Share

Bab 10

“Menurutmu gimana, Num, kalo aku balikan sama Kak Nathan? Cocok gak? Serasi gak?” Seperti biasa, tanpa basa basi Nanda langsung masuk ke dalam kamarku setelah mengetahui kepulanganku dari tempat kerja. 

Pakaian dinas perawat bahkan masih melekat di tubuhku, namun Nanda tidak merasa canggung sedikit pun jika harus melihatku berganti pakaian di depannya. “Balikan? Atas dasar apa?” tanyaku. Walau yang kurasakan saat ini bercampur aduk atas pertanyaan Nanda itu, aku tetap menjaga suasana. Kutanggapi biasa layaknya aku tidak tahu apa-apa. 

Aku dan Nanda memang cukup dekat, hanya saja tidak berada dalam satu kamar. Kedekatan kami pun hanya sebatas teman kerja saja sebagai sesama perawat di rumah sakit swasta di kota ini. Jadi, tetap ada batasan pribadi yang kututup darinya. 

Namun berbeda dengan Nanda yang selalu mudah mencurahkan isi hatinya padaku setiap kali merasakan sesuatu pada seseorang, baik rasa suka maupun benci. Dia tidak segan-segan meluapkan perasaan itu di depanku. 

Termasuk malam ini. Setelah aku mengetahui hubungan dia dengan Nathan pagi tadi, tanpa malu Nanda merespons tanggapanku dengan meminta beberapa pendapat. Jika awalnya dia hanya menanyakan perihal tampilan dan gaya Nathan, kali ini dia justru memintaku memberi pendapat akan hubungan mereka itu. 

“Ya, karena dia sekarang sudah sukses, Num. Gayanya itu, loh, modis banget,” jelas Nanda memberi alasan dengan ekspresi terpukaunya.  

Aku yang telah siap dengan pakaian tidurku selepas berganti tadi, segera duduk di bibir kasur busaku di sebelah Nanda. Padahal, niatku malam ini ingin langsung tidur setelah sampai di kos. Walau jam masih menunjuk di angka sembilan malam, namun rasa lelah menuntunku ingin segera merebahkan diri dengan mata terpejam. 

Sayangnya, kedatangan Nanda terpaksa menggagalkan rencanaku itu. Perbedaan waktu sift kerja kami menjadi pemicu utamanya. Andai Nanda satu sift denganku hari ini, dia juga pasti akan langsung istirahat selepas pulang. Bahkan, seringkali kulihat Nanda masih memakai pakaian dinas perawatnya di pagi hari setelah bangun tidur. Mungkin terlalu lelah sehingga tidak menyadari akan hal itu. 

Aku sedikit termenung dengan jawaban Nanda. Sejujurnya, aku tidak ingin tahu soal pribadi atau masalah hubungan Nanda dengan lelaki mana pun. Bagiku, itu hanya akan membuang waktuku yang terkadang sudah kujadwal sesuai rencana. 

Tentu saja soal curhatan Nanda tidak masuk dalam daftar waktu disiplinku setiap hari. Jika dia meluapkan rasa apapun, terkadang aku tak terlalu menanggapi. Hanya jawaban pendek seperti: Oh, ya?; Masa, sih?; Ya, sudah. Gak papa; atau, Yang sabar, ya, Nan. Iya, hanya kata pendek itu. Tentu agar Nanda tidak semakin panjang lebar bercerita. 

Namun untuk kali ini, sepertinya kebiasaan itu harus kusingkirkan sejenak. Karena ini menyangkut soal masa depanku. 

Iya, mengenai hubungan Nanda dan Nathan di masa lalu, terlebih lagi niatan Nanda baru saja yang memiliki keinginan untuk kembali menjalani hubungan dengan laki-laki yang tengah menjalani perjodohan denganku, tentu tidak bisa aku tinggal diam. 

Walau perjodohan itu aku manfaatkan untuk membalas dendamku pada Nathan, tetap saja harus berjalan lancar tanpa ada orang ketiga di antara kami. Jadi, sebisa mungkin aku memberi saran agar Nanda tidak melanjutkan niatnya itu. Toh, apa yang kusarankan terkadang mau dia jalankan. 

“Memangnya, kamu yakin kalo Nathan gak punya cewek di luar sana? Gimana kalo ternyata dia udah punya tunangan, atau bahkan istri?” tanyaku yang seketika memancing rasa terkejut di wajah Nanda. 

“Tapi, dia bilang enggak punya, Num? Dia bilang masih jomlo, kok.” 

Benarkah Nathan mengatakan itu? Benarkah dia mengaku masih jomlo, dan tidak sedang menjalani hubungan dengan siapapun. Jika benar, sudah kupastikan akan balas dendamku nanti bisa jadi lebih menyakitkan dari yang kurencanakan sebelumnya. Memang, ya, laki-laki dimana-mana sama saja. Buaya. 

