadar informan.”Clara... bukan nama asing.Aku dan Grayson sal
Fajar menyelinap perlahan dari balik pegunungan, menyiram langit timur dengan semburat jingga. Aku berdiri di depan jendela kendaraan lapis baja, mengenakan mantel gelap dan sarung tangan kulit. Napasku berembun saat kubuka pintu kendaraan dan menapaki jalan berbatu menuju gereja tua yang disebut dalam koordinat terakhir Vincent.Langkahku berat. Bukan karena medan, tapi karena apa yang akan kutemui di ujungnya.Eleanor.Sudah berminggu-minggu sejak kepergiannya. Berminggu-minggu aku menyisir kota-kota, memutar ulang semua kemungkinan, menolak semua saran Damien untuk menyerah. Aku tak bisa. Aku tak mau.Ketika seseorang mencuri nyawa dari dadamu, kau tak bisa sekadar duduk menunggu.Kau harus berlari... atau kau mati perlahan.Dan aku lebih memilih berdarah, daripada membiarkannya menjauh dari hidupku.Pintu gereja terbuka pelan. Vincent berdiri di dalam, memberikan isyarat singkat.“Dia menunggu di altar.”
Kami berhasil keluar dari ruang server tepat dua menit sebelum sistem otomatis kembali aktif. Langkah kami cepat dan senyap, menyusuri lorong belakang yang menuju tangga darurat. Suara detak jantungku masih terasa di telinga, berpacu dengan napas Clara yang pendek-pendek di belakangku.Di dalam flash drive yang tersembunyi di balik sol sepatuku, tersimpan lebih dari 60 gigabyte data rahasia: laporan pencucian uang, jaringan pengiriman manusia, dan catatan komunikasi antara Verena Callisto, Rafael Vega, dan Dion Castel.Kami kembali ke kamar tepat pukul 03.33. Tak ada alarm. Tak ada panggilan darurat. Tapi kami tahu... itu hanya soal waktu.Clara langsung membuka laptop, menyambungkan flash drive ke sistem terenkripsi milik Vincent. Di layar, progres upload dimulai. 7%, 11%, 18%...“Aku tidak tahu apakah kita akan sempat kabur setelah ini,” gumam Clara tanpa menoleh.“Yang penting dunia tahu,” jawabku lirih. “Dan Grayso