"Tersenyumlah, Rose." Bisikan pria di sampingnya membuat Rose seketika merasa mual.
Rose melirik penuh kebencian dari balik kerudung pengantin, ke arah pria gagah yang menjulang tinggi dengan setelan jas berwarna putih. Wajah tampan Robert yang memiliki rahang kokoh dan mata sebiru lautan, tak membuat wanita itu tertarik.
"Robert Miller!"
Raut wajah gadis itu sangat tegang dengan kedua tangannya yang dihiasi sarung putih berenda, saling meremas kuat. Ingin sekali dia berlari dari atas pelaminan ini, meninggalkan dokter bejat tersebut dan membuatnya malu di depan puluhan kamera wartawan yang menyorot. Pasti rasanya akan menyenangkan jika bisa menjatuhkan nama baik seorang Robert Miller.
Namun, kaki Rose tetap terpaku berdiri tegak di samping dokter ternama, yang sebentar lagi akan menjadi suami sahnya. Hal yang tak pernah sedikitpun terlintas dalam angannya, terikat seumur hidup dengan lelaki yang sudah menelantarkan adiknya.
"Jangan berani berbuat macam-macam, Rose!" Bisikan penuh ancaman itu kembali terdengar.
Rose menjadi lemas, masih jelas apa akibat yang akan ditanggungnya jika lari dari pernikahan ini. Kehilangan Kenzie, anak yang dilahirkan adiknya dan ayahnya yang akan di deportasi. Tubuh wanita itu menggigil tak sanggup membayangkan jika hal tersebut terjadi.
Jika saja dia tidak membalas dendam dengan memisahkan Robert dan Rosa, calon pengantin asli. Maka, tak mungkin saat ini Rose harus menanggung akibat dengan menjadi pengantin pengganti. Nasi sudah menjadi bubur, wanita itu tak bisa membayangkan bagaimana hidup dengan menyandang nama keluarga pria yang dibencinya.
"Sekarang aku umumkan kalian adalah suami dan istri yang sah. Robert Miller kau boleh mencium istrimu Rose Gonzalez Miller."
Tubuh Rose gemetaran mendengar kalimat yang diucapkan oleh Pastor tersebut. Rahang di wajah Rose mengeras ketika Robert membuka kerudungnya dan tersenyum lembut bagaikan malaikat.
Rose merasakan sakit di bibirnya akibat gigitan Robert. Bukan ciuman mesra yang dia dapatkan melainkan perih di bibirnya yang terluka. Gadis itu menatap Robert tajam dengan mata berkabut, seakan hendak menerkam habis pria tersebut.
"Tersenyumlah Rose, kau sekarang seorang Miller."
Rose mengerjapkan matanya dan tanpa sadar butiran kristal yang mengenang sejak tadi, menetes di pipi mulusnya. Gadis itu tak kuasa menahan emosi dan kebencian yang sudah pecah dalam dirinya.
"Wah, lihatlah! Pengganti wanita terharu." Ucapan penuh rasa haru dan kagum dari para undangan, membuat Rose semakin terisak karena kesal.
'Aku tidak terharu! Tapi aku benci dengan semua ini. Tidakkah kalian tahu ini adalah tangisan amarahku!' teriak Rose dalam batinnya.
"Rose …." Robert menyentuh wajah oval Rose dengan lembut, dia mengusap perlahan tetesan air mata yang membasahi wajah cantik itu.
Tatapan dingin wanita dengan manik mata berwarna coklat itu seakan hendak menusuk dirinya, tetapi Robert membalasnya dengan sorot mata penuh cinta. Bukan hal yang susah bagi Robert untuk sekedar berakting romans, karena sejatinya itu adalah bakat alami yang dimiliki dokter selebriti itu.
Robert menundukkan wajahnya dan tanpa peringatan melumat bibir Rose penuh kelembutan. Pria itu sengaja memberikan tontonan mengesankan yang akan membuat setiap tamu terpukau. Bisa dia rasakan tangan Rose mencengkram bahunya dengan keras, tetapi Robert tidak bergeming untuk tetap melumat bibir manis Rose lebih lama.
"Tidak kusangka bibirmu ternyata sangat nikmat," bisik Robert saat melepaskan pagutan diantara mereka.
"Kau serigala berbulu domba!" desis Rose penuh kebencian.
Novel ini adalah sequel dari Novel DIA ANAKKU
silahkan follow AUTHOR ya di @taurusdi_author untuk karya lainnya
ENAM BULAN SEBELUMNYA di RUMAH DUKA Gigi Rose bergemeletuk melihat pria yang berdiri beberapa meter di hadapannya. Laki-laki berwajah tampan penuh kharismatik, dengan mata yang sebiru lautan dan dihiasi bulu mata yang tebal, saat ini berdiri angkuh menjulang tinggi menatap tajam ke arahnya. "Berani-beraninya dia menampakkan batang hidung di tempat ini." batin Rose penuh kebencian. Kuku-kuku jari Rose yang pendek terbenam keras di tangannya, menggali semakin dalam menusuk ke dalam kulit. Wanita itu sedemikian rupa berusaha menahan emosi yang hendak meluap keluar, ketika pria tak diinginkan itu datang di pemakaman adiknya. Hampir saja Rose berteriak mengusir pria yang sudah menyakiti Ruby hingga akhir hayatnya. Ingin sekali dia mengatakan pada semua orang agar mereka tahu seperti apakah pria tampan yang be
Aura dingin memancar dari tubuh Robert yang berdiri tegak di depan gundukan tanah. Sorot mata pria itu menatap lurus ke depan di mana foto cantik Ruby dihiasi dengan kalung bunga. Senyuman cantik yang tak akan pernah bisa dia lihat kembali. Penyesalan atau bukan semua sudah terlambat, karena berbagai pertanyaan yang masih mengakar dalam dirinya tak akan bisa mendapatkan jawaban. Misteri itu sudah terkubur bersama kepergian Ruby. Gundukan tanah merah masih basah dan dipenuhi oleh bunga mawar yang ditaburkan bagai permandani. Satu persatu helaian bunga itu terbawa terbang oleh angin yang berhembus sepoi-sepoi, mengantarkan sehelai kelopak bunga menampar lembut wajah Robert yang masih termangu. "Maafkan aku, Ruby. Meskipun ini sudah terlambat, tetapi aku akan membawa Kenzie dan merawat dirinya." Robert m
Ting tong! "Selamat datang!" Suara bel tanda pelanggan masuk, membuat Rose mendongakkan wajahnya. Gadis yang baru saja mencatat hasil penjualan hari ini, terpaku melihat sosok yang tak diharapkan tiba-tiba sudah berdiri tegak di hadapannya. Jika saja dia tahu pria itu yang akan muncul, Rose tidak akan mengucapkan salam dan yang lebih penting dia akan menutup minimarket lebih awal. "Mau apa kau di sini?" tanya Rose dengan nada dingin. Dia menutup buku yang berisi catatan keuangan dan menyimpannya di dalam laci. Rose menatap tajam ke arah pria itu yang datang dengan menggunakan setelan baju berwarna hitam dan menyembunyikan wajah tampan yang terkenal di balik topi. "Aku ingin menemui anakku." Pria itu menengadahkan wajahnya menatap tajam ke arah Rose. "Anakmu? Heh! Mana aku tahu siapa anakmu." Rose menatap sinis ke arah pria tampan yang berusaha menyembunyikan wajahnya di balik topi hitam. "Jangan mai
Empat puluh hari sudah Ruby pergi dari dunia fana ini. Selama itu pula Robert tidak pernah mengganggu Rose dan keluarganya. Pria itu tidak menunjukan batang hidung bahkan bayangannya pun tak pernah muncul. Rose merasa tenang karena itu artinya Robert Miller benar-benar sudah melupakan Kenzie. Gadis cantik itu tersenyum sinis setiap kali mengingat bagaimana sikap Robert yang seakan-akan menginginkan Kenzie. Namun, pada akhirnya semua hanya topeng untuk mencari simpati. Rose semakin yakin jika pria itu tak akan pernah menunjukan batang hidungnya. Pria dengan kesuksesan di mana dirinya menjadi panutan di setiap acara televisi dan talk show, tidak mungkin membiarkan kariernya hancur hanya karena anak di masa lalu. Anak yang tak pernah dia inginkan. "Anda resah bertanyalah pada ….." Host di sebuah stasiun tel
