Rian langsung bangkit menemui Drini yang sedang ada di dapur. Dia pun akhirnya mengungkapkan rencananya kepada sang ibu. Drini pun langsung menyetujui dan mendukung rencana Rian.
Tak lama kemudian, Yuan keluar dari kamarnya bersama Sinta. Sinta langsung berlari ke ruang tengah untuk bermain bersama Arjuna, sementara Rian memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan mandi.“Yuan bantu, Bu,” ucap Yuan“Baiklah, terima kasih, Sayang!”Aroma masakan kini menguar di seluruh penjuru dapur. Perempuan yang dulunya tidak bisa memasak itu, kini semakin rajin belajar masak sejak kehadiran Yuan di rumah itu. Terlebih lagi ketika cucunya mulai lahir.Setelah menyelesaikan masakannya, Yuan menghidangkan makanan ke atas meja. Perempuan tersebut berteriak ke arah ruang tengah, di mana Sinta dan Arjuna sedang bermain. Dua bocah kecil itu langsung berlari menuju meja makan.Setelahnya itu Rian, Anton, dan Riana menyusul dan bergabung di meja makan. Dari arah dapur, Drini membawa satu nampan jus buah kesukaan seluruh anggota keluarga. Dia membagikan jus tersebut kepada mereka."Terima kasih, Bu," ucap Yuan sambil menerima satu gelas jus stroberi dan langsung meminumnya.Rian tersenyum penuh arti ketika tatapan matanya bertemu dengan Drini. Sang ibu pun tersenyum tipis. Tak lupa Drini diam-diam memberi kode kepada Rian dengan mengacungkan jempol sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya.Setelah itu semuanya menikmati sarapan sambil sesekali mengobrol dan bercanda. Usai makan, entah mengapa Yuan merasa matanya begitu berat. Akhirnya dia berpamitan untuk kembali ke kamar."Aku kenapa, sih!" seru Yuan sambil menguap lebar.Perempuan tersebut langsung merebahkan tubuh ke atas ranjang. Semakin lama matanya semakin terasa berat. Yuan gagal mengalahkan rasa kantuk dan akhirnya menutup mata.Tak lama kemudian terdengar suara derit pintu yang terbuka. Sinta memasukkan kepalanya ke dalam kamar. Gadis kecil itu berjalan dengan berjingkat sambil meletakkan tangan di depan dada layaknya kelinci.Sinta mendekati Yuan dan mulai menggerakkan telapak tangan di depan wajah sang ibu. Setelah memastikan Yuan tertidur nyenyak, Sinta setengah berlari keluar kamar. Ternyata Drini sudah menunggu di sana."Bunda udah bobok, Uti!" seru Sinta dengan mata berbinar."Oke, sip! Bantuin uti berkemas buat bunda, ya?"Sinta mengangguk mantap. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam kamar. Keduanya menyiapkan pakaian dan keperluan pribadi untuk Yuan.Setelah selesai, Sinta langsung berlari menghampiri Rian. Rian mengacungkan jempol kepada putri cerdiknya itu. Rian mendorong kursi roda yang dulu dipakai oleh mendiang adiknya masuk ke kamar.Drini ternyata sudah merapikan penampilan Yuan. Kini Yuan dibalut menggunakan pakaian tertutup dan sengaja diberi riasan wajah agar tampak pucat. Rian sampai terpukau melihat hasil kerja sang ibu."Benar-benar seperti orang sakit! Ibu memang andal!" Rian mengacungkan jempol ke arah sang ibu.Drini mendongak seraya mengangguk-angguk beberapa kali dengan lengan dilipat di depan dada. Dia tersenyum jemawa karena bangga akan hasil kerjanya sendiri. Rian memeluk sang ibu sambil mengucapkan terima kasih."Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Maaf, ibu sama bapak hanya bisa bantu sampai sini. Selebihnya kamu harus berjuang di sana!" Drini merangkum pipi sang putra dan menatapnya penuh harap."Pasti Ian akan berusaha keras, Bu. Mohon doanya, ya?" Rian meraih jemari sang ibu, lalu mengecup punggung tangannya.Rian berpamitan kepada Drini dan Sinta. Setelah itu, dia menggendong Yuan dan mendudukkannya di atas kursi roda. Lelaki tersebut mendorong kursi menuju mobil, lalu bergegas menuju bandara.Ketika sampai di bandara dia mengatakan bahwa sang istri memang kurang enak badan dan mereka harus pergi ke Bali karena keperluan darurat. Akhirnya petugas pun langsung percaya karena Rian menunjukkan dokumen pendukung.Setelah melakukan perjalanan udara selama satu jam, akhirnya mereka sampai di Bali. Rian langsung membawa Yuan ke hotel. Berdasarkan perkiraannya, Yuan akan bangun satu jam lagi."Maaf, ya, Yuan. Pasti kamu akan marah besar setelah bangun. Tapi, cuma ini satu-satunya cara untuk bisa membawamu ke sini." Rian tersenyum kecut.Jemari lelaki itu mengambang di udara hendak membelai wajah cantik Yuan. Akan tetapi, Rian mengurungkan niat. Dia kembali mengepalkan jemari, lalu memilih untuk menjauh dan menikmati pemandangan pantai melalui balkon kamar.Satu jam kemudian, Yuan mulai menggeliat. Perlahan mata perempuan itu terbuka. Dalam kondisi setengah sadar, Yuan berusaha mengenali tempat dia berada sekarang.Yuan memindai setiap sudut ruangan itu dengan tubuh yang masih terbaring di atas ranjang. Setelah yakin kalau dia tidak ada di dalam kamarnya sendiri, Yuan langsung terduduk. Kali ini darahnya seakan mendidih karena melihat Rian yang sedang tidur di atas sofa."Ini pasti akal bulusmu, Mas!"Yuan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia berjalan cepat ke arah Rian. Yuan meraih botol yang ada di atas meja, kemudian membuka tutupnya, dan menumpahkan air ke atas tubuh Rian.Yuan menoleh ke arah jendela mobil. Seorang lelaki bertubuh tegap kini berdiri di samping mobilnya. Tak lama berselang lelaki itu membungkuk.Yuan dapat mengenali siapa orang yang ada di luar sana walau terlihat samar. Dia adalah Burhan, mantan kekasihnya. Bagaimana bisa Burhan mengetahui keberadaannya saat ini?Akhirnya Yuan memutuskan untuk keluar dari mobil. Saat dia kembali menutup pintu mobil, Burhan melepas kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan sepasang mata lelaki tersebut."Apa kabar, Sayang?" tanya Burhan dengan senyum menyeringai.Yuan tidak menjawab. Dia terus mengepalkan jemari tangan seraya menatap sepasang mata Burhan penuh kebencian. Burhan memasukkan kacamatanya ke dalam saku kemeja dan mulai mendekati Yuan."Kenapa kamu semakin sombong, Yuan? Nyonya muda Ismoyo kita ternyata semakin menggoda!" seru Burhan sembari memindai tubuh Yuan dengan tatapan mesum."Mundur! Ada Sinta di dalam! Jangan sam
Yuan menepuk dahinya. Dia tidak yakin sang putri akan sabar menunggu. Namun, Yuan akhirnya memaksakan senyum agar Sinta berhenti bertanya lagi soal adik."Baiklah! Sekarang main sama Juna dulu. Bunda mau kerja sama Bunda Riana." Yuan membelai lembut pipi putrinya.Sinta pun membereskan beberapa perlengkapan yang dia pakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Begitu juga dengan Arjuna. Setelah itu, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing."Aduh, jangan sampai Juna ikut-ikutan minta adik!" celetuk Riana tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.Yuan langsung menoleh ke arah Riana yang masih duduk rapi di sofa depan televisi. Dia berdiri dari atas karpet, lalu berjalan mendekati Riana. Yuan berkacak pinggang seraya menatap tajam adik iparnya itu.Merasa dirinya terus diperhatikan oleh Yuan, Riana pun mendongak. Dia menyengir kuda kemudian mengangkat lengan dengan jemari membentuk huruf 'v'. Tanpa basa-basi Yuan langsung mengimpit ke
