Setelah mengurus semua administrasi di rumah sakit, jenazah Farhan akhirnya bisa di bawa pulang ke rumahnya. Jamilah ikut serta dalam mobil ambulans yang mengantarkan suaminya. Aku telah memerintahkan anak buahku untuk mengurus segala keperluan pemakaman dan lainnya. Paman Sam tak lupa kuberi kabar. Awalnya paman Sam terkejut saat aku memberi tahunya, tapi kemudian dia hanya bisa berdoa atas kejadian yang menimpa sahabatku itu.
Sore hari menjelang, semburat sinar oranye telah tampak di balik awan. Sesaat lalu jenazah Farhan telah di kebumikan. Jamilah memberikan satu permintaan kepadaku agar tidak mengikuti pemakaman, iya, aku ditugaskan olehnya untuk menjaga Abian. Entah apa yang di rencanakan wanita itu sehingga dia seolah merahasiakan kematian Farhan, suaminya. Aku hanya bisa menuruti saja. Walau di dalam hati sangat ingin melihat saat terakhir Farhan di semayamkan. Tapi aku tahu semua yang dilakukan perempuan itu pasti demi kebaikan putranya.
Malam menjelang, Paman Sam menelepon untuk membuka pintu rumah, entah dimana Bik Surti, mungkin dia sudah kembali ke rumah belakang. Memang setelah jam kerja usai, para pekerja di rumah ini akan beristirahat di rumah belakang. Abian sudah terlelap satu jam yang lalu.
“Masuklah paman, “ ucapku setelah membuka pintu.
“Tuan muda, saya mengantarkan Nona Jamilah untuk mengambil putranya. “
“Oh, ya, masuklah terlebih dahulu! “ Jawabku, tanpa sengaja menatap wajah istri Farhan yang sembab, rasa hatiku sungguh iba.
“Sebenarnya, Abian sudah tidur di kamarku, “tuturku kemudian setelah kami bertiga duduk di sofa ruang tamu.
“Iya, tuan, terima kasih, maaf sudah merepotkan Anda, “ ucap Jamilah sopan. Manik matanya menyiratkan kesedihan mendalam. Tentu saja dengan usia yang masih sangat muda harus menerima kenyataan menjadi seorang janda.
“Tidak perlu sungkan Nona, anggap saja saya sedang membalas budi baik suamimu, “ jawabku jujur.
Paman Sam hanya menatap kami berdua, beliau menyimak percakapan antara aku dan Jamilah.
“Dan... soal itu tuan, “ Ucapan Jamilah terjeda.
“Tentang apa? “ tanyaku tak mengerti.
“Tentang panggilan Abian kepada Anda, “ ucapnya kembali dengan ragu.
“Oh, itu... asalkan demi kebaikan Abian saya merasa tidak keberatan Nona, “ ucapku tegas.
“Terima kasih tuan, telah membantu saya, Abian memang belum saatnya menerima kenyataan hidup yang sangat tragis seperti ini, “ kata wanita itu lagi, entah mengapa aku merasa aneh dengan ucapannya. Bukankah Jamilah juga seharusnya merasa mendapat takdir yang buruk bukan hanya Abian.
“Oh ya tuan, di mana Abian? Biar saya ajak pulang. “ Jamilah berdiri hendak melangkahkan kaki.
“ Tuan muda, bukankah sebaiknya, biarkan Nona Jamilah menginap di rumah Anda untuk malam ini, “ ucap Paman Sam tiba-tiba.
“Apa? “ aku berteriak terkejut.
“Begini tuan, kasihan sekali bila Abian harus di bangunkan saat sudah tertidur pulas. “Imbuh paman Sam kembali. Aku hanya diam, tidak bisa menyangkal semua perkataan paman Sam yang memang benar adanya.
“Bagaimana nona? Apa Anda setuju? “ tanya paman Sam kepada istrinya Farhan yang masih berdiri di tempatnya.
“Saya, eh... saya, terserah Anda saja tuan. “ Jawab Jamilah sambil menatapku sesaat, kemudian menunduk kembali.
“Baiklah tuan muda, sebaiknya saya pamit pulang. Jangan lupa besok ada meeting pagi di kantor. “ Paman mengingatkan kembali jadwalku esok hari.
“Iya, paman, jangan khawatir. “
Paman Sam pamit undur diri dan meninggalkan kami berdua dalam posisi yang canggung, “oh ya, nona silakan ikuti saya ! “ ucapku sambil melangkah menuju kamar yang Abian tempati, yaitu kamar tamu.
Mungkin karena langkah kakiku yang panjang membuat Jamilah tertinggal jauh di belakang, saat hendak berbalik tanpa sengaja Jamilah menabrak tubuh tegapku dengan sangat keras.
Bruk...
Dengan kecepatan tangan kutanggal tubuh Jamilah yang hampir terpelanting ke belakang. Tubuh kami pun beradu tanpa jarak, kedua mata saling menatap sesaat dunia seakan berhenti berputar sesaat , “cantik, “gumamku lirih. Jamilah buru- buru memalingkan mukanya setelah mendengar ucapanku, ia menundukkan wajahnya malu, semburat merah tampak menghiasi wajah putihnya. Membuatku semakin terpesona.
“Maaf tuan. “ ucapan Jamilah membuyarkan pikiran liarku.
“Iya, maaf Jamilah.”
“Iya tuan, seharusnya saya lebih berhati-hati. “
“Oh ya, ini kamarnya,” aku mengalihkan kecanggunan diantara kami berdua dan membuka pintu kamar, Abian masih tertidur dengan pulas.
Setelah mengucapkan terima kasih, Jamilah menutup pintu perlahan.
Aku berlalu meninggalkan mereka berdua dengan perasaan yang masih tidak karuan, “ingat Alan, dia itu janda dari sahabatmu, “ sengaja mengingatkan diriku sendiri agar tidak berbuat tidak senonoh dengan seorang wanita istri dari sahabat karibku itu. Aku memang sesosok pria yang tidak bisa menahan hasrat saat ada wanita cantik di hadapanku. Tapi untuk kali ini tentu saja aku harus berusaha mengendalikan diri dengan baik, sungguh tidak tega rasanya mengkhianati seorang Farhan Dinata walaupun dia sudah tidak ada di dunia ini sekalipun. Sebagai rasa balas budiku padanya, diriku berjanji akan menghantarkan Abian hingga dewasa dan menjadi orang yang sukses suatu hari nanti. Entah bagaimana pun caranya.
Sampai di dalam kamar tidur aku rebahkan tubuh ini, lelah rasanya kulalui waktu seharian, hari yang begitu berat menurutku. Kehilangan seseorang sahabat yang baru saja aku temui, bahkan belum sempat rasanya aku mengucapkan terima kasih kepadanya, “seandainya aku tidak melakukan hal konyol itu, dengan mengajaknya berlari, mungkin Farhan tidak akan meninggalkan dunia secepat ini. Apakah aku harus jujur dengan istrinya dan meminta maaf, atau sebaiknya aku sembunyikan semua kebenaran ini. “ Tiba-tiba muncul rasa penyesalan dalam hatiku. Pikiranku masih melayang hingga aku terlelap.
Tok... Tok...tok
Suara pintu di ketuk berulang kali membangunkan aku dari tidur lelap, mata ini bahkan sulit untuk di buka.
“Tuan muda, tolong buka pintunya. “ suara bik Surti dari balik pintu.
“Tuan muda, ini penting sekali, mohon segera bangun. “ ucapnya sekali lagi, bik Surti terdengar panik. Dengan susah payah aku beranjak bangun dari ranjang. Suara berisik seperti anak kecil menangis membuatku semakin terusik, “anak siapa pagi buta sudah bermain di rumahku, mengganggu ketenteraman orang saja. “Umpatku geram, rahang ini sudah mengeras. “sial ! “ membuka pintu dengan kasar, mata ini membelalak sempurna.
“Oh, astaga, “aku menepuk jidatku sendiri saat melihat pemandangan di depan pintu. “Bagaimana aku bisa melupakan ini? “ ucapku menyesal.
“Tuan, maaf anak kecil ini tiba-tiba keluar dari kamar tamu memanggil nama ayah dan mamanya, “ terang bik Surti dengan nada ketakutan.
“Ayah... ! “ Abian berlari memeluk kedua kakiku erat.
“Abi, maafkan ayah melupakan keberadaanmu. “ Jawabku jujur. Memang benar aku telah melupakan keberadaan Abian saat ini. Sementara bik Surti menatap kami berdua dengan tatapan aneh.
“Anak, anak siapa dia tuan muda? “ tanya bik Surti kemudian.
Aku tidak menghiraukan pertanyaan Bik Surti, kutinggalkan wanita paruh baya itu dan bergegas turun dengan menggendong Abian menuju meja makan.
Abian mendekapku erat seakan tidak ingin berpisah.
Kuedarkan pandangan ke segala arah, mencari sesosok wanita yang semalam membuat jantung ini berpacu dengan cepat. “Di mana wanita itu? “ gumamku lirih.
