WARNING!!!! 21+
NOT FOR CHILD
* * *
Rio mengingat kejadian satu jam lalu, bagaimana obat perangsang itu bisa Monika konsumsi.
Seorang pramusaji mengantar makanan yang Rio pesan sebelumnya. Wanita itu pergi setelah memastikan tidak ada komplain ataupun permintaan lain dari pelanggan VVIP ini.
Rio menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah lima menit Monika pergi tapi wanita itu tak jua kembali.
"Apa dia marah padaku?" gumam Rio, kembali mengingat eksresi wajah Monika yang tampak begitu menyeramkan tepat sebelum ia pergi.
"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya setuju berakting di depan Liliana?"
Rio sedikit frustasi, mengingat hubungannya dengan Monika kembali memburuk. Entah kenapa interaksi mereka berdua masih labil, pasang surut hanya dalam hitungan detik.
"Haruskah aku menggunakan jalan pintas itu lagi?" Rio kembali mengingat apa yang pernah ia lakukan pada Monika tempo hari, mencampur se
Tubuh Monika bergetar semakin hebat. Bulir-bulir keringat terus membanjiri pelipisnya. Seluruh tubuhnya bereaksi setelah mendapat sentuhan tangan Rio barusan. Obat perangsang yang ada terkandung dalam makanan dan minuman yang ia konsumsi, sudah aktif bekerja meningkatkan hormon libido di tubuhnya hingga ke batas maksimal. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Rio. Tangannya mencengkeram kemudi erat-erat, bingung dengan apa yang harus dilakukan untuk menolong istrinya. Rio tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tujuan awalnya adalah agar Monika bisa memuaskan hasratnya sekaligus memprovokasi Liliana dan Clara. Tapi, ternyata wanita ini mempertahankan harga diri yang dimilikinya, tak ingin menyerah begitu saja. Monika berpikir lebih baik membiarkan tubuhnya menderita daripada harus menuntaskan hasratnya dengan Sang Suami. Gemeletuk gigi-gigi Monika terdengar jelas, menandakan bahwa gelombang di dalam tubuhnya semakin hebat. Monika semakin erat memeluk lenganny
"Apa kamu ingin membunuh istrimu?" Rio bungkam. Dia tidak menyangka tindakannya akan membahayakan nyawa Monika. Dia tidak tahu efek obat perangsang yang ia berikan akan membuat istrinya begitu menderita. Pram mengembuskan napas beratnya, menatap wajah pria paling bodoh yang pernah ditemuinya. "Kamu bisa melihat dengan mata kepalamu sendiri betapa menyedihkannya keadaan istrimu. Ku pikir kamu sendiri pernah merasakan hal itu. Kenapa sampai berbuat bodoh seperti ini, huh?" "Obat perangsang bukan zat yang bisa kamu gunakan sembarangan. Itu bisa menyebabkan penyakit jantung, tekanan darah rendah atau tinggi yang tidak terkontrol, gangguan penglihatan, sirosis atau gangguan hati yang kronis, bahkan sampai gangguan ginjal yang nantinya mengharuskan penderitanya untuk cuci darah selama sisa hidupnya." Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia tidak berniat menyakiti Monika sama sekali. Dia hanya ingin membuat wanita itu bersikap liar seperti sebelum
"Katakan saja!" ketus wanita yang kini membenahi beberapa helai rambutnya yang maju ke depan, menghalangi pandangan. "Dimana Rio bertemu wanita itu?" "Nona dan Tuan Muda. Mereka..." Leo sengaja mengulur waktu, ingin membuat kemurkaan wanita ini semakin menjadi. Itulah yang Rio minta asistennya ini lakukan. "Kenapa diam? Katakan semua yang kamu tahu!" Wajah wanita itu mulai terlihat merah padam. Kesabarannya sudah ada di ambang batas, siap meledak detik berikutnya. "Saya takut apa yang akan saya katakan ini membuat Anda marah. Saya tidak berani." Nyonya Lilliana berdiri, menghampiri Leo dan menatapnya dengan pandangan mematikan. "Jika kamu menolak memberitahuku tentang gadis itu, kemasi barang-barangmu sekarang juga. Jangan pernah menginjakkan kaki di perusahaan selama-lamanya!" Leo menggeleng tegas. "Jangan pecat saya, Nyonya. Saya akan mengatakan semuanya." Dalam hati Leo tersenyum. Dia berhasil memancing kemarahan wan
Rio membawa Monika ke kediaman Pram, dokter sekaligus sahabatnya sejak di bangku SMA. "Sebelah sini." Pram mengarahkan langkah kaki Rio menuju kediaman mewahnya bersama Sang Istri. Pria 31 tahun itu menekan kombinasi password dengan cepat, tak membiarkan Rio lebih lama kesusahan membawa Monika yang mulai menggeliat tidak nyaman dengan keadaan tubuhnya. "Sayang, aku pulang," ucap Pram, dengan cepat membukakan pintu kamar tamu yang akan Rio tempat bersama Monika. Seorang wanita dengan potongan rambut di atas bahu mendekat. Dia tidak tahu kenapa suara suaminya terdengar begitu buru-buru seolah dikejar sesuatu. "Ada apa?" tanya Dya, menatap suami tercintanya yang kini berdiri di ambang pintu menatap ke arah dalam. Pram tak menjawab, menunjuk pada Rio yang tengah menurunkan istrinya ke atas ranjang dengan hati-hati. Dya mengerutkan kening. Tanpa melihat wajahnya sekalipun, dia tahu siapa pria yang dibawa oleh suaminya. "Apa
