Suara musik klasik tertangkap indera pendengaran Monika, membuat tidurnya sedikit terusik. Samar-samar aroma maskulin seorang pria tercium di hidungnya. Juga lengan yang terasa melingkar di atas perut, memeluk dengan erat seolah tak ingin terlepas.
"Hmm?" gumam Monika lirih. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali sampai menyadari sosok yang tertangkap indera penglihatannya.
'Rio? Apa aku sedang bermimpi? Dimana ini?' batin Monika bertanya-tanya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar tempatnya berada, tapi tidak mengenalinya. Ini bukan kediaman Rio Dirgantara yang ia huni seminggu terakhir, juga bukan kamar kostnya yang sempit dan pengap.
Monika memejamkan matanya, coba merangkai peristiwa sebelumnya. Tubuhnya terasa begitu lemah, bahkan untuk mengangkat tangan saja rasanya begitu berat.
Telinga Monika berdenging, bersamaan dengan nyeri hebat yang ia rasakan di kepalanya.
'Ada apa ini?' batin Monika bertanya-tanya, merasa tidak n
Jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi saat Rio masuk ke dalam kamar. Sepasang netranya langsung tertuju pada Monika yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Wajahnya masih terlihat pucat, dengan mata sayu yang lemah."Pa-pagi, Sweety," sapa Rio canggung. Pria 31 tahun itu mendekat sambil memegangi tengkuknya. Dia terlihat salah tingkah saat Monika menatapnya.'Ada apa sebenarnya? Kenapa dia salah tingkah di depanku?' Berbagai prasangka kembali bergelayut di dalam benak Monika. Kepingan ingatan yang berkilat cepat di otaknya kembali melintas samar-samar. Tapi, dia tidak yakin kalau itu mimpi atau benar terjadi.Hening. Tak ada suara lagi selain deru halus air conditioner di salah satu sisi ruangan ini.Rio duduk di tepi ranjang, menatap Monika dengan pandangan yang sulit untuk diartikan."Sudah merasa lebih baik?" Rio coba memecah suasana canggung ini, tapi tetap terasa aneh. Nada bicaranya yang meragu dan sedikit gemetar menunjuk
Rio kembali melangkah ke arah istrinya. "Maafkan aku," ucapnya lirih. Kata maaf itu kembali terdengar dari mulut Rio, membuat kening Monika berkerut. Dia tidak tahu kenapa Rio terus meminta maaf padanya. Kesalahan seperti apa yang membuat pria manipulatif ini merendahkan diri? "Aku siap menerima hukumanku. Kamu boleh melakukan apa saja padaku. Tapi sebelum itu, kamu harus sembuh lebih dulu." Rio kembali berjongkok di posisi sebelumnya, meminta pengampunan pada istrinya. Monika masih diam. Dia tidak tahu kenapa Rio berubah seperti ini sekarang, seolah hampir membunuhnya. "Berhenti minta maaf. Aku tidak ingin mendengarnya." Monika mengelurakan kata-kata sarkas dari mulutnya. Entah kenapa dia tiba-tiba marah. Ah, bukan marah, dia hanya kesal melihat pria ini yang terlihat begitu lemah. Rio duduk di tepi ranjang, membenahi helai rambut panjang istrinya, membawanya ke belakang telinga. Kalimat ketus yang Monika ucapkan menunjukkan bahwa wanita ini sudah merasa lebih baik dibandingkan
"Clara Arabella, 23 tahun." Suara manja Clara terdengar di telinga pria yang saat ini berdiri di hadapannya. "Saya Dev." Devan menyalami gadis di depannya. "Silakan duduk." Clara menawari Dev duduk di kursi kosong yang ada di depannya. "Thanks." Keduanya duduk di sebuah kafe, menghadap jalanan yang sedikit lengang. Lepas tengah hari, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Orang-orang sudah ada di dalam kantor masing-masing dan akan keluar dua hingga tiga jam kedepan. "Maaf ya, tadi pagi perut saya mulas, jadi tidak bisa turun ke bawah." Pria dengan kacamata bulat itu tersenyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada, menunjukkan penyesalan terdalam darinya di depan wanita yang baru ia temui siang ini. Sebenarnya, Dev tidak sakit perut sama sekali. Dia sengaja memancing Clara, melihat respon yang akan ia tunjukkan karena Devan mengingkari janjinya. "Sebagai permintaan maaf saya, Anda bisa pesan apa saja. Saya yang akan mem
