“Waw, lo makin cantik aja, Nan.” Mela mencolek lenganku lalu menaik turunkan alis. “Aura pengantin baru memang beda,” lanjutnya berbisik di dekat telingaku.Mataku melotot, membuat Mela tersenyum mengejek. Sebab, aku tak akan berani menjerit dan memukulnya dengan brutal.“Lo juga cantik, Mel.” “Idih, jangan menjilat. Lo lebih cantik.”“Iya, gue memang cantik sejak lahir.” Aku lebih baik mengiyakan saja, daripada perdebatan tak kunjung selesai.Mela tertawa. “Lo bener-bener pede.”Rara dan Dewi menghampiri kami yang masih berdiri di dekat pintu masuk, memang sengaja menunggu mereka yang datang bersama.“Tumben belum masuk,” kata Dewi sambil menaikkan alis.“Iya nih, kita nungguin ratu ngaret,” sahutku kembali menyindir.“Dih, nyindir. Salahin Rara yang dandannya lama banget. Padahal, hasilnya juga biasa aja.”Rara manyun sambil menghentakkan kakinya. “Kalian mah, gitu.” Rara merangkul tanganku. “Apa iya, gue nggak cantik, Nan. Dandanan gue nggak bagus, ya?”Aku menepuk-nepuk tangannya,
Aku lagi-lagi tersenyum bahagia kala kembali mengingat kejadian tadi, di mana Devan mengajakku untuk makan bersama di salah satu kedai makan yang tak jauh dari kampus. Meski bukan di tempat mewah, tetapi aku tetap menyukainya. Di mana pun ia membawaku, meski itu warung pinggiran jalan sekali pun asal bersama dengannya, semua terasa indah. Wah, perkataanku benar-benar hiperbolis. Aku harus berterima kasih kepada Mela, karena berkat dirinya sehingga aku bisa bersama dengan Devan.Aku berniat untuk mencari kado untuk Mela di pusat perbelanjaan yang sering kukunjungi, selain ramah di kantong, juga memiliki kualitas yang tak kalah jauh dengan brand ternama. Dua hari lagi ia akan ulang tahun, dan gadis itu sudah menentukan apa yang harus kami berikan. Terdengar lucu memang, pihak yang berulang tahun malah request kado ulang tahun sendiri. Ya, tapi bukan Mela namanya jika tak penuh dengan keabsuran.“Lo mau beliin Mela baju?” tanyanya saat aku memasuki salah satu toko yang menurutku cukup le
Dengan perasaan kesal, aku masuk ke rumah, berjalan ke dapur dan bersiap memasak untuk makan malam. Meski moodku sedang berantakan akibat kejadian tadi. Sebentar lagi, Lala akan pulang bersama Mama. Gadis kecil itu harus dijemput oleh neneknya karena aku dan Mas Rangga tak bisa menjemputnya. Ya, hari ini adalah jatahku untuk menjemput Lala, tetapi aku masih enggan untuk bertemu dengan ibu-ibu yang menganggap diri mereka memiliki kasta tertinggi di muka bumi ini. Setelah perdebatan tempo hari, mama-lah yang selalu menjemput Lala. Aku tak ingin bertemu dengan Mila, takut tanganku ini akan mencakar wajah sok polosnya yang selalu haus akan simpati dari orang lain. Kejadian siang tadi tiba-tiba terlintas lagi di otakku. Orang-orang yang kuanggap kawan malah mengatakan kalimat yang membuatku kecewa. Aku tahu ini salah, tetapi mereka tak pantas merendahkan dan menghinaku. Aku yakin ucapan Dewi tak mengandung unsur kebercandaan. Ia mengatakan dengan sangat serius, dan berasal dari hati yan
Aku benar-benar kesal, saat tahu tentang berita yang tersebar di kampus. Dari desas desus yang terdengar, Kinan dan Devan berkencan dan mereka berjalan bersama di salah satu pusat perbelanjaan. Kabar itu jelas membuatku kesal. Apa Kinan benar-benar ingin berkencan dengan laki-laki lain, saat hubungan kami sudah menjadi suami istri? Wah, dia benar-benar tak takut akan omongan orang lain. Bagaimana jika orang yang tahu tentang hubungan kami melihatnya, dan menyebarkan cerita tersebut? Aku juga akan ikut terseret karena tak becus membimbing seorang istri. Salahkan orang tuaku yang menjodohkan dengan gadis labil seperti dirinya. Kinan, masih sangat belia, ia sudah pasti masih ingin menikmati masa remaja yang menjadi masa kejayaan bagi seseorang. Masa itu adalah kondisi di mana mereka akan mengalami pendewasaan diri, mengenal dunia luar yang sesungguhnya, dan juga cinta. Namun, karena keegoisan orang tua, menjadikannya harus mengubur masa indah itu.Karena pikiranku yang amburadul, entah a
