"Rose! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ruko kita kebakaran?" Romeo syok melihat sisa-sisa api yang masih menyala di dalam bangunan tersebut.
Tubuh Romeo terhuyung, hampir saja dia jatuh ketika dengan cepat tangan Dulce menahannya. Dulce yang tak kalah terkejut segera membawa pria tua itu duduk di pinggiran trotoar. Wanita imigran itu duduk di samping Romeo dengan tubuh yang tak kalah gemetaran.
"Bagaimana mungkin?" desis Rose tak percaya.
Seluruh apa yang dia miliki, rumah tempat keluarganya berlindung dan mata pencahariannya ada di sana. Rose terpaku pucat membeku menatap bangunan yang telah menghitam dengan masih menggendong Kenzie.
Waktu menunjukan pukul sembilan malam ketika kebakaran itu terjadi. Mereka baru saja tiba dari makan malam di sebuah restaurant, saat mengetahui jika ruko sudah ludes. Rose hampir saja tidak bisa turun dari taksi ketika melihat mobil pemadam kebakaran menyemprotkan air ke bangunan rukonya.
Malam yang dingin tanpa tempat tinggal untuk berteduh dengan seorang anak kecil dan orang tua dalam tanggung jawabnya, membuat Rose sangat tertekan. Rose masih belum bisa menyatukan raganya dengan jiwa yang saat ini melayang entah kemana.
"Bagaimana mungkin …." bibirnya mendesah gemetaran dengan air mata yang menetes.
Kenzie meliukan tubuhnya gelisah dalam gendongan Rose membuat wanita itu kembali tersadar, jika dia harus dengan cepat melakukan tindakan. Bukan dia sendiri yang saat ini sedang terguncang, tapi ada tanggung jawab lainnya.
Rose membawa Kenzie pada Dulce. "To--long jaga Kenzie dan Daddy." Gadis itu mengalihkan gendongannya pada pelayan tersebut.
"Rose …," lirih suara Romeo terdengar di telinga Rose yang berusaha untuk tetap tegar.
"Tenang lah di sini, Dad. Rose akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi." Rose menggenggam kedua tangan ayahnya. Dia merasa sangat sedih ketika merasakan betapa dingin tangan Romeo.
Rose berlari kecil mendekati petugas pemadam kebakaran yang hampir berhasil mengalahkan jagoan merah.
"Jangan mendekat, Nona, ini berbahaya." Petugas itu menghalangi Rose yang dia pikir akan mendekati api.
"A--aku menempati bangunan itu. A--apa yang terjadi, Tuan?"
"Kau pemiliknya?"
"A--aku menyewa gedung itu, Tuan," sahut Rose dengan gemetaran.
Belum sempat petugas pemadam kebakaran itu menjawab pertanyaannya, terdengar teriakan marah dari arah lain tertuju pada Rose.
"Kenapa kau membakar gedungku! Aku minta ganti rugi!" Seorang wanita setengah baya menuding Rose penuh amarah.
"A--aku tidak membakar bangunan itu, Nyonya Benson." Rose menjawab lirih pada wanita yang masih melotot ke arahnya dengan wajah memerah penuh amarah.
"Aku tidak perduli! Kau harus mengganti ruginya. Ya, Tuhan, bagaimana bisa kau melakukan hal itu. Dari awal aku sudah curiga ketika kau menyewa gedung ini . Adikmu yang hamil di luar nikah, ayahmu yang stroke dan kau yang ditinggal kekasih. Oooo … harusnya aku tahu kalian sekeluarga pembawa sial!"
Nyonya Benson tak henti-hentinya berteriak, sementara Rose menangis. Gadis itu merasa terguncang dengan apa yang terjadi, belum lagi tuduhan dari Nyonya Benson.
"Cukup, Nyonya. Aku mohon jangan hina keluargaku." Rose merasa telinganya sangat panas dengan segala penghinaan wanita itu.
Belum habis rasa sedih ketika semua harta benda dan kenangan yang dia miliki di dalam ruko terbakar habis, beberapa penyewa bangunan disekitarnya berdatangan dan ikut bersikap kasar padanya.
"Kau hendak membunuh kami semua?" teriak seorang pria dengan keras.
"Untung saja ada pemadam kebakaran yang lewat, jika tidak ruko kami pun akan terbakar habis! Dasar wanita tak berguna!" teriak yang lainnya.
"Hey! Gara-gara dirimu pelangganku kabur, kau harus mengganti rugi." ujar mereka tanpa ada yang bersimpati dengan keadaanya.
