Share

TIDAK MEMILIKI HAK

ENAM BULAN SEBELUMNYA di RUMAH DUKA

Gigi Rose bergemeletuk melihat pria yang berdiri beberapa meter di hadapannya. Laki-laki berwajah tampan penuh kharismatik, dengan mata yang sebiru lautan dan dihiasi bulu mata yang tebal, saat ini berdiri angkuh menjulang tinggi menatap tajam ke arahnya.

  "Berani-beraninya dia menampakkan batang hidung di tempat ini." batin Rose penuh kebencian.

Kuku-kuku jari Rose yang pendek terbenam keras di tangannya, menggali semakin dalam menusuk ke dalam kulit. Wanita itu sedemikian rupa berusaha menahan emosi yang hendak meluap keluar, ketika pria tak diinginkan itu datang di pemakaman adiknya.

Hampir saja Rose berteriak mengusir pria yang sudah menyakiti Ruby hingga akhir hayatnya. Ingin sekali dia mengatakan pada semua orang agar mereka tahu seperti apakah pria tampan yang begitu dipuja bahkan sangat disegani.

Rahang Rose semakin mengeras ketika pria itu menghampiri dirinya. Secara spontan dia menarik bocah kecil berusia lima tahun untuk berdiri di belakangnya. Tak akan dibiarkan pria brengsek itu menyentuh bocah itu seujung jari pun.

"Rose, aku turut berduka." Suara dalam itu terdengar bersimpati, tetapi tidak bagi Rose.  

Raut wajah lelaki itu kelihatan mendung dengan kepala yang sedikit menunduk menunjukan dengan jelas rasa duka yang dalam akibat kepergian Ruby. Namun, hal itu tak juga menggerakkan hati Rose yang lembut untuk mempercayainya. Bagi Rose, pria itu adalah penipu paling ulung di dunia ini. 

"Buang topengmu dan pergilah dari tempat ini, Robert Miller," desis Rose penuh kebencian.

Robert Miller terpana dengan kata-kata tajam yang keluar dari sosok lembut dan rapuh di hadapannya. Dia tidak percaya jika kalimat kasar itu bisa meluncur keluar dari seorang wanita baik seperti Rose. Raut wajah wanita itu memerah dengan tatapan penuh kebencian.

"Kau marah, aku mengerti. Tapi jangan harap aku pergi tanpa anakku." Ucapan tegas dengan suara rendah Robert membuat Rose tercengang.

"Anakmu? Sejak kapan kau memiliki anak?" Rose dengan sinis menatap tajam ke arah Robert.

"Rose." Robert menggeram  tertahan. 

Robert menghela napas perlahan mengingat bukan waktu yang tepat bagi dirinya untuk bertindak keras saat ini. Rumah duka dipenuhi banyak tamu yang datang untuk bersimpati sebagai penghormatan terakhir. 

Dia tidak dapat memaksakan kemauannya begitu saja dan membuat onar, karena bagaimanapun juga citra dirinya sebagai dokter ternama yang selalu muncul dalam acara kesehatan di televisi dan juga simbol wajah dari rumah sakit, tidak boleh tercoreng. Robert memilih untuk diam dan mengalah saat ini.

"Kenzie, Daddy akan kembali lagi untukmu." Robert memiringkan tubuhnya menatap bocah kecil yang bersembunyi di balik punggung Rose.

"Tidak! Kau tidak akan pernah kembali lagi karena dirimu tidak memiliki hak sedikit pun akan Kenzie." Rose mendesis penuh emosi ke arah Robert.

Dokter tampan itu hanya memberikan tatapan dingin dengan ekspresi angkuhnya ke arah Rose. Ingin sekali dia menyeret wanita itu kemudian membungkam mulut tajamnya dengan kain kasa, membebat bagai seorang mummy agar bibir itu tak bisa lagi meremehkan dirinya.

Robert memilih untuk menjauh, dia duduk di tengah ruangan di mana matanya bisa leluasa menatap secara langsung ke arah Rose. Sikap provokasi yang ditunjukkan Rose membangkitkan gejolak dalam diri Robert untuk membuat wanita itu meregang nyawa dan berlutut memohon ampun padanya.

Pandangan Robert beralih ke arah bocah cilik yang berwajah sangat pucat. Bocah tampan dengan gen keluarga Miller yang tak pernah dia akui sebelumnya. Mata polos itu begitu sembab membuat hati keras Robert menjadi luluh.

  

    "Tidak aku sangka Ruby akan benar-benar melahirkan anak itu tanpa seijinku." ujar Robert dalam hati.

Masih jelas dalam ingatan Robert ketika dia mencurigai Rubby sengaja mengandung dan meminta pertanggung jawabannya. Ruby adalah salah satu kekasih yang menjadi favorit Robert ketika dia belum menekuni dunia spesialis kedokteran.