"Rose! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ruko kita kebakaran?" Romeo syok melihat sisa-sisa api yang masih menyala di dalam bangunan tersebut. Tubuh Romeo terhuyung, hampir saja dia jatuh ketika dengan cepat tangan Dulce menahannya. Dulce yang tak kalah terkejut segera membawa pria tua itu duduk di pinggiran trotoar. Wanita imigran itu duduk di samping Romeo dengan tubuh yang tak kalah gemetaran. "Bagaimana mungkin?" desis Rose tak percaya. Seluruh apa yang dia miliki, rumah tempat keluarganya berlindung dan mata pencahariannya ada di sana. Rose terpaku pucat membeku menatap bangunan yang telah menghitam dengan masih menggendong Kenzie. Waktu menunjukan pukul sembilan malam ketika kebakaran itu terjadi. Mereka baru saja tiba dari makan malam di sebua
Rose memeluk Kenzie dengan erat. Tubuhnya gemetaran mengingat jika baru saja dia akan kehilangan bocah kecil itu. Pertengkaran Rose dengan Robert membuat Kenzie terbangun. Bocah itu menangis dengan keras. "Cup … cup, Sayang. Semua baik-baik saja." Rose menepuk punggung Kenzie dengan lembut dan sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bocah tersebut menjadi lebih tenang. "Rose … kenapa kau marah pada pria tadi. Dia hanya hendak membantu kita." Romeo tidak dapat mengenali Robert Miller karena topi yang dikenakannya. "Jangan percaya pada siapapun itu, Dad. Kau hanya boleh mempercayai aku. Ingat itu, Dad." ujar Rose dengan tegas. Wanita itu sangat cemas jika kejadian yang sama akan terulang lagi. Dia menebarkan pandangannya ke sekeliling jalanan terutama ke arah d
Rose jatuh dalam pelukan petugas pemadam kebakaran, saat pria itu menarik tubuh Rose ketika dia hendak mengangkat sisa pintu kayu dari lemari di kamarnya. Api menyembur keluar dari balik pintu kayu yang tebal itu. Ternyata ada lubang besar di bawah kayu di mana masih ada sisa pembakaran dari lantai satu. Api itu hampir saja mengenai tubuh Rose, jika saja petugas tersebut tidak segera menarik tubuhnya. Rose bisa merasakan hawa panasnya meskipun mereka sudah berada di jarak aman. Wajah Rose seketika pucat pasi merasakan bahaya yang hampir saja menimpanya. Dalam hatinya dia mengucap syukur karena masih bisa selamat, mengingat masih banyak orang yang bergantung padanya. 'Aku harus hidup dan kuat untuk keluargaku.' "Kita harus segera turun, Nona. Saya khawatir ada anak api lain yang masih terjebak." Petugas tersebut menarik tangan Rose untuk segera turun. "Tapi, Tuan. Dokumenku-- akte lahir anakku …." Rose kebingu
Rose masuk dengan mengendap-endap ke dalam kamar. Dia melihat ayahnya tidur dengan nyenyak hanya berselimutkan kain tipis yang lembab, sementara Dulce memeluk Kenzie di ranjang yang sempit. Rose mengusap sisa-sisa air mata yang masih saja mengenang di wajahnya, dia memutuskan untuk menenangkan diri di kamar mandi.Tidak ada air hangat di dalam kamar mandi kecil itu dan bau dari toilet yang sedikit tersumbat menyengat penciuman Rose. Sudut-sudut lantai kamar mandi tampak menguning dan selokan pembuangan airnya pun berkarat dan penuh dengan rambut rontok. Tampak rembesan air di atap dan dinding ruangan sempit tersebut."Aku harus memindahkan mereka semua dari penginapan ini," gumam Rose.Rose mengikat rambut hitam sebahunya ke atas dan menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Kesedihan amat sangat jelas terlih