Fadhil membelalakkan mata. Sekarang ia sudah mengingatnya. Kemudian ia meneguk ludah kasar karena ternyata pria ini adalah anak pemilik pondok ini yang sangat ia segani. Kedua sahabatnya melihat Fadhil yang pucat pasi. Munif menyenggol lengan Fadhil dan akhirnya Fadhil menoleh. "Betul itu?" Bisik Munif. Namun ekspresi diam Fadhil membuat Munif yakin kalau Rayyan tidak berbohong."Oh, mungkin Rayyan lupa bawa istri mas. Soalnya kan masih pengantin baru. Mana hasil dari perjodohan pula. Ya mungkin dia masih belum bisa adaptasi sama kehidupan barunya saat ini." Ridwan berusaha membela Fadhil padahal dia sendiri juga sangat menyayangkan perilaku sahabatnya itu. "Oh, berarti ketidaksengajaan ya? Kalau tidak sengaja kenapa tidak minta maaf saja waktu Amira menyusul? Malah dimarahi di depan umum. Itu namanya kamu sengaja meninggalkannya karena malu istrimu bertubuh gendut. Iya kan?" Rayyan menyudutkan Fadhil. Apa yang dikatakan Rayyan itu memang benar adanya. Dulu ia sengaja melakukan it
Hari resepsi pernikahan Fadhil dan Amira akhirnya tiba. Semua panitia sudah berada di tempatnya masing-masing untuk menjalankan tugas dari Ummi Sarah. Sang pengantin wanita pun sudah dirias sedemikian rupa. "Kak Lili, aku nggak percaya diri nih." Ucap Amira di tengah-tengah Lili sang desainer tengah mengambil gaun Amira dari patung. "Kenapa begitu Mir?""Lihat saja kak, mau dirias kayak gimana pun aku tetap gendut seperti ini kak." Cicit Amira sembari menatap dirinya di cermin besar di hadapannya. "Tenang Mir. Yang penting kamu fokus saja sama acaranya hari ini. Buatlah hadirin yang disana terpukau dengan kecantikan alami kamu. Masalah mereka mau menghujat atau merendahkan kamu karena masalah fisik, anggap aja mereka angin lalu." Ucap Lili. "Tapi tetap aja kak aku masih nggak percaya diri pakai gaun cantik tapi badanku seperti ini." Gumamnya dalam hati. Amira sudah selesai dirias dan memakai gaun walimah yang cantik dengan aksen Payet sederhana di beberapa titik gaun. "Anak ibu
"Hahaha mana ada yang mau sama wanita gendut seperti ini? Aku aja ogah, apalagi pria lain di luar sana? Mereka pasti sudah memandang rendah wanita gendut ini bahkan meskipun tidak kenal sekalipun. Aneh sekali sih anak abah sama ummi ini." Ucap Fadhil dalam hati. Fadhil tersenyum miris setelah mendengar bisikan itu. Setelah sesi adegan berfoto bersama itu, Fadhil dan Amira duduk kembali. Sedari tadi Amira tak berani menatap para tamu di bawah panggung sana. Ia hanya meremas tangannya untuk mengurangi rasa gugup yang berhasil membuatnya salah tingkah. Fadhil tetap dalam mode datar. Ia benar-benar ingin menunjukkan ke orang-orang kalau dia tak menginginkan pernikahan ini. Sama seperti sebelumnya, Fadhil dan Amira tidak terlihat obrolan apapun. Bahkan Fadhil hanya menatap lurus tanpa peduli Amira sedang gugup saat ini. "Eh Us! Kamu sadar nggak daritadi pengantin prianya nggak pernah bisa tersenyum lepas. Ia kayak tertekan gitu loh. Kasihan ya? Pasti dia terpaksa menerima wanita gendut i
"Aduh malu banget dilihatin seperti itu sama Kak Fadhil. Mana dia hanya melihat tanpa melakukan apapun. Apalagi dalam keadaan lampu terang benderang, jelas banget bentuk tubuhku kelihatan. Aku juga nggak tahu maksud tatapan Kak Fadhil saat melihatku setengah telanjang seperti tadi. Apa jangan-jangan Kak Fadhil jijik ya sama tubuhku? Tapi kok waktu aku mau menutup gaunku lagi, dia menahan tanganku ya? Apa iya Kak Fadhil mulai tertarik dengan hanya melihat tubuhku saja?" Ia berucap sendirian dengan menghadap ke cermin. Lewat pantulan cermin itu dia bisa melihat tubuhnya yang tadi sempat membuat rasa malu teramat tinggi. "Kalau memang sudah tertarik kenapa tidak langsung meminta haknya sebagai suami ya?""Eh!" Amira menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. "Kok aku jadi ngomong ngelantur seperti ini ya? Kegeeran banget kamu, Amira!" Amira menggelengkan kepalanya sedikit cepat. "Udah ah! Daripada terus memikirkan hal memalukan tadi lebih baik aku membersihkan tubuhku yang sud
