"A-Arka, menikah, Pa?" Sampai terbata-bata aku bertanya saking kagetnya.
Mengurus diri sendiri saja aku belum bisa, sekarang mau ditambahi beban ngurusin anak orang. Lihat saja kamarku! Celana dalam kotor di mana-mana, handuk basah seringnya masih di atas kasur. Kalau menikah, arrgh ... tak bisa kubayangkan tiap hari harus rela mendengar omelan istri karena hal sepele begini.
“Iya, kamu menikah!" Papa menjawab santai. "Papa sudah putus asa menghadapi kamu, Arka. Saatnya Papa menggunakan cara lain agar kamu jadi pria yang lebih bertanggung jawab. Kamu akan belajar banyak hal dengan menikah, yakinlah!”
“Tapi Pa, Arka masih SMA, belum cukup umur! Pasti akan ditolak sama petugas KUA, deh!"
Kupikir, Papa akan sadar dengan kekeliruannya yang buru-buru hendak menikahkanku, tapi ia malah tertawa. “Kamu sudah dua puluh tahun Arka. Lupa ya, kalau kamu sudah dua kali tinggal kelas?”
Sial! Benar juga! Aku menarik napas, lalu membuangnya kasar, sambil berpikir alasan apalagi yang harus kugunakan untuk menolak ide gila Papa ini.
“Ehem, Pa, pernikahan itu kan, sesuatu yang harus dipikirkan masak-masak.” Suaraku melembut, sok bijak, mencoba mengambil simpati Papa. “Arka nggak mau gagal berumah tangga seperti Papa dan Mama.”
“Insya Allah tidak, Arka." Papa menepuk-nepuk pundakku. "Papa sudah kirim orang untuk menyelidiki calon istrimu. Dia perempuan salihah, baik, pintar, sayang keluarga. Dan yang paling penting, satu-satunya yang bisa menaklukkan kamu hanya dia, Azyura.”
Mataku melotot mendengar nama perempuan yang Papa sebut. Rasanya sangat familiar di telingaku. “Tunggu, tunggu. Apa Papa bilang tadi? Azyura?” Itu seperti ... nama guru les Arka.”
“Tepat sekali!" Papa menjentiikan jari. "Memang Azyura guru les kamu. Hanya dia yang bisa menaklukkan kamu, kan?” Papa tertawa.
“Astaga Papa ... kaya nggak ada perempuan lain aja!” Kuusap kasar wajarku.
“Perempuan lain banyak Arka, tapi hanya Azyura yang bisa menghadapi kebadungan kamu!” Papa kembali terkekeh.
“Me-memangnya dia mau, Pa? Nikah sama anak SMA? Gimana Arka menafkahi istri Arka nanti, Pa?” Kalau aku tidak bisa menolak, harapan terakhirku adalah Azyura yang menolakku.
"Papa sudah bicara pada Azyura dan dia mau."
What? Kesambet apa sih ibu guruku itu?
"Kamu tenang saja, nafkah materi biar Papa yang tanggung. Tugas kamu hanya belajar dan lulus dengan nilai baik! Persiapkan dirimu menjadi next CEO di kantor Papa."
*****
Tak ada yang kuberitahu perihal rencana pernikahanku kecuali Bimo, teman sebangkuku.
“Gue mau nikah!” kataku tadi saat kelas sepi di jam istirahat.
Hanya aku dan Bimo berdua di dalam kelas. Siswa lain ada yang ke kantin, main ke kelas sebelah, ada juga yang biasa nongkrong di perpustakaan.
Mungkin kaget mendengar pernyataanku, spontan roti yang ada di tangan Bimo terjatuh. “Elu mau nikah?” pekiknya, mata Bimo yang aslinya sipit, membulat menatapku.
Baru memberi tahu Bimo seorang saja sudah heboh, bagaimana kalau teman satu sekolahan sampai tahu?
“Sssttt!” Aku menoleh kanan-kiri takut ada yang mendengar.
“Sudah ngebet pengen begituan lo, ya?” tanyanya sambil memungut roti yang terjatuh di lantai lalu melahapnya begitu saja.
“Sialan!” Kulempar buku yang ada di atas meja ke muka Bimo.
"Gue emang badung, tapi nggak mesum! Sorry, ya!"
Suerr! sebadung-badungnya aku, nggak berani macem-macem sama cewek. Yah kalau cuma sebatas ngusilin, nge-prank, nakut-nakutin sih pernah, tapi nggak berani aku menyentuh mereka. Bahkan “nembak” cewek sekalipun aku belum pernah, meski ada sih beberapa murid perempuan yang kutaksir di sekolahan.
Berkaca pada kegagalan rumah tangga orang tuaku, menyebabkan aku tak mau dengan mudah berhubungan dengan perempuan. Cukup aku yang merasakan pahitnya perpisahan orang tua, anakku nanti jangan. Ish, sudah macam orang tuir saja pemikiranku ya.
“Sama siapa? Nita? Aina? Yuana?” Bimo menyebutkan deretan cewek yang pernah kutaksir ataupun yang naksir aku.
Aku menggeleng, lalu setengah berbisik aku menjawab, “Gue, bakal menikah, dengan Bu Yura. Azyura!”
Jawabanku bikin Bimo yang lagi makan roti tersedak, cepat-cepat ia meneguk air putih dari tumbler.
“Bu Yura guru les lo itu? Bukannya lo bilang benci setengah mati sama dia, ya?”
Aku menghela napas lalu mengangguk. Bu Yura memang guru les yang selalu membuatku kesal setengah mati. Bagiku, dia bukan hanya sekedar guru, tapi lebih seperti intel yang memata-mataiku. Kenapa nggak nyamar aja jadi kang bakso atau kang bubur aja, sih!
Selepas kejadian ia mengerjaiku dengan ikan lele tempo hari itu, entah bagaimana caranya, aku selalu saja tertangkap basah saat hendak kabur di saat jam lesnya tiba.
Suatu hari aku mengendap-ngendap pergi dari pintu belakang. Begitu di depan mobil, aku mencari-cari kunci mobil yang rasanya sudah kusimpan dengan aman di dalam tas.
Eh, sekonyong-konyong ia muncul di hadapanku. “Cari ini Arka?” tanyanya sambil menggoyangkan kunci di depan mataku. Dari mana Bu Yura mendapatkannya?
Pernah juga, aku sudah senang-senang karena berhasil kabur dari rumah dengan mobilku, tiba-tiba dari jok belakang muncul sosok Bu Yura. “Kamu mau kita belajar di mana, Arka?”
Apa nggak horor tuh? Akhirnya kukibarkan bendera putih. Sudah deh, daripada aku spot jantung lebih baik terima saja nasib, harus ketemu dengan dia seminggu tiga kali untuk mendapat pelajaran tambahan.
***
Usai pelajaran hari ini, aku tak langsung ke rumah, mampir sebentar ke sebuah kafe mahal untuk bertemu Yura. Sengaja kupilih kafe mahal, karena kecil kemungkinan teman-temanku nongkrong di kafe ini, jadi pertemuanku dengan Yura pasti aman.
“Sudah menunggu lama?” Yura muncul membuyarkan lamunanku. “Maaf, ya, saya harus ke kampus dulu bimbingan skripsi, lalu mengisi les di bimbel.” Ia menyeka keringat di dahi lalu menghempaskan tubuhnya di kursi kafe. Sepertinya lelah sekali.
“Bu Yura mau kopi, atau teh?” tanyaku, sedikit mengulur waktu agar bisa memikirkan cara yang tepat untuk menanyakan perihal rencana pernikahan kami.
“Ah tidak, setengah jam lagi, saya harus mengisi les di dekat sini." Dengan gusar ia menengok jam tangannya.
“Apa yang mau kamu bicarakan, Arka? Cepatlah, saya tak mau membuang waktu.”
Ya Tuhan, terbuat dari apa hati wanita ini? Kami seperti dua orang asing tapi akan menikah, akan tinggal satu rumah, eh tidak hanya itu, mungkin juga akan berbagi kamar dan ranjang! Tapi mengapa sikapnya seolah biasa saja? Datar! Jangan-jangan .... Mataku bergegas melirik ke bawah, ke arah sepatunya, menapak di lantai kafe, kok, berarti bukan manusia jadi-jadian, kan?
“Mengapa Bu Yura mau menikah dengan saya?” tanyaku to the point sesuai permintaannya."Jangan bilang diam-diam Ibu menyukai saya!"
Ibu guruku itu tertawa. "Arka ... Arka jangan terlalu pede kamu. Bagi saya, uang lebih menarik daripada kamu."
Oh, sudah kuduga Papa pasti memberinya imbalan yang tak sedikit agar ia mau menikah denganku.
"Ibu tahu, apa yang paling kubenci di dunia ini?" Aku menatap Bu Yura dalam-dalam. "Cewek Matre!" kataku lagi tanpa menunggu jawabannya.
Ya, Mama meninggalkan Papa karena uang. Papa bangkrut kala itu dan sudah tidak punya uang lagi untuk membahagiakan Mama. Ia lalu menikah dengan lelaki lain yang lebih kaya.
Bu Yura masih tampak tenang, ia malah menanggapiku dengan senyuman.
"Apa bedanya? Aku dan kamu, kita sama-sama materialistis. Aku butuh uang Papamu, dan kau butuh jabatan CEO itu. Sudahlah turuti saja permintaan Papa. Apa susahnya menikah, setelah mendapat apa yang kita inginkan, kita bisa berpisah."
POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu
Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si
Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny
Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli
Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn
Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah