Siapa yang masih setia baca cerita iniii, komen dong. Jangan lupa gemnya yaaa. Oya baca juga cerita saya yang satunya: Dijodohkan dengan Ipar Posesifku
Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny
Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si
POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu
“Apa lagi ini Arka?” murka Papa. Dilemparnya selembar kertas yang baru ia baca ke depan mukaku.Aku hanya bisa menunduk. Memandang surat itu melayang lalu mendarat di atas lantai ruang kerja Papa. Surat yang dikirimkan guru BK sekolah, melaporkan kelakuan burukku pada Papa dan meminta beliau datang ke sekolah. Untuk kesekian kalinya.“Papa tidak mau datang ke sekolahan!” putusnya.“Biar saja kau dikeluarkan dari sekolah. Papa tidak akan mencarikan sekolah baru untukmu!” Papa beranjak, lalu jalan menuju pintu, meninggalkanku.“Dan satu lagi ....” Langkahnya terhenti.“Jabatan CEO yang Papa siapkan untukmu, akan Papa berikan pada orang lain.”Aku menelan ludah, dapat kurasakan otot-otot wajahku menegang mendengar keputusan Papa ini. Kalau aku tak jadi mendapatkan jabatan CEO itu, mau jadi apa aku nanti. Sudah dikeluarkan dari sekolah, nilai semua mata pelajaran pun tak ada yang bagus kecuali olahraga.Selain itu, aku juga sering keluar masuk kantor polisi, karena ketahuan tawuran dan b
Sebulan yang lalu. “Mas Arka mau ke mana?” Budhe Yati tergopoh-gopoh keluar rumah menghampiriku sambil membawa sutil, nampaknya dia sedang memasak. Budhe Yati sudah ikut keluargaku semenjak aku kecil, asisten rumah tangga lah istilahnya. Aku memanggilnya Budhe karena Papa sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Pengabdiannya pada keluarga kami tak main-main. Dulu Papa pernah memecatnya. Bukan, bukan karena ada kesalahan yang diperbuat Budhe, tapi karena Papa tak sanggup menggaji ART lagi, ketika sempat bangkrut dulu. Tapi Budhe memilih bertahan, tak digaji juga tak apa katanya. “Kasian Mas Arka nanti siapa yang urus kalau Bapak kerja, Nyonya kan sudah nggak di sini.” Sambil berurai air mata ia meminta agar tetap diijinkan bekerja pada Papa. Budhe mengurusku seperti anaknya sendiri. Oh tidak, mungkin seperti cucu, mengingat usia Budhe beda tipis dari Eyang. Mulai dari urusan rumah sampai urusan sekolah seperti pertemuan wali murid dan mengambil rapor di sekolah, Budhe yang s
“Ini guru les barunya, Mas Arka!”Aku menatap seorang perempuan yang dibawa Budhe ke hadapanku. Guru kali ini berbeda dari guru-guru sebelumnya. Aku tebak, usianya baru 20-an awal, masih muda jika dibandingkan dengan guru les sebelumnya.Matanya seperti biji almond yang berbentuk bulat tapi mengerucut di bagian ujung. Bibirnya mungil dengan warna merah delima. Lalu hidungnya .... Ops! Fokus Arka, fokus! Kenapa aku jadi memperhatikan wajahnya sampai sebegitunya, sih? Ingat, dia hanya akan menjadi penghalangmu menikmati masa muda, kau harus buat dia tak betah di sini!“Oh, selamat sore, Bu Guru.” Aku tersenyum, berusaha bersikap sesopan mungkin. Ini masih permulaan Arka, jadilah anak baik di matanya. “Sore.” Ia membalas sapaanku dengan suara datar. Kurasa dia tipikal guru yang tidak disukai murid-muridnya, yang jika tidak masuk kelas karena sakit, spontan para murid akan mengucapkan hamdalah bersama-sama.“Namanya Mbak Yura, Mas. Panggil Mbak saja, masih muda gini.” Budhe tertawa. “Mb
"A-Arka, menikah, Pa?" Sampai terbata-bata aku bertanya saking kagetnya.Mengurus diri sendiri saja aku belum bisa, sekarang mau ditambahi beban ngurusin anak orang. Lihat saja kamarku! Celana dalam kotor di mana-mana, handuk basah seringnya masih di atas kasur. Kalau menikah, arrgh ... tak bisa kubayangkan tiap hari harus rela mendengar omelan istri karena hal sepele begini.“Iya, kamu menikah!" Papa menjawab santai. "Papa sudah putus asa menghadapi kamu, Arka. Saatnya Papa menggunakan cara lain agar kamu jadi pria yang lebih bertanggung jawab. Kamu akan belajar banyak hal dengan menikah, yakinlah!” “Tapi Pa, Arka masih SMA, belum cukup umur! Pasti akan ditolak sama petugas KUA, deh!"Kupikir, Papa akan sadar dengan kekeliruannya yang buru-buru hendak menikahkanku, tapi ia malah tertawa. “Kamu sudah dua puluh tahun Arka. Lupa ya, kalau kamu sudah dua kali tinggal kelas?”Sial! Benar juga! Aku menarik napas, lalu membuangnya kasar, sambil berpikir alasan apalagi yang harus kugunakan
“Lihat nih, Pa!” Aku menunjukkan lebam di pipiku pada Papa. Semua ini gara-gara Zaydan, adiknya Bu Yura. Entah apa maksudnya ia tadi tiba-tiba datang ke rumah lalu melayangkan tinjunya pada wajah tampanku.Papa yang sedang membaca buku di ruang tengah melihatku sepintas. “Papa sudah tahu, Yura sudah menelepon Papa meminta maaf. Papa juga sudah melihat rekaman CCTV kejadiannya.” Papa menjawab santai, seolah tak ada sesuatu yang serius terjadi. Sungguh, tak sesuai ekspektasiku. Ia malah kembali asik dengan buku bacaannya.“Pernikahannya batalkan saja, Pa!” ujarku.“Hush!” Papa mengibaskan tangan. “Justru kejadian tadi membuat Papa semakin yakin untuk menikahkan kalian.”Hah? “Emang Papa mau punya mantu yang keluarganya barbar kayak gitu?”“Bukan barbar. Itu namanya sibling goals!”Keningku berkerut. Dih, Papa gaya banget pakai istilah kekinian!“Adiknya terlalu sayang sama kakaknya, makanya sampai cari info tentang kamu. Dia nggak rela, begitu tahu calon suami kakaknya bocah SMA beranda