"Ibu! Masih aja sih penasaran sama hal seperti ini? Malu tahu bu nanyain hal begitu." Fadhil memperingati ibunya. "Habisnya kalian itu ya ibu perhatikan dr awal kalian menikah sampai hari ini, kalian itu seperti belum mengenal satu sama lain. Masih canggung sama Amira?"Fadhil hanya terdiam. Sebenarnya Fadhil sendiri ingin sekali mengungkapkan hal sebenarnya kepada ibunya. Tapi sikap ibunya yang menunjukkan bahwa ia sangat menyayangi Amira itu membuat dirinya urung untuk berbicara."Jawab ibu dong Dhil. Kenapa diam terus sih?" Ibu Fadhil semakin mendesak. "Entahlah Bu. Sudahlah ibu nggak perlu memikirkan hal seperti ini. Biar aku yang menjalani kehidupan rumah tanggaku sama Amira. Yang penting ibu berdoa saja untuk kebaikan kami berdua." "Baiklah. Ibu itu sayang banget sama Amira. Meskipun anak perempuan ibu sudah ada dua orang, tapi melihat kebaikan hati Amira yang tulus membuat ibu menyayanginya. Jadi, awas aja ya kalau kamu sampai menyakiti hatinya, ibu akan sunat kamu lagi. Kal
"Aaaa!" "Amira!" "Kenapa sih kamu kerudungan pakai sarungku! Aku kira kamu maling tahu nggak?" Fadhil mengelus pelan dadanya karena tadinya ia terlonjak kaget. Amira nyengir kuda. "Maaf kak. Tadi aku lupa bawa kerudung ganti kesini. Tapi bapak sudah istirahat di kamar. Nggak enak aku kalau ganggu istirahat bapak. Jadi, aku pakai aja sarungmu yang ada di lemari." "Kamu ini ada-ada saja Mir. Untung aja nggak kugebukin kamu tadi pakai sapu ini.""Maaf ya kak." Ucap Amira tak enak hati. "Kamu nggak lepas aja itu sarungku dari kepalamu? Aneh tahu Mir kalau kamu pakai buat kerudungan gitu.""Ta-tapi kak. Aku malu." Amira sedikit menundukkan kepalanya. "Kenapa harus malu? Aku juga sudah lihat setengah dari tubuhmu." Fadhil melirihkan kalimat di terakhir. Amira dan Fadhil terlibat dalam kecanggungan sesaat. Apalagi Amira, setelah Fadhil mengatakan hal itu, dia menjadi lebih sangat malu lagi. "Lepas aja lah Mir, daripada kayak maling gitu." Ucap Fadhil tak melihat Amira namun melihat a
Amira melongo saat Fadhil mengatakan secara lugas bahwa ia memintanya untuk membuka baju yang dipakainya saat ini."K-kok buka baju sih kak? Aku malu." Ia menunduk tak berani melihat Fadhil dengan kedua matanya. "Kamu kan istriku. Dan itu adalah perintah untukmu. Jadi cepat lakukan buatku!" Perintah Fadhil setengah memaksa. Padahal batinnya saat ini tengah memberontak untuk tidak melakukannya. "Apa dia akan meminta haknya malam ini? Oh, tidak! Bahkan aku saja belum siap untuk melakukannya. Aduh bagaimana ini?" Amira cemas. Ia memilin ujung piyama saat ini. "Ayolah Amira!" Ucap Fadhil tertahan setengah memohon.Amira gelagapan. Bahkan jemarinya sudah meremas kuat tempat kancing bagian paling atas. "Ck! Kenapa sih lama sekali bukanya? Ya sudah aku saja yang membukanya." Amira melotot sempurna saat Fadhil mengatakan itu. Jujur saja Amira belum sesiap itu untuk melayani Fadhil. Dengan keragu-raguan, Fadhil mulai menyentuh piyama Amira. Sebelum ia melakukannya, ia memejamkan matanya.
Kedua orang tua Fadhil sudah pulang kampung beberapa hari yang lalu. Kini tinggallah Fadhil dan Amira di wisma itu. Semenjak kejadian konyol yang dilakukan Fadhil, justru ia berusaha keras menahan keinginannya untuk tahu lebih banyak hal tentang Amira. Amira bahkan sampai kebingungan menghadapi sikap Fadhil yang lama kelamaan membuatnya seperti hidup sendirian di wisma ini. Waktunya lebih banyak ia habiskan di tempat Ummi Sarah karena disana ia memiliki teman mengobrol yang asyik, yaitu Maya. Di wisma, Fadhil lebih banyak diam dan sikapnya sangat dingin sehingga membuat Amira jadi enggan untuk bertanya sesuatu atau menawarkan sesuatu pada suaminya itu. Amira juga beberapa kali bertemu langsung dengan Rayyan, sang anak bungsu pemilik pesantren ketika berkunjung ke rumah abah dan ummi. Karena itulah mereka berdua semakin mengenal satu sama lain meski tetap menjaga batasan antara laki-laki dan perempuan. Fadhil banyak menghabiskan waktunya di luar. Ia tak peduli dengan Amira yang sela