Kehamilan Ruby membuatnya marah, bagaimana mungkin seorang calon perawat tidak bisa menjaga diri untuk melakukan pencegahan kehamilan, sementara Robert begitu mempercayai wanita itu hingga tidak pernah menggunakan pelindung ketika mereka berhubungan.

"Ayah!" teriakan melengking dan tangisan pilu yang keluar dari bibir Kenzie menggugah lamunan Robert. 

Matanya tertuju pada sosok pria yang dipanggil ayah oleh Kenzie. Dia bisa melihat bagaimana anaknya menangis dan memeluk pria itu dengan sangat erat. Ada rasa tak nyaman dalam dadanya ketika melihat anak kandungnya lebih akrab dengan pria lain.

"Robert, kau … datang?" 

Robert mengalihkan pandangannya ke arah suara lembut yang menyapanya. 

"Jasmine," sapanya balik pada adik kandung yang baru saja datang.

"Aku senang kau mau datang, Robert." Perkataan tulus Jasmine membuat kekesalan hatinya akibat sikap Rose yang angkuh, sedikit mereda.

"Setidaknya aku harus datang, bukan?" Ucapan acuhnya berbanding terbalik dengan penyesalan dalam hati Robert. 

Tangan Robert masuk ke dalam saku jas biru dongker yang dia kenakan. Dalam saku itu, dia meremas sebuah surat yang baru saja didapatkan dari laboratorium. Sebuah bukti yang sudah sejak lama dia acuhkan jika Kenzie benar-benar anak kandungnya.

Bukti yang terlambat dia percayai, di saat Ruby sudah pergi sebelum bisa menyumpahi dirinya. Robert tersenyum getir dalam hatinya, membayangkan Ruby saat ini menatapnya marah bahkan mungkin mencaci maki dirinya.

Bukan perlindungan yang dia berikan di saat Ruby hamil melainkan penghinaan. Jika saja orang lain tahu, apakah mereka masih akan memberikan gelar dokter terhormat pada dirinya?

"Kau baik-baik saja melihat Conrad begitu akrab dengan anak Ruby?" Robert melirik ke arah Jasmine sepintas dengan senyum tipis di sudut bibirnya.

"Apa kau lupa jika anak Ruby adalah anakmu juga? Kenapa aku harus merasa tidak nyaman akan hal itu?" Jawaban bijaksana Jasmine membuat Robert merasa tersindir.

"Bukankah Ruby adalah mantan kekasih Conrad suamimu, bagaimana jika tiba-tiba keakrabannya dengan Kenzie membuat Conrad menjadi dekat dengan Rose?" Kali ini Robert menatap tajam adiknya.

"Kakak!" Jasmine menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Robert. "Aku tidak percaya kau adalah kakak kandungku," desis Jasmine geram.

"Well … tak dapat kau pungkiri jika aku adalah kakak kandungmu, bukan? Berkat diriku pula Conrad akhirnya berpisah dengan Ruby, sehingga kau bisa mendapatkan pria itu," seringai licik di wajah Robert membuat Jasmine menjadi sangat marah. 

"Dari awal aku tekanan pada dirimu jika aku ingin persaingan yang adil! Aku tidak pernah meminta bantuan apapun darimu!" Jasmine menekan suaranya serendah mungkin agar tak seorang pun bisa mendengar perdebatan di antara mereka.

Dia menatap ke arah kakak yang sangat disayanginya, saudara yang seringkali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nalar seorang wanita lembut seperti Jasmine.

"Katakan padaku, apakah kau benar-benar tidak pernah mencintai Rubby? Apa kau sengaja merusak sahabatku dan menghancurkan cita-citanya menjadi perawat?" 

Pertanyaan Jasmine seketika menjadi tamparan yang sangat kuat bagi Robert. Sederetan peristiwa masa lalu berkelebat dalam benaknya. Manisnya cinta dan pahitnya pengkhianatan berbaur menjadi satu.

"Cinta? Heh! Jangan pernah mengajari aku tentang cinta, karena ketulusan cinta itu hanya nol koma nol satu persen di dunia ini." sahut Robert dengan dingin. 

Novel ini adalah sequel dari Novel DIA ANAKKU

silahkan follow AUTHOR @taurusdi_author untuk karya lainn ya

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Siska Malesi
ini kisah nya kakaknya Frances ya..cerita kelanjutan hbs baca Enrico yg mn y aq bingung urutan nya
goodnovel comment avatar
Andayani
ohh Rubi mninggal
goodnovel comment avatar
Edmapa Michael Pan
ceritanya bagus lo ayooo baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status