Rian melongo mendengar pertanyaan Yuan yang menurutnya tidak masuk akal. Di sisi lain, Yuan terlihat kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Rian. Perempuan tersebut langsung melipat lengan seraya mengerucutkan bibir.Sedetik kemudian, Rian tertawa terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya yang terguncang akibat ledakan tawa. Kini Yuan mulai mendaratkan cubitan pada lengan sang suami karena merasa kesal."Aduh, ampun!" teriak Rian tanpa menghentikan tawanya.Yuan tidak segera melepaskan cubitan dari lengan Rian, sampai akhirnya sang suami menarik lengannya paksa, lalu membanting pelan tubuh Yuan hingga istrinya itu terlentang di atas ranjang. Tatapan keduanya saling bertemu, tetapi dada Yuan masih kembang kempis karena menahan amarah."Kamu ini lucu, Sayang. Tentu saja aku akan menuruti semua keinginanmu. Bahkan aku bisa membeli pabrik es krim kesukaanmu, kalau kamu menginginkannya!" seru Rian jemawa.Yuan hanya terse
Rian dapat mendengar kalau Yuan menggumamkan sesuatu walau terdengar samar. Dia akhirnya menoleh dan menanyakan apa yang menjadi ganjalan hati sang istri. Namun, Yuan hanya menggeleng.Rian membuang napas kasar. Dia tidak mau memaksa sang istri mengatakan apa yang memang tidak dia ingin katakan. Akhirnya Rian memilih untuk tetap diam dan terus fokus mengendarai mobilnya."Mau makan di mana?" tanya Rian tanpa menoleh ke arah sang istri."Terserah," jawab Yuan singkat.Rian menelan ludah karena mendengar kata mematikan itu keluar dari bibir sang istri. Dia berpikir sejenak, berusaha mengingat beberapa makanan favorit sang istri.Setelah berpikir hampir 15 menit, akhirnya Rian memutuskan untuk berhenti di sebuah warung tegal. Yuan terdiam sesaat. Tak lama berselang, dia menoleh ke arah Rian."Mas Rian kok berhenti di sini?" tanya Yuan seraya memindai warung sederhana dengan etalase di bagian depannya."Kamu ri
Rian dan Siti pun menoleh ke arah Yuan. Wajah perempuan tersebut tampak merah padam dengan jemari mengepal kuat di samping badan."Nggak boleh!" seru Yuan tegas.Rian dan Siti melongo melihat Yuan yang sedang marah. Perempuan itu kini melipat lengan di depan dada sambil menatap tajam Siti. Hilda ikut melongo melihat Yuan yang tampak emosi.Hilda memandang Yuan dengan tatapan polos. Hilda bergerak dan berdiri di atas kursi. Kini semua tatapan tertuju pada bocah mungil berambut ikal itu."No, no, no! Tante nggak boleh mayah-mayah! Nggak baik kata papa!" Hilda menggerakkan jari telunjuk di depan wajahnya.Yuan mengalihkan pandangannya kepada Hilda. Amarah Yuan padam seketika. Dia mulai berpikir kalau dirinya tidak lebih dewasa dari anak berusia tiga tahun.Yuan akhirnya menyandarkan punggung pada bantal sofa di belakangnya. Bahunya merosot dan tatapan Yuan masih tertuju pada Hilda yang kini mulai turun dari kursi.
Rian mengerutkan dahi ketika melihat Yuan kembali bersikap kekanakan. Dia menggendong Hilda, kemudian menyusul Yuan yang sudah ada di dalam mobil. Rian mengetuk kaca mobil karena melihat istrinya itu duduk di belakang roda kemudi.Di dalam mobil, Yuan berusaha menekan tombol starter. Dia berniat pulang dengan mengendarai mobil sang suami sendirian dan meninggalkan Rian bersama janda gatal bernama Siti itu.Perempuan tersebut sangat jengkel ketika melihat bagaimana Siti tersenyum kepada suaminya. Dia merasa hanya Rian yang dinanti dan disambut kedatangannya. Belum lagi ketika Hilda yang langsung naik ke pangkuan Rian seperti sudah kenal sejak lama."Ah, sial!" Yuan memukul roda kemudi ketika menyadari dia tidak membawa kunci mobil."Pantas saja! Mau aku starter sampai jempolku patah mesinnya nggak akan nyala!" gerutu Yuan, lalu menenggelamkan kepala di antara kedua lengan yang memegang roda kemudi.Sedetik kemudian, Yuan menyadari kalau Rian mengetuk kaca mobil. Dia akhirnya menurunkan