"Bagaimana bisa kamu memberiku obat perangsang yang begitu kuat? Apa kamu ingin membunuhku? Jika iya, kenapa kamu menolongku dan membuat Lidya turun tangan? Bukankah akan lebih mudah jika kamu menggagahi tubuhku semaumu seperti sebelum-sebelumnya? Apa kamu belum puas jika aku belum pingsan seperti kemarin?" Hening. Berbagai pertanyaan itu tak mendapat jawaban sama sekali. "Sweety?" Suara Rio tertangkap indera pendengaran Monika, beberapa detik setelahnya. Dia semakin mengendurkan dekapannya, membuat tubuh mereka saling berhadapan satu sama lain. "Hey, are you Ok?" Rio menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Monika, menyita atensinya. "Do you hear me?" "Hah?" Monika menatap Rio dengan pandangan heran. 'Bukankah aku baru saja menamparnya?' Monika menatap telapak tangan kanannya di bawah sana sebelum kemudian memejamkan mata. Dia berusaha menguasai diri dan menyadari situasi yang terjadi. Dia tidak pernah menampar Rio. Itu hanya ada di dalam bay
Nyonya Liliana masuk ke dalam ruang rapat diikuti Leo di belakangnya. Tangannya gemetar, tapi coba bersikap setenang mungkin. Dia duduk di kursi yang biasa ditempati oleh Rio, membuat semua orang bertanya-tanya."Selamat sore, semuanya." Leo membuka pertemuan dengan menyapu pandang ke sepuluh orang yang duduk di kursinya masing-masing. "Pada kesempatan kali ini, nyonya Liliana Dirgantara yang akan memimpin rapat internal kita. Semua akan berjalan seperti biasanya, tidak ada yang berbeda sama sekali. Semoga kalian bisa menangkap apa yang saya sampaikan."Leo mengakhiri monolognya dan ditanggapi dengan anggukan. Meski merasa tidak yakin karena ketiadaan Rio di sana, tapi para staf khusus itu mencoba bersikap seprofesional mungkin. Mereka harus melakukan pekerjaan dengan objektif, bukan subjektif."Baik, mari kita mulai dengan presentasi dari departemen pemasaran." Leo mempersilakan pria dengan kacamata bulat di samping kanannya.Nyonya Liliana duduk diam di
Rio dan Monika sedang ada di balkon apartemen milik Pram dan Lidya. Keduanya bercengkerama bersama. Ah, lebih tepatnya Rio yang lebih banyak mendominasi percakapan mereka. Dia memaksa Monika untuk meletakkan kepala di atas pangkuannya. "Aku adalah budakmu. Aku akan melakukan apapun untuk membahagiakanmu. Percayalah dan pegang kata-kataku ini." Rio mengatakan itu dengan sungguh-sungguh, tak ada nada bercanda sama sekali. "Tidak perlu janji. Buktikan kata-katamu itu!" ketus Monika. Dia trauma dengan pengkhianatan Devan padanya, jadi tidak ingin mempercayai lagi janji-janji palsu seperti itu. "Aku tidak memiliki sepeser uang pun sekarang. Jika tidak bergantung pada istriku, lalu aku harus menempel pada siapa lagi? Makanya pagi ini aku mengatakan padamu, bahwa kamu bisa memberikan hukuman apapun padaku, tapi jangan pernah meninggalkanku." Rio membelai pipi Monika, membuat semburat merah samar-samar muncul di pipi mulusnya. "Jadi..." Monika meraih rahang k
Monika tengah membantu Lidya membenahi belanjaannya, memasukkan berbagai kudapan ke dalam toples. Wanita hamil itu sengaja berbelanja banyak makanan karena tahu Rio dan Monika akan tinggal di rumah ini untuk sementara waktu. "Masih ada begitu banyak makanan di sini. Kenapa membeli lagi?" Monika heran karena Lidya berbelanja banyak. Bahkan lemari pendingin dua pintu miliknya hampir tidak muat lagi. Makanan itu terpaksa berjejal agar bisa masuk. "Karena kalian akan tinggal di sini." Lidya menjawabnya dengan gamblang, membuat Monika merasa bersalah. "Ah, maaf. Tapi kami akan pergi secepatnya." Lidya tersenyum, membantu memakaikan apron pada wanita cantik di depannya. "Kenapa buru-buru? Aku akan senang jika kalian ada di sini. Rumah jadi lebih ramai. Biasanya aku hanya sendiri saja." Dari kejauhan, tampak Pram mendekat. "Rio miskin sekarang. Kalian tidak punya tempat tinggal. Jadi untuk sementara, tinggal saja di sini." Monika bungkam. Dia
Bulan sabit menggantung di langit saat sebuah mobil Porsche Panamera warna biru terhenti di perempatan lampu merah. Pengemudinya seorang pria, dengan kemeja merah marun di tubuhnya. "Sweety, aku begitu merindukanmu," gumam Rio lirih, hanya terdengar oleh telinganya sendiri. Dia baru saja pulang dari kantor setelah rapat bersama Leo dan staf khusus perusahaannya. Ah, lebih tepatnya, perusahaan yang dulu menjadi tanggung jawabnya. Sejak beberapa jam yang lalu, pria 31 tahun ini terbebas dari semua tanggung jawabnya sebagai seorang CEO perusahaan multinasional bernama Diragantara Artha Graha. Liliana, ibu tiri sekaligus atasannya, sudah memecatnya dari posisi itu. Dan Rio menyambutnya dengan suka cita. Tapi, saat Leo menghubungi dan mengatakan kejadian tidak mengenakkan di perusahaan, mau tidak mau Rio harus bertindak. Dia memimpin rapat internal bersama kesepuluh staf dari setiap departemen yang ada di perusahaan. Momen itu sengaja Rio manfaatkan untuk