Aku berjalan dengan penuh kekesalan yang sejak tadi sudah tak bisa tertahan lagi. Mas Rangga tiba-tiba meminta agar aku menemuinya saat kelasku telah selesai. Setelah menyimpan nomor masing-masing, ia seakan selalu punya alasan untuk mengganggu ketenanganku. Seperti sekarang, saat aku ingin makan siang, dia mengirimkan pesan yang berisikan perintah urgent yang tak boleh ditunda.Aku masuk tanpa mengetuk, membuatnya terlihat kesal. “Kau masih saja belum berubah. Mau sampai kapan kamu seperti itu?”“Lah, saya memang seperti ini, makanya jangan berekspektasi tinggi sama saya.” Aku duduk di kursi lalu menatapnya lekat-lekat. “Ada perlu apa?”“Tolong jangan terlalu dekat dengan Devan. Apa kalian tahu kabar yang beredar di kampus?”Aku mengerutkan alis heran. “Lah, kenapa? Toh, tidak ada yang tahu status kita,” jawabku santai. “Jadi saya berhak untuk terus dekat dengan siapa pun. Ingat, perjanjian kita.”Aku melirik ke arahnya, ia terlihat mengeraskan rahang. Marahkah? Namun, untuk a
Aku tak tahu mengapa setelah menikah orang-orang mewajibkan pasangan, terlebih pengantin baru untuk ikut serta dalam pertemuan keluarga. Adik sepupu dari Mas Rangga mengadakan acara syukuran atas kelahiran anak pertama mereka, sehingga ibu Mas Rangga meminta agar aku datang ke acara tersebut bersama dengan anaknya.Kami seperti pasangan normal pada umumnya yang terlihat harmonis dan sedang hangat-hangatnya. Lucu memang, tetapi begitulah kenyataannya. Kami sepakat untuk terus melakukan drama di depan orang-orang yang tak tahu menahu tentang kehidupan kami. Toh, mereka tak akan tahu tentang sandiwara yang kami lakukan. Mereka pikir aku dan Mas Rangga menjalani hari seperti biasanya.Akan tetapi, semuanya tak berjalan sesuai rencanaku. Aku paham betul jika berada di dalam acara seperti ini, pastinya akan ada mulut nyinyir dan julid dari para tamu atau tetangga. Ada saja yang akan mereka komentari tentang kekuranganku. Seperti sekarang, saat aku anteng duduk bersama Lala, ada saja ibu-ibu
Aku tak tahu mengapa diriku seperti ini? Apa yang terjadi? Mengapa aku tiba-tiba peduli dengan omongan orang lain yang merendahkan Kinan? Jantungku memompa dengan cepat, adrenalinku terpacu, dan emosiku meningkat pesat. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa aku mulai gila? Ya, mungkin saja seperti itu. Ada-ada saja omongan para tamu yang membandingkan Winda dan Kinan. Padahal, aku dan Winda sama-sama menolak perjodohan itu. Dia memiliki seorang kekasih, dan dia pula tak suka dijodohkan. Meski Winda punya segalanya, elegan, dan cerdas, tetap saja aku tak merasa cocok dengannya. Padahal, usia kami tidak berbeda jauh. Akan tetapi, mengapa saat bersama Kinan aku merasa ada yang aneh? Dia wanita yang hampir membuatku gila. Tingkahnya absurd, pecicilan, dan kekanakan. Namun, mengapa akhir-akhir ini ada yang berbeda? Aku tak suka jika dia dekat dengan pria lain, tak suka jika ada yang bercerita tentang keburukannya, dan tak suka jika Bu Mega mengusik gadis kecil itu. Apa sekarang a
Dengan perasaan yang masih campur aduk, aku mengikuti kemauan Rangga. Tak kusangka ia benar-benar memesan tiket kelas velvet, tetapi hanya satu kasur saja. Mau tidak mau aku harus berbaring di sebelahnya. Padahal, tadi ia menolak. Sungguh, dia termasuk jajaran bapak-bapak labil. Usia boleh tua, otak ternyata tak kalah dengan Lala. “Cih, siapa yang katanya tidak mau berbaring bersamaku?” sindirku saat kami sudah masuk ke dalam ruangan. Aku menatap ke sekeliling, tak banyak orang yang datang. Dari dua puluh kasur, hanya ada beberapa kasur yang terisi. Apa karena hari ini bukan akhir pekan sehingga tak banyak orang yang berkunjung? “Aku hanya ingin mentraktir istri kecilku ini.” Aku menoleh dan melihat senyuman miring di bibirnya. Heh? Apa arti dari senyumannya itu? Apa dia sedang ingin menguji bagaimana responku? Apa dia berharap aku akan seperti gadis-gadis di luar sana yang akan klepek-klepek dan memanfaatkan situasi ini? “Istri?” Aku menyipitkan mata. “Saya mengira hanya di