“Ayah, itu mama! “ tunjuk Abian ke halaman depan. Seketika diri ini terkejut melihat pemandangan yang membuat takjub sekaligus terkejut secara bersamaan.
“Ya Tuhan, Jamilah...! “ aku berteriak tidak percaya.
“Mama...! “ Abian turun dari gendonganku dan berlari menuju ke arah Jamilah.
“Iya, sayang, sebentar mama akan turun, “teriak Jamilah dari atas pohon Mangga di depan rumahku.
“Ya Tuhan, Jamilah, baru kali ini aku melihat wanita aneh sepertimu, tingkah lakumu seperti Tarzan di tengah hutan, “ungkapku kesal, “bukannya menangis meratapi kepergian suami yang baru saja di kuburkan, malah bertingkah seperti anak kecil, “umpatku dalam hati, tentu saja aku tidak berani mengatakannya langsung, takut kalau Jamilah sampai tersinggung. “Eh, tapi tunggu dulu sejak kapan aku memikirkan perasaan orang lain, itu bukan seperti diriku, “merasa bingung dengan sikapku sendiri.
Jamilah turun dari pohon mangga dengan lincahnya, “apakah wanita ini berasal dari hutan? “ tanyaku dalam hati, tentu saja tidak ada yang menjawabnya.
“Bian, ini mama bawakan anak burung. “ Jamilah berjalan mendekati Abian dengan tangan menggenggam sarang burung.
“Hore...! “teriak Abian kegirangan.
Aku hanya menatap dua manusia di hadapanku ini yang terlihat aneh di mataku, “dasar... kampungan! kenapa harus bersusah payah nona, kamu bisa langsung memintanya jika hanya ingin mencarikan burung untuk Abian putramu, “ ejekku.
“Eh, tuan, jangan sembarangan bicara ya, mengatakan saya kampungan, saya ini orang kota asli sejak dibawa ke Jakarta oleh Kak Farhan, tiga tahun yang lalu, “jawab Jamilah tidak terima.
“Ck...ck... ck. “ Aku berdecak sebal, “mengapa wanita ini terlihat menyebalkan sekarang, membuatku illfeel saja, di mana perempuan cantik dan mempesona semalam, “ gumamku dalam hati. “Bagaimana bisa Farhan memiliki istri liar seperti wanita ini, “ ucapku lirih.
“Ah, sudahlah terserah kau saja, hari ini aku ada rapat pagi di kantor. “
“Oh iya, maaf atas kelancaran saya tuan. “ Ucap Jamilah dengan nada menyesal.
“Hem.“ Jawabku singkat sambil berbalik meninggalkan Abian yang tampak asyik bermain dengan burung-burung kecil dalam sarangnya.
“Sungguh pagi yang sangat aneh, pertama aku lupa dengan hadirnya Abian anaknya Farhan, kedua melihat perempuan dengan tingkah aneh, membuat aku tidak suka, eh tunggu mengapa harus memikirkan rasa suka atau tidak toh wanita itu bukan siapa-siapa dan lagi aku harus ingat dia adalah janda bekas sahabatku Farhan Dinata. “ Pikiranku berkecamuk berusaha menerima kenyataan yang baru saja aku hadapi.
Perasaan aneh tiba-tiba memenuhi pikiran ini. Semua masih terasa asing bagiku, rasanya seperti mimpi, seandainya boleh memilih izinkan aku terbangun dari mimpi buruk ini, berharap Farhan tetap hidup berbahagia dengan anak dan istrinya. Sedangkan aku hanya ingin datang dalam keluarga kecil Farhan untuk memberikan sedikit bantuan kepadanya, membalas budi baik Farhan di masa lalu.
Tetapi siapa yang bisa menolak takdir, sekuat apa pun diri ini menolak toh pada akhirnya rencana Tuhan pasti tetap terlaksana entah itu baik ataupun buruk.
Apakah ini jalan yang terbaik?
Haruskah aku tetap berpura-pura menjadi malaikat seolah akulah pahlawan untuk kebahagiaan Abian Dinata? dengan mengaku sebagai ayah Abian, yang sebenarnya telah tiada, sungguh rasa hati tidak sanggup mengatakan kejujuran ini. Lantas aku harus berbuat apa ?
Suasana rumah telah sepi, aku kembali memasuki kamar mungil Jamilah. Kulihat wanitaku menggeliat kecil, ia menggerakkan tubuhnya hingga tatapan kami bertemu. Kemudian Jamilah menatap koper yang telah berjejer rapi di lantai. Jamilah membulatkan matanya, “mas, kamu mau pulang? “ aku mengangguk perlahan, raut kesedihan muncul dari wajah ayu istriku itu, muncul ide jail untuk mengerjainya saat ini.Aku berangsur mendekatinya, “kenapa? Apa kamu sedih harus berpisah denganku? “ Jamilah menatapku sejenak kemudian menundukkan kepalanya, aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan kesedihannya. Aku meraih dagu lancip itu untuk menatapku pandangan kami bertemu, aku segera mendekatkan bibirku dan membisikkan sesuatu, “sayang, bolehkan aku memintanya sebelum pergi? Sebagai tanda perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti? “ pintaku halus, rona merah tengah menghiasi kedua pipi istri polosku itu. Sungguh rasanya sangat menyenangkan menggoda gadis belia ini. Uh, bagaimana aku tidak kecand
Setelah peristiwa kamar mandi usai, kami akhirnya sarapan bersama dengan menu ala pedesaan seperti biasa, tetapi untuk aku, Jamilah telah menyiapkan roti selai kacang kesukaanku, tanpa aku sadari jika Jamilah ternyata sudah sangat mengerti kebiasaan dan kesukaanku selama lima belas hari ini.Pagi ini Jamilah sudah sedikit membaik, walau masih tertatih ia sudah bisa berjalan kembali, rasa hatiku sangat kasihan, tetapi ya bagaimana lagi, jika kami berada di rumah mama, maka tidak akan aku biarkan Jamilah keluar kamar walau hanya sekedar untuk makan saja. Aku akan melayani istri kecilku itu dengan sepenuh hati. Bahkan akan aku buat hari-harinya menjadi indah dan kulayani selayaknya ratu. Jamilah memang sudah menjadi ratu di hatiku sejak ia menyerahkan mahkota paling berharga miliknya untukku.Ibu Fatimah telah pergi bekerja, sementara Jamilah aku perintahkan istirahat di kamar, sementara aku, ah, mungkin kalian tidak akan percaya di mana aku sekarang. Iya, aku sedang mencuci pakaian da
“Mau mandi, atau makan dulu?” aku bertanya sesaat setelah menurunkan tubuhku. Segera kututup tubuh polos Jamilah agar aku tidak tergoda lagi. Kasihan kan wanitaku sampai harus menahan lapar saat melakukan kewajibannya tadi. Mungkin kalau dulu aku tidak akan peduli dengan hal itu. Tetapi sekarang hatiku merasa iba, apakah karena status Jamilah sebagai istriku? Ah, ini terlalu dini bila aku mengatakan jika aku sangat menyayangi Jamilah.Aku menatap tubuh lelah istriku, “kamu kok enggak menjawab, mau mandi atau makan dulu? “ Jamilah menggeleng lemah.“Baiklah sayang, rupanya kamu sudah terlalu lelah, biar aku yang memutuskan semuanya, oke? “ Jamilah hanya bisa menatapku dan membiarkan saat aku menggulung tubuhnya dengan selimut dan menggendongnya lagi keluar kamar.Saat sampai di pintu dapur Jamilah meronta untuk turun, aku semakin mendekapnya erat, “sayang jangan berontak nanti kamu jatuh. “ Karna gemas aku malah melumat bibir ranum Jamilah yang sejak tadi terus menggodaku. Saat aku mel
“Eh, orang ditanya kok malah balik nanya, Muna, enggak usah mengurusi kehidupan pribadi orang lain, apa kamu mau kalo rumah tanggamu di usik? “ Wanita bernama Muna itu menggeleng, “nah, jadi enggak usah kamu repot mengurusi masalah orang lain ya! “ ibu Fatimah gegas menarik tanganku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menurut saja, semua orang menatap kepergian kami, mendadak suasana ramai di warung itu menjadi sepi, “wah hebat juga pesona ibu mertua di kampung ini. “ Batinku kagum.“Eh, buk, kita belum membeli gula tadi kan? “ Tiba-tiba saja aku teringat tujuanku untuk membeli gula.“Sudahlah menantu, nanti kita cari di tempat lain saja, “tutur ibu mertua. Saat ini kami sudah sampai di halaman rumah.“Nah, mak mau ke pasar dulu ya, itu makanan sudah matang, kamu makanlah dengan Jamilah! ““Tunggu buk! Sebenarnya aku ingin bertanya sejak tadi, siapa wanita yang di maksud ibu genit tadi? Em, Nurjanah maksudku? “Saat mendengar pertanyaanku tiba-tiba saja wajah wanita paruh baya itu men
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b