“Sayang, loh, Num. Nathan itu asli super baik, royal juga sama cewek.” 

Ucapan lanjutan Nanda mengalihkan tatapan kosongku tiba-tiba. Entah saran apa yang harus kuberikan agar dia tidak melanjutkan niatnya kembali dengan Nathan. 

Eh, tunggu. Apa tidak lebih baik aku biarkan saja Nanda seperti itu. Maksudku, walau dia bilang ingin kembali dengan Nathan, tentu hal itu harus atas persetujuan dari Nathan tentunya. Dari situ, mungkin aku bisa tahu sudah sejauh mana perasaan dia padaku selama ini. 

Jika Nathan tidak menerima ajakan Nanda untuk kembali, sudah bisa dipastikan jika laki-laki itu tengah menjaga satu hati yang mungkin mulai tumbuh dalam benaknya, yakni aku. Tapi, jika sebaliknya? Bagaimana aku bisa melanjutkan balas dendamku pada Nathan. 

Karena jika dia saja tidak menaruh rasa padaku, bagaimana aku bisa menyakiti hatinya itu. Apakah perlu membalas dendam secara fisik saja. Wow! Jahat sekali, dong, aku. Eh, tapi, hal itu bisa kupertimbangkan lebih dulu. Laki-laki buaya mungkin perlu diberi pelajaran yang lain, termasuk soal fisik. Percuma jika hanya dari hati. Laki-laki buaya sudah terlalu kebal merasakan sakit hati. 

“Ya, sudah. Lanjutin ajah niatmu itu,” kataku memberi saran. 

“Tapi, gimana caranya?” 

“Kirim pesan, ajak dia ketemu.” 

“Tapi, aku gak tau nomor dia, Num.” 

Hah? Nanda tidak tahu nomor Nathan? Jadi, pagi tadi dia tidak sampai bertukar nomor. Ah, baguslah. Setidaknya, aku sedikit lega untuk hal ini. 

“Datangi rumahnya.” Dengan santai, aku menantang terus niat Nanda. 

Dan faktanya, gadis berusia sepantaran denganku ini ternyata tidak tahu alamat rumah Nathan yang baru. Dia memang pernah berkunjung ke rumah Nathan di masa putih abu-abu dulu, katanya. Tapi, Nathan sudah tidak lagi berada di alamat itu. Nathan sekeluarga pindah ke desa sebelahnya, yang tentu tidak akan Nanda ketahui. 

“Terus, gimana?” tanyaku mengikuti alur cerita Nanda. Walau bosan mendengarnya, tapi sebisa mungkin aku harus tahu perkembangan hubungan mereka. 

“Kamu mau bantu aku?” 

“Bantu apa?” 

“Kak Nathan bilang, kalo pagi tadi dia habis mengantar orang ke indekos ini, Num. Sayangnya, aku lupa gak tanya siapa orangnya karena aku terlanjur semangat buat nanya yang lain.” Nanda menghela napas sejenak, lalu kembali melanjutkan penjelasannya. “Kita caritahu, siapa orang yang dia antar itu, Num. Kamu mau, kan?” 

Ada rasa gemas dan ingin tertawa saat dengan polosnya Nanda menerangkan itu. Ah, iya, mungkin ini bagian dari takdir jalanku. Setelah takdir perjodohan dengan Nathan waktu itu, kali ini keberadaanku seolah ditakdirkan untuk dihilangkan dari orang ketiga di antara aku dan Nathan. Dan, alasan itulah yang menjadi PR buatku. Ada apa di balik itu semua? 

Ini seperti teka teki yang sulit kupecahkan. Tidak bisa mudah menebak alur cerita selanjutnya. Tidak seperti sinetron di televisi yang selalu tepat setiap kali aku tebak. Ah, membingungkan. 

“Iya, aku mau. Tapi, enggak sekarang, Nan. Aku udah ngantuk, lanjut besok ajah, ya,” pintaku setengah memohon. 

“Kok, besok, sih, Num? Sekarang, dong. Nanti aku gak bisa tidur, Ranum. Aku pasti kepikiran terus, siapa wanita yang kak Nathan antar pagi tadi.” Nada permohonan Nanda seakan sulit kutolak. 

“Tapi, kalo wanita itu ternyata calon istri Nathan, gimana?” tanyaku yang sengaja memancing suasana hati Nanda. 

“Gak mungkin, Num. Kan sudah aku bilang, dia masih jomlo. Paling adiknya yang diantar. Aku yakin itu.” Nanda terus berkilah membela pendapatnya. 

Dengan terpaksa, aku menuruti permintaan Nanda walau tubuh sudah serasa berat untuk beranjak. Jujur, ada rasa kesal jika kuturuti ego. Kenapa Nanda tidak sedikit pun mengerti kondisiku yang tengah lelah ini. Ah, sudahlah. Daripada mendengar keluhan Nanda yang tiada habisnya, apa salahnya kuikuti kemauannya. (*)   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status