Share

Kembali ke kota

Demi melancarkan rencana awalku, aku pun terpaksa menerima tawaran Nathan untuk mengantarku hingga ke tempat kos pagi ini. Dia bilang, mau sekalian kembali ke rumah pribadinya di kota sebelah, aku pun menyetujui itu. Padahal, arah kami justru bertolak belakang, tapi dia rela membuang waktu hanya demi mengantarku saja. 

Dari sini bisa kusimpulkan jika Nathan mulai menaruh rasa padaku. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan jatuh ke pelukanku. Dengan begitu, rencana balas dendamku padanya akan berjalan sesuai alur yang kubuat. 

Keyakinkanku semakin diperkuat oleh sikap Nathan selama dalam perjalanan menuju indekosku. Dia menghentikan mobilnya lebih dulu di sebuah rumah makan agar kami bisa lebih dulu sarapan, lalu melanjutkan perjalanan setelah selesai. 

Selain itu, obrolan hangat dan canda tawa tak henti-hentinya dia lontarkan dengan ekspresi semangat sebagai seorang laki-laki ke lawan jenisnya demi mengiringi perjalanan kami yang mungkin saja akan terasa membosankan jika hanya diam saja. Tentu aku suka itu. 

Meski begitu, rasaku tidaklah sama seperti dulu. Kebencianku padanya atas perlakuan dia di masa lalu, tidak bisa menutupi sikap baik dia saat ini. Bahkan, aku telah lupa bagaimana perasaanku dulu saat masih memendam rasa yang tak pernah kuungkapkan padanya. 

“Sering-sering kasih kabar, ya, kalo walau sibuk bekerja. Aku juga akan begitu,” celetuk Nathan tiba-tiba memecahkan keheningan sesaat setelah gelak tawa karena sikap lucunya. “Ceritakan jika ada permasalahan apapun, aku siap menjadi pendengar setiamu.” Dia menoleh sejenak ke arahku dengan senyum yang sangat manis. 

“Oke. Tenang ajah,” sahutku santai. 

Tak lama, kami pun sampai di tempat aku menginap selama bekerja di rumah sakit kota. Aku bergegas menurunkan satu kardus berisi oleh-oleh yang mamah siapkan untuk teman di kosanku, dengan dibantu Nathan yang kemudian mengangkatnya menuju halaman bangunan lantai dua bercat hijau itu. 

“Mau aku antar ke kamarmu juga?” tawar Nathan saat baru mendaratkan kardus berisi beberapa camilan itu di dekat pintu pagar. Dia tidak berani masuk setelah kuberitahukan mengenai aturan kosku yang tidak membolehkan laki-laki untuk ikut masuk ke dalam selain saudara atau suami. 

Jadi, selama Nathan belum berstatus suami sahku, dia akan mengantarku hanya sampai di depan pagar saja. Meski begitu, laki-laki itu masih saja menawarkan hal yang sudah jelas bertolak belakang dengan aturan yang ada. Ya, walau tawarannya itu dia susul dengan tawa kecilnya. 

“Kamu hati-hati, ya. Pelan-pelan kalo naik ke tangga, ini berat soalnya,” ucapnya lagi yang semakin meledekku. Kalimat berlebihan itu membuatku ikut tertawa lepas hingga terdengar oleh Bu Erna. 

Wanita paruh baya itu perlahan menghampiri keberadaan kami yang masih di ambang pintu pagar. Seperti biasa, dia akan memasang wajah bengis pada laki-laki yang nampak tengah berbincang dengan penghuni kos jika masih berada di area bangunan miliknya. 

Tanpa menunggu Bu Erna bertanya, aku lebih dulu memberitahukan padanya mengenai status Nathan sebagai saudara yang mengantarku. Saudara dari pihak ibu tentunya, yang kuinfokan padanya. 

Tidak mungkin aku menyebut dia sebagai tunangan, apalagi jika masih pacaran, termasuk status teman. Karena aku pasti akan mendapatkan ceramah panjang lebar dari wanita yang sebenarnya ramah dan baik hati itu. Bu Erna hanya akan terlihat tidak ramah pada laki-laki yang belum dia kenali saja. 

“Oh. Ya, sudah, Nduk. Biarkan saja kardus itu di situ, biar kang Abdul saja yang membawanya nanti, kalo berat.” Bu Erna memberi saran. Namun, kali ini nadanya sudah terdengar ramah yang disusul senyum tipis dari bibirnya. Dia kemudian berlalu setelah Nathan juga ikut berpamitan padanya, dan aku menutup pintu pagar. 

“Loh, Kak Nathan! Kok, bisa ada di sini? Lagi ngapain?” 

Suara wanita yang menurutku tidak terlalu asing ditelinga itu mengejutkanku tiba-tiba. Aku menghentikan langkah saat sudah sampai di tangga kecil menuju teras. Bergegas, aku menoleh ke sumber suara yang sepertinya berada di depan pintu pagar itu. 

Kardus yang sebenarnya tidak terlalu berat ini, yang sudah kuangkat untuk kubawa masuk sendiri, aku letakan kembali di lantai teras. Langkahku kembali menuju pintu pagar untuk memastikan obrolan dari wanita yang kutebak adalah Nanda—teman satu kos di kamar sebelah. 

Dari balik pintu pagar, aku mencoba menguping pembicaraan Nanda dengan Nathan yang ternyata sudah saling mengenal. Tapi aku heran, dimana mereka pernah bertemu sehingga obrolan yang dipenuhi gelak tawa itu begitu nampak akrab sekali. Itu berarti, keduanya pernah saling dekat sebelumnya. 

Sontak, kejadian ini semakin membuatku penasaran. Mendadak, otak pun dipenuhi banyak tanda tanya yang membutuhkan jawabannya segera. Ternyata, takdir yang mempertemukan kembali antara aku dan Nathan menjadi cukup rumit, dengan hadirnya beberapa orang di belakang laki-laki itu. 

“Ranum, kamu sedang apa? Kenapa masih di situ?” 

Nada tegas Bu Erna menggetarkan tubuhku tiba-tiba. Aku langsung berbalik badan, lalu segera menghampiri wanita yang kini tengah berdiri di teras bersama kang Abdul. “Oh, iya, Bu. Maaf,” sahutku menutupi fakta yang ada. 

Aku tidak memberitahu perihal obrolan Nathan dan Nanda di luar pagar. Khawatir, jika nanti Nanda akan mendapatkan masalah karena aduanku yang tidak penting. 

“Ya, sudah. Masuklah!” 

Aku mengangguk mengiakan perintah Bu Erna, lalu melangkah menuju lantai dua mengikuti kang Abdul yang tengah berjalan sambil membawa kardus milikku. 

“Hai, Ranum. Kamu baru datang?” Nanda masuk ke dalam kamarku tanpa permisi. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuatnya leluasa masuk begitu saja. Aku pikir, gadis itu masih sibuk berbincang dengan Nathan. 

“Iya, Nan,” sahutku pendek sambil terus membereskan beberapa barang yang kubawa dari rumah. 

Seperti biasa, kami langsung terlibat obrolan ringan yang menghangatkan suasana. Sifat supel dan ramah yang Nanda miliki membuat kami seolah tak berhenti berbincang. Dia terus bertanya, aku pun menjawab yang terkadang dilanjut dengan penjelasan memanjang juga melebar. 

Hingga rasa heran mendadak menghampiri benakku. Iya, aku menjadi bertanya-tanya, kenapa Nanda tidak bertanya padaku perihal laki-laki yang dia temui di luar tadi. Obrolan kami pun tidak sedikit pun menyinggung mengenai itu. Apakah Nanda menutupi soal Nathan? Atau, apa? 

Rasa penasaran tidak bisa kutepis begitu saja, karena ini menyangkut Nathan yang notabenenya adalah pria yang mungkin saja akan menjadi suamiku nanti jika acara perjodohan itu berjalan dengan lancar. 

“Nanda, laki-laki di depan tadi, kamu kenal?” Akhirnya, aku memberanikan bertanya. Ingin segera tahu jawaban dan penjelasan yang Nanda sampaikan. 

“Oh, laki-laki yang ngobrol sama aku tadi?” Nanda balik bertanya, yang kujawab dengan anggukan. 

“Dia itu teman SMA-ku dulu, Num. Malah, kami sempat pacaran.” 

Seketika, kedua mataku membelalak sempurna mendengar jawaban mengejutkan dari Nanda. Dengan santai, dia membuka cerita yang berkaitan dengan masa lalunya. Pasalnya, Nathan lah yang terlibat bersamanya, membuatku terkejut bukan kepalang. 

“Iya, kami pacaran. Cukup lama juga, loh. Dia ganteng, kan?” jelas Nanda setelah aku bertanya memastikan kebenaran yang dia sampaikan. 

Lagi-lagi, aku semakin dibuat terkejut oleh Nanda. Tak bisa dipungkiri, jika saat ini degupan jantung di dalam sana berdetak sangat cepat. Rasa tidak percaya begitu menusuk rongga dada, hingga rasa sesak seolah menghentikan napasku tiba-tiba. 

Jujur, aku tidak menyangka jika ternyata ada banyak wanita yang berada di belakang Nathan sebelumya. Lebih tepatnya, ada dua wanita yang kutahu ikut terlibat dalam masa lalu Nathan. Yang jelas kepastiannya baru satu, Nanda. Sementara gadis bernama Alina itu, aku belum mendapatkan info tentang dia. (*) 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status