Di ruang kantor guru, Makoto berbincang dengan kepala sekolah bahwa dirinya ingin menjadi guru di SMA Sakura ini.
"Apakah anda memiliki pengalaman mengajar sebelumnya?" tanya Pak Daiji Sato selaku kepala sekolah SMA Sakura.
Makoto menggeleng. "Tapi saya pernