Bab 7. Banjir!
Rian terbelalak ketika membuka pintu rumahnya. Banjir ternyata datang dengan arus yang sangat deras. Air itu terus naik mengikuti langkah kakinya yang terus mundur.Rian berlari sampai naik ke lantai rumah, tetapi air terus bertambah tinggi. Dalam pandangannya, atap rumah terbang karena angin. Tak lama kemudian air dari langit langsung turun dan membasahi tubuh Rian."Banjir!" teriak Rian histeris saat merasa air hujan membasahi tubuhnya.Yuan melongo melihat sang suami yang sedang mengigau. Antara rasa kesal dan geli bercampur menjadi satu. Dia kali ini memercikkan air ke wajah Rian agar lelaki itu segera terbangun dari tidurnya."Banjir!" Kali ini Rian langsung terduduk seraya mengusap wajah yang basah karena ulah sang istri.Rian bengong sejenak untuk kembali mengumpulkan kesadaran. Dia perlahan menoleh ke arah Yuan. Perempuan tersebut tengah berkacak pinggang seraya menatapnya tajam."Banjir, banjir! Nih, banjir!" Yuan bersiap mencipratkan air yang tersisa di dalam botol ke arah Rian.Rian bergegas menyilangkan kedua lengannya di depan wajah. Satu detik, dua detik, dan di detik ketiga lelaki itu perlahan membuka lengannya untuk mengintip. Ternyata Yuan menggerakkan botol dalam genggamannya dalam kondisi tertutup.Tanpa sadar Rian mengembuskan napas lega. Dia menyengir kuda ketika melihat Yuan yang masih mematung seraya menatapnya tajam. Senyum itu mendadak sirna ketika Yuan melemparkan botol air mineral ke dalam tempat sampah."Kenapa tiba-tiba kita ada di sini, Mas?" tanya Yuan dengan nada bicara dingin."Ah, itu ....""Ita itu, ita itu!" bentak Yuan seraya mendengkus kesal."Maaf, habisnya aku nggak bisa membuat bapak kecewa. Beliau sudah membelikan tiket penerbangan dan hotel ke Bali untuk hadiah pernikahan kita." Rian tertunduk seraya menggaruk kepalanya."Apa? Bali!" seru Yuan.Yuan langsung beranjak dari depan Rian, lalu membuka pintu kamar yang mengarah ke Balkon. Dia melangkah keluar kamar dan berhenti di tepi pagar pembatas. Semilir angin laut kini menerpa rambut panjang Yuan.Perempuan tersebut terbelalak dengan bibir menganga lebar. Kini di depannya terdapat hamparan pasir putih yang sesekali diterpa oleh beriak ombak yang tertangkap oleh sepasang mata Yuan.Air laut biru kehijauan serta aroma khas pantai benar-benar memanjakan seluruh indra Yuan. Dia memejamkan mata, menikmati belai lembut angin siang itu.“Indahnya,” ucap Yuan seraya tersenyum lembut.Rian perlahan bangkit dari sofa. Dia berdiri di ambang pintu seraya menyandarkan lengan atasnya pada kusen. Jika saja mereka saling mencintai, sudah pasti Rian akan berlari ke arah Yuan memeluk sang istri dari belakang sambil terus mengucap kata cinta berulang kali."Sayangnya, hatimu belum untukku," gumam Rian seraya tersenyum kecut ketika memandang punggung sang istri.Rian berdeham sekali sehingga membuat momen menyenangkan Yuan seketika runtuh. Dia baru ingat kalau dirinya ada di sini bersama Rian. Yuan langsung balik kanan seraya menatap tajam sang suami.Pelan tapi pasti, Yuan melangkah mendekati Rian. Dia berjinjit agar tatapannya semakin dekat dengan sang suami. Yuan menyipitkan mata untuk mengintimidasi suami tampannya itu."Kamu melakukan hal ilegal! Kamu sudah membawa tubuhku ke sini tanpa izin! Kamu pasti menaruh sesuatu dalam makanan atau minumanku sampai aku tak sadarkan diri! Hayo, ngaku!" Yuan mengarahkan ujung telunjuknya ke arah wajah Rian.Rian tersenyum canggung. Dia menyugar rambut sehingga membuat aura ketampanannya ikut terpancar. Yuan sempat terpesona dan melongo.Akan tetapi, kesadaran Yuan kembali pulih. Dia memilih untuk membuang muka, melipat lengan, seraya cemberut dan memejamkan mata demi menepis pesona sang suami. Rian terkekeh dan mulai menarik napas panjang."Maaf, tapi aku terpaksa. Jadi, aku minta tolong sama semua yang ada di rumah agar bisa membawamu ke sini. Maaf, ya? Sekali ini aja, kok.""Penculik!" seru Yuan kemudian masuk ke kamar mandi.Yuan menyalakan keran kemudian berteriak di bawah guyuran shower. Perempuan itu berusaha meredam rasa kesal dengan cara ini. Melihat wajah Rian benar-benar membuatnya kesal."Dasar om-om kurang ajar! Bujang lapuk!" gerutu Yuan.Akhirnya siang itu Yuan memilih untuk mandi sekalian. Namun, ketika selesai membersihkan diri, Yuan baru menyadari satu hal. Dia lupa tidak membawa pakaian ganti, mau tidak mau Yuan keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan memakai jubah mandi.Saat keluar dari kamar mandi, Yuan memindai kamar. Rian tidak ada di mana pun. Yuan pun mengembuskan napas lega.Yuan bergegas mencari kopernya. Koper Yuan masih ada di dekat lemari dalam kondisi tertutup rapat. Perempuan itu menatap tajam pintu kamar yang tertutup seakan tengah memandang punggung Rian."Awas saja, setelah ini aku akan kabur!"Yuan langsung membuka kopernya. Saat melihat isi koper, bibir gadis cantik itu terbuka lebar. Matanya melotot seakan hampir copot. Yuan terus membolak-balikkan pakaian yang ada di dalam koper."Mas Rian!" teriak Yuan frustrasi.Yuan menoleh ke arah jendela mobil. Seorang lelaki bertubuh tegap kini berdiri di samping mobilnya. Tak lama berselang lelaki itu membungkuk.Yuan dapat mengenali siapa orang yang ada di luar sana walau terlihat samar. Dia adalah Burhan, mantan kekasihnya. Bagaimana bisa Burhan mengetahui keberadaannya saat ini?Akhirnya Yuan memutuskan untuk keluar dari mobil. Saat dia kembali menutup pintu mobil, Burhan melepas kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan sepasang mata lelaki tersebut."Apa kabar, Sayang?" tanya Burhan dengan senyum menyeringai.Yuan tidak menjawab. Dia terus mengepalkan jemari tangan seraya menatap sepasang mata Burhan penuh kebencian. Burhan memasukkan kacamatanya ke dalam saku kemeja dan mulai mendekati Yuan."Kenapa kamu semakin sombong, Yuan? Nyonya muda Ismoyo kita ternyata semakin menggoda!" seru Burhan sembari memindai tubuh Yuan dengan tatapan mesum."Mundur! Ada Sinta di dalam! Jangan sam
Yuan menepuk dahinya. Dia tidak yakin sang putri akan sabar menunggu. Namun, Yuan akhirnya memaksakan senyum agar Sinta berhenti bertanya lagi soal adik."Baiklah! Sekarang main sama Juna dulu. Bunda mau kerja sama Bunda Riana." Yuan membelai lembut pipi putrinya.Sinta pun membereskan beberapa perlengkapan yang dia pakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Begitu juga dengan Arjuna. Setelah itu, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing."Aduh, jangan sampai Juna ikut-ikutan minta adik!" celetuk Riana tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.Yuan langsung menoleh ke arah Riana yang masih duduk rapi di sofa depan televisi. Dia berdiri dari atas karpet, lalu berjalan mendekati Riana. Yuan berkacak pinggang seraya menatap tajam adik iparnya itu.Merasa dirinya terus diperhatikan oleh Yuan, Riana pun mendongak. Dia menyengir kuda kemudian mengangkat lengan dengan jemari membentuk huruf 'v'. Tanpa basa-basi Yuan langsung mengimpit ke
Rian melongo mendengar pertanyaan Yuan yang menurutnya tidak masuk akal. Di sisi lain, Yuan terlihat kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Rian. Perempuan tersebut langsung melipat lengan seraya mengerucutkan bibir.Sedetik kemudian, Rian tertawa terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya yang terguncang akibat ledakan tawa. Kini Yuan mulai mendaratkan cubitan pada lengan sang suami karena merasa kesal."Aduh, ampun!" teriak Rian tanpa menghentikan tawanya.Yuan tidak segera melepaskan cubitan dari lengan Rian, sampai akhirnya sang suami menarik lengannya paksa, lalu membanting pelan tubuh Yuan hingga istrinya itu terlentang di atas ranjang. Tatapan keduanya saling bertemu, tetapi dada Yuan masih kembang kempis karena menahan amarah."Kamu ini lucu, Sayang. Tentu saja aku akan menuruti semua keinginanmu. Bahkan aku bisa membeli pabrik es krim kesukaanmu, kalau kamu menginginkannya!" seru Rian jemawa.Yuan hanya terse
Rian dapat mendengar kalau Yuan menggumamkan sesuatu walau terdengar samar. Dia akhirnya menoleh dan menanyakan apa yang menjadi ganjalan hati sang istri. Namun, Yuan hanya menggeleng.Rian membuang napas kasar. Dia tidak mau memaksa sang istri mengatakan apa yang memang tidak dia ingin katakan. Akhirnya Rian memilih untuk tetap diam dan terus fokus mengendarai mobilnya."Mau makan di mana?" tanya Rian tanpa menoleh ke arah sang istri."Terserah," jawab Yuan singkat.Rian menelan ludah karena mendengar kata mematikan itu keluar dari bibir sang istri. Dia berpikir sejenak, berusaha mengingat beberapa makanan favorit sang istri.Setelah berpikir hampir 15 menit, akhirnya Rian memutuskan untuk berhenti di sebuah warung tegal. Yuan terdiam sesaat. Tak lama berselang, dia menoleh ke arah Rian."Mas Rian kok berhenti di sini?" tanya Yuan seraya memindai warung sederhana dengan etalase di bagian depannya."Kamu ri
Rian dan Siti pun menoleh ke arah Yuan. Wajah perempuan tersebut tampak merah padam dengan jemari mengepal kuat di samping badan."Nggak boleh!" seru Yuan tegas.Rian dan Siti melongo melihat Yuan yang sedang marah. Perempuan itu kini melipat lengan di depan dada sambil menatap tajam Siti. Hilda ikut melongo melihat Yuan yang tampak emosi.Hilda memandang Yuan dengan tatapan polos. Hilda bergerak dan berdiri di atas kursi. Kini semua tatapan tertuju pada bocah mungil berambut ikal itu."No, no, no! Tante nggak boleh mayah-mayah! Nggak baik kata papa!" Hilda menggerakkan jari telunjuk di depan wajahnya.Yuan mengalihkan pandangannya kepada Hilda. Amarah Yuan padam seketika. Dia mulai berpikir kalau dirinya tidak lebih dewasa dari anak berusia tiga tahun.Yuan akhirnya menyandarkan punggung pada bantal sofa di belakangnya. Bahunya merosot dan tatapan Yuan masih tertuju pada Hilda yang kini mulai turun dari kursi.
Rian mengerutkan dahi ketika melihat Yuan kembali bersikap kekanakan. Dia menggendong Hilda, kemudian menyusul Yuan yang sudah ada di dalam mobil. Rian mengetuk kaca mobil karena melihat istrinya itu duduk di belakang roda kemudi.Di dalam mobil, Yuan berusaha menekan tombol starter. Dia berniat pulang dengan mengendarai mobil sang suami sendirian dan meninggalkan Rian bersama janda gatal bernama Siti itu.Perempuan tersebut sangat jengkel ketika melihat bagaimana Siti tersenyum kepada suaminya. Dia merasa hanya Rian yang dinanti dan disambut kedatangannya. Belum lagi ketika Hilda yang langsung naik ke pangkuan Rian seperti sudah kenal sejak lama."Ah, sial!" Yuan memukul roda kemudi ketika menyadari dia tidak membawa kunci mobil."Pantas saja! Mau aku starter sampai jempolku patah mesinnya nggak akan nyala!" gerutu Yuan, lalu menenggelamkan kepala di antara kedua lengan yang memegang roda kemudi.Sedetik kemudian, Yuan menyadari kalau Rian mengetuk kaca mobil. Dia akhirnya menurunkan