Lidya mendorong tubuh Pram ke atas ranjang. Dia marah karena suaminya memperhatikan Monika yang terbaring tak berdaya di atas bath tube. Meskipun Monika masih mengenakan pakaian lengkap, tapi Lidya tetap saja cemburu dengan suaminya. "Apa yang kamu pikirkan saat melihat wanita cantik itu, huh? Apa kamu ingin mencicipi istri sahabatmu sendiri?" Lidya mengakui kecantikan wanita yang datang ke rumahnya beberapa menit yang lalu. Kenyataannya, paras Monika memang lebih menawan dibandingkan wajahnya sendiri. "Bu-bukan begitu, Sayang." Pram berusaha meraih tangan Sang Istri, memohon maaf atas kekhilafannya barusan. "Apa?!" Lidya memelototkan kedua matanya, menatap Pram dengan pandangan mematikan. "Monika sedang menderita, bisa-bisanya kamu justru berpikiran kotor padanya? Sejak kapan Rio menularkan pemikiran mesum padamu?!" Lidya semakin naik pitam. Wajah bulatnya kini merah padam, menahan emosi yang siap ia muntahkan detik berikutnya. "Katakan siapa
"Sweety?" panggil Rio karena Monika tak kunjung menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya terlihat pucat seperti mayat hidup dengan pandangan mata sayu. "Ha-us." Monika menunjuk lehernya sendiri, membuat Rio terperanjat. Suaranya terdengar begitu lirih, hampir tidak terdengar sama sekali. Rio tergopoh-gopoh berlari keluar, mengambilkan segelas air putih untuk Monika. Dia seharusnya menyadari jika salah satu efek obat kimia yang dia berikan adalah membuat kerongkongan terasa kering. Bahkan untuk beberapa orang, mungkin saja akan mengganggu saluran pernapasan dan detak jantung mereka. "Lagi?" Rio menawarkan gelas kedua, tapi Monika menggeleng lemah. Masih dengan wajah tanpa ekspresi, wanita itu menatap suaminya lekat-lekat. Hening. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya, mereka sibuk dengan isi kepala masing-masing. Rio memberanikan diri, menghapus bulir keringat yang kembali muncul di kening Monika. "Rio," lirih Monika, meng
Tepat pukul tiga pagi, pintu kamar utama apartemen ini terbuka, menampilkan Lidya dalam balutan bathrobe yang dipakainya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" ketus wanita hamil sembilan bulan ini, melihat Rio yang menampilkan wajah penuh kekhawatiran. "Dimana Pram?" Bukannya menjawab, Rio justru melontarkan pertanyaan lain sembari mengekori langkah kaki Lidya yang kini berjalan menuju dapur. "Dia tidur. Kenapa? Ada masalah?" Sebenarnya Rio enggan mengatakan ini pada Lidya. Dia lebih leluasa jika berbicara dengan sahabatnya Prambudi Bagaskara. "Tolong Monika. Dia mengunci diri di dalam kamar mandi setelah mengusirku." Suara Rio terdengar parau, sungguh tidak bisa mengatasi situasi yang terjadi. Lidya melirik jam digital yang tertanam di dinding. Dia dan Pram terlalu asik dengan kegiatan panas mereka sendiri, sampai lupa pada keberadaan Rio dan istrinya. Otak Lidya berhitung cepat. Rio membawa Monika sekitar jam sembilan malam. Itu artinya wanita cantik itu sudah berendam hampir enam
Suara musik klasik tertangkap indera pendengaran Monika, membuat tidurnya sedikit terusik. Samar-samar aroma maskulin seorang pria tercium di hidungnya. Juga lengan yang terasa melingkar di atas perut, memeluk dengan erat seolah tak ingin terlepas. "Hmm?" gumam Monika lirih. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali sampai menyadari sosok yang tertangkap indera penglihatannya. 'Rio? Apa aku sedang bermimpi? Dimana ini?' batin Monika bertanya-tanya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar tempatnya berada, tapi tidak mengenalinya. Ini bukan kediaman Rio Dirgantara yang ia huni seminggu terakhir, juga bukan kamar kostnya yang sempit dan pengap. Monika memejamkan matanya, coba merangkai peristiwa sebelumnya. Tubuhnya terasa begitu lemah, bahkan untuk mengangkat tangan saja rasanya begitu berat. Telinga Monika berdenging, bersamaan dengan nyeri hebat yang ia rasakan di kepalanya. 'Ada apa ini?' batin Monika bertanya-tanya, merasa tidak n