Tubuh Rose menggigil menahan kesedihan dan amarah yang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana bisa semua tetangga yang selalu dia tolong berakhir dengan menyerang dirinya tanpa ampun. Tak seorang pun berbelas kasihan dan menawarkan tempat tinggal untuk keluarganya.
"Kalian menyingkirlah, kita belum bisa memastikan jika kebakaran itu adalah akibat kelalaian Nona muda ini." Seorang petugas pemadam kebakaran membawa Rose menjauhi kerumunan manusia yang berteriak marah.
"Kau baik-baik saja, Nona?" Petugas tersebut merasa kasihan melihat keadaan Rose.
Rose menggeleng dan menatap pria setengah baya itu dengan mata yang penuh air mata.
"Tuan, apakah kau memiliki selimut untuk daddy dan anakku?" Rose sadar jika malam yang semakin dingin akan tidak baik untuk kesehatan mereka.
"Tunggu di sini."
Tak lama kemudian dia memberikan dua buah selimut pada Rose. Gadis itu segera berlari melewati orang-orang yang masih saja mencemooh dirinya.
"Dulce, tolong selimuti Kenzie." Rose memberikan selimut kepada Dulce dan meletakan satu lagi menutupi tubuh Romeo.
“Rosee … apakah semuanya habis?” Wajah Romeo tampak sangat sedih. Pria itu kemudian terbatuk-batuk.
“Entahlah, Dad. Aku belum bisa memastikan, bersabarlah sejenak. Aku akan segera membawa kalian ke penginapan."
"Apakah kita memiliki uang Rose?" Ucapan lirih dari Romeo membuat Rose merasa sangat sedih.
"Aku akan kembali, Dad." Rose bergegas menuju ke petugas pemadam kebakaran untuk mengetahui apakah ada barangnya yang bisa diselamatkan.
"Tuan, bagaimana?"
"Jangan masuk dulu, Nona. Biarkan petugas kami melihat apakah masih ada sisa api di dalam rumah dan juga melakukan pengecekan untuk mengetahui penyebab kebakaran." Ketua pemadam kebakaran mencegah Rose untuk semakin mendekat.
Rose memeluk dirinya sendiri dengan mata berkabut menatap ke arah rukonya yang sudah menghitam. Wajah wanita itu pucat, hidungnya memerah dan matanya sudah bengkak. Sesungguhnya kedua kaki Rose sudah terasa lemas, tetapi dia menguatkan diri untuk tetap kuat menghadapi semua.
Rose membuka tas kecil yang menyelempang di bahunya. Dia melihat sisa uang kontan yang dimilikinya tak lebih dari dua ratus dolar. Dalam tas tersebut, Rose melirik ke arah atm yang dia sadari tidak berisi banyak uang di sana. Semua uang Cash yang dia milik tertinggal di dalam gedung. Rose hanya dapat berharap jika surat-surat berharga dan sisa uang kontan tidak akan ikut terbakar.
"Nona, kau bisa membawa keluargamu untuk mencari penginapan, pemeriksaan tidak akan selesai dalam satu jam."
Rose dengan lemah mengangguk, mengiyakan saran yang di berikan oleh petugas tersebut.
Gadis malang itu berjalan dengan langkah gontai dan kepala menunduk. Rose tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelahnya.
Bagaimana cara dia mengganti rugi ruko yang terbakar, pakaian dan seragam Kenzie yang pasti sudah habis terbakar, belum lagi isi minimarket yang belum semuanya terbayar lunas. Kepala Rose terasa berat mengingat semua itu.
"Hey! Apa yang kamu lakukan?" Rose berteriak dan segera berlari kencang ketika melihat sosok yang sangat dia benci mendekati Dulce dan hendak mengambil Kenzie.
"Rose." Suara dingin itu menyebut namanya.
"Jangan sentuh anakku!" teriak Rose penuh amarah.
Meskipun tubuhnya lemah dan perasaan hatinya dalam keadaan kalut, tapi Rose masih memiliki tenaga untuk mempertahankan warisan Ruby satu-satunya.
"Aku akan membawa dia, Rose. Lihatlah keadaan dirimu, kau tidak akan bisa merawat Kenzie lagi." Senyuman sinis terukir di sudut bibir Robert.
"Dia anakku! Dia anakku! Pergi kauuu!" teriak Rose dengan histeris.
Semua mata menoleh ke arah mereka akibat teriakan nyaring Rose, membuat Robert segera membenamkan topi yang dia kenakan. Pria itu menggeram kesal dan terpaksa pergi menjauhi Rose, ketika dilihatnya beberapa petugas pemadam kebakaran berjalan ke arah mereka. Robert tidak bisa membiarkan ada suatu skandal yang akan mencoreng nama baiknya.
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan