Share

3. Pertemuan Pertama

Penulis: Rahmi Aziza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-15 15:15:46

“Ini guru les barunya, Mas Arka!”

Aku menatap seorang perempuan yang dibawa Budhe ke hadapanku. Guru kali ini berbeda dari guru-guru sebelumnya. Aku tebak, usianya baru 20-an awal, masih muda jika dibandingkan dengan guru les sebelumnya.

Matanya seperti biji almond yang berbentuk bulat tapi mengerucut di bagian ujung. Bibirnya mungil dengan warna merah delima. Lalu hidungnya .... Ops! Fokus Arka, fokus! Kenapa aku jadi memperhatikan wajahnya sampai sebegitunya, sih? Ingat, dia hanya akan menjadi penghalangmu menikmati masa muda, kau harus buat dia tak betah di sini!

“Oh, selamat sore, Bu Guru.” Aku tersenyum, berusaha bersikap sesopan mungkin. Ini masih permulaan Arka, jadilah anak baik di matanya. 

“Sore.” Ia membalas sapaanku dengan suara datar. Kurasa dia tipikal guru yang tidak disukai murid-muridnya, yang jika tidak masuk kelas karena sakit, spontan para murid akan mengucapkan hamdalah bersama-sama.

“Namanya Mbak Yura, Mas. Panggil Mbak saja, masih muda gini.” Budhe tertawa. “Mbak Yura ini masih kuliah, sedang mengerjakan skripsi.”

Hmm … mahasiswa toh ternyata. Pasti ia golongan mahasiswa miskin, uang kiriman orang tua pas-pasan, suka nebeng makan di kondangan, kalau pengen sok bule, sarapan roti yang dibakar pakai setrika. Pantas saja harus kerja sambilan jadi guru les.

“Ya sudah, Budhe tinggal, ya. Silakan, Mbak Yura.” Baru saja Budhe jalan selangkah tiba-tiba ia menoleh lagi. “Mas Arka, jangan bertingkah yang aneh-aneh lagi, ya!” katanya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahku.

“Heem. Iya Budhe, iya .…” Aku menjawab sambil menyembunyikan jari yang bersilang di balik punggung. Tanda kalau aku berbohong.

***

Momen usil pun dimulai. Meski ponselku baru saja disita oleh bu-guru-cantik-tapi-jutek-banget itu, toh aku masih punya beberapa rencana jitu lainnya.

Bu Yura pun nampak siap memulai debut sebagai guru lesku. Debut? Hah, sudah kayak idol K-pop aja! Meski kalau dilihat-lihat, ia tak kalah cantik dengan Jenny Black Pink, sih.

Woi! Sadar Arka, sadar! Aku menampar pelan pipiku sendiri.

“Baik Arka, saya akan memberi kamu soal.” Bu Yura lekas mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. “Saya perlu tahu sampai di mana kompetensi kamu.”

“Izin ke belakang sebentar, Bu.” Aku mengangkat tanganku.

“Silakan,” jawabnya lalu membalikkan badan ke arah papan, menulis sesuatu.

Di dapur, kulihat Budhe sedang mengaduk-aduk teh. Ah, itu pasti buat bu guruku. “Biar Arka yang bawakan, Budhe.”

Budhe menatapku curiga. “Mas, jangan dikasih yang aneh-aneh, lho!”

“Ih, Budhe suuzon aja, nih,” kataku lalu menyambar nampan dengan dua cangkir teh di atasnya.

Sebelum memasuki ruang tamu, buru-buru aku meraih sesuatu dari saku. Kumasukkan serbuk ke dalam salah satu cangkir teh. Akan kubuat guru baru itu kapok datang ke rumah ini lagi. Aku terkekeh sendiri.

“Bu Guru, diminum dulu, Ibu pasti haus, tadi ke sini naik angkot, kan?” tanyaku sok perhatian.

“Saya puasa,” jawabnya sambil tersenyum.

Argh! Rencana pertama gagal. Sejahiliyah-jahiliyahnya aku, tak mungkin juga maksa orang membatalkan puasanya, aku masih takut masuk neraka jahannam.

Oke rencana kedua harus dijalankan kalau begitu. Wajahku mendekati kepala Bu Yura lalu berbisik, "Bu, ngerasa ada hawa-hawa aneh nggak, sih?" Aku berakting dengan mengusap tengkukku.

"Nggak ada, biasa aja!" jawab bu guruku ketus.

"Oh, mungkin Ibu nggak lihat. Sebenarnya, di sebelah Ibu ada tuyul yang sedang ngelihatin Ibu."

"Terus?" Ia menoleh. Menghentikan aktivitasnya menulis di papan.

"Dia katanya mau ikut Ibu. Lebih baik sekarang Ibu cepat pulang, sebelum dia panggil temen-temennya. Biar saya yang menahan dia di sini."

"Mau ikut? Silakan." Bu Yura malah tertawa, seperti tak ada takut-takutnya sama sekali. "Di kos saya uangnya sedikit, kok! Pasti tuyulnya nyesel."

"Ayo, kerjakan soalnya!" Ia menyodorkan sebendel kertas.

Sial! Aku terus memutar otak. Bukan untuk menjawab soal yang ia beri tentu saja, tapi memikirkan bagaimana cara mengerjainya agar tak betah menjadi guru lesku, sama seperti guru-guruku yang sebelumnya.

Ah, kulihat ia masih asik menulis di papan. Mengendap-endap aku berusaha kabur. Nanti saat menoleh, pasti dia bingung mengapa muridnya menghilang.

Sampai diujung pintu, aku sudah bersorak dalam hati. Aku berjalan mundur sambil melambaikan tangan padanya yang masih menghadap ke papan tulis berwarna putih.

"Bye-bye Bu Guru, tembok tuh, diajarin, biar pinter!" Aku bicara berbisik lalu terkekeh pelan. Namun tiba-tiba saat selangkah lagi kakiku mundur, aku terjatuh tersandung sesuatu.

Ember? Siapa yang iseng menaruh ember berisi air di depan pintu? Dan a-apa ini yang melompat-lompat di sampingku? Asatagaaa ... LELE?

"Toloooong, huaaaa." Aku menjerit seraya berlari menjauh. Kembali masuk ke ruang tempatku belajar tadi sambil berteriak-teriak memanggil Budhe dan Mas Deny. Sementara itu kulihat Bu Yura menoleh, tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala, membuatku curiga, apa ia yang sengaja mengerjaiku? Kurang ajar!

Gara-gara berteriak heboh, tenggorokanku jadi sakit, cepat kusambar segelas teh yang ada dibatas meja, dan meneguknya sampai tandas. Tapi, mengapa rasanya aneh?

Astagaa, ini kan, teh milik Bu Yura yang tadi sudah kuberi serbuk obat pencahar! Tiba-tiba aku merasakan perutku seperti diremas-remas. Secepat kilat aku berlari ke kamar mandi terdekat, namun saat mendorong pintunya, rupanya terkunci. "Woooy, siapa di dalam sih, cepetan keluaaar," pekikku bersamaan dengan bunyi "brot" dan bau tak enak terendus di indra penciumanku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
bahahaha bener2 kuwalat.. semoga masih ada lagi buat ngebales kelakuan Arka yg kemaren2..
goodnovel comment avatar
Devi Susanti
makanya jangan usil ,senjata makan tuankan jadinya
goodnovel comment avatar
Isabella
wkwkwkwkwk senjata makan tuan rasain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   45. Wisuda (TAMAT)

    POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   44. Setelah Ibu Pergi

    Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   43. Mencari Yura

    Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   42. Hanya Teman

    Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   41. Dilema

    Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   40. Pura-pura Mesra

    Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   39. Pegawai Baru

    Tanggal merah, aku masuk kafe shift sore. Satu jam sebelum kafé buka, aku sudah datang. Bersih-bersih, merapikan meja kursi, dan aktivitas pre opening lainnya. Pertama kalinya aku kerja tanpa Bimo. Masa kerjanya dua minggu sudah usai. Sebenarnya ia masih ingin memperpanjang lagi, terlanjur nyaman kerja di sini, katanya. Akan tetapi ibunya melarang. Sebagai anak baik, Bimo tentu saja menurut. “Arka!” Suara seorang perempuan memanggilku ketika aku sedang mengepal lantai. Terdengar familiar, tapi aku lupa suara itu milik siapa. Aku mendongak. "Lo kerja di sini?” Ia menunjukkan wajah takjub. Siapapun yang mengenalku, responnya pasti seperti ini, Arka anak pengusaha kaya raya kerja menjadi pelayan kafe, apa yang terjadi? “Mauren?” Aku menatap gadis berambut ikal sebahu itu tak percaya. Sudah sekitar setengah tahun tak ada kabar tiba-tiba kami bertemu di kafe. “Kemana saja selama ini, Ren?” Sebenarnya aku agak pangling. Dengan pulasan make up ia terlihat lebih dewasa dari usianya. “Wah,

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   38. Pertemuan Tak Terduga

    “Silakan buku menunya Ka ….” Aku terkejut begitu wanita yang kusodorkan buku menu itu menoleh. “Arka?” panggil wanita itu. “Ma-ma ….” jawabku terbata, sama sekali tak menyangka akan bertemu Mama di sini. Sudah setahun lebih aku tak bertemu dengannya. Semenjak ia dan keluarga barunya tinggal di Singapura. “Ini kafé milik papamu?” Mama mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Aku menggeleng. “Lalu?” “Arka bekerja paruh waktu di sini, Ma.” “Ada apa? Papamu bangkrut lagi?” Wanita itu berdecak nampak prihatin. Aku tersenyum sinis mendengar dugaannya. “Bahkan usaha Papa berkembang sangat pesat, Ma. Mama selalu begitu, suka merendahkan Papa!” sahutku dengan nada kesal. “Terus, apa maksudnya ini?” Mama memandangku dari atas sampai bawah. “Arka mau belajar mandiri, Ma. Arka sudah menikah jadi harus ….” “Nah! Apa Mama bilang!” Mama menyambar omonganku. “Kamu masih muda Arka, kenapa buru-buru menikah? Seandainya waktu itu Mama tidak sedang sibuk dengan usaha baru Papa Indra, Mama suda

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   37. Pacar Pertama

    POV Yura “Kita mau ke mana?” tanyaku ketika kami sampai di lift. Arka menekan tombol menuju basement. Hening sesaat, lalu tiba-tiba, ia menggenggam tanganku, menautkan jari jemarinya, membuatku sedikit tersentak. Kaget. “Pegang tangan boleh kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia suamiku, bahkan dia menyentuhku lebih dari ini pun seharusnya boleh. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Hah mau apa dia? Spontan aku mundur. “Oh, maaf.” Ia urung mendekat, nampaknya paham dengan penolakanku. “Kupikir kalau sudah pacaran, kita bisa ….” Ia tak melanjutkan kata-katanya tapi aku mengerti apa yang ia maksud. Aku berdehem untuk melepas kegugupan. “Oh, jadi selama ini kalau pacaran kamu begitu ya?” sindirku. “Belum pernah pacaran, kok. Kamu pacar pertamaku.” Aku tertawa sinis. “Bohong. Lalu, Aina?” “Belum sampai pacaran, baru gebetan. Udah mantan sekarang.” “Oh, pantes!” sahutku ketus. Teringat bagaimana Aina peluk-peluk Arka waktu di parkiran. “Cemburu?” Ia melirikku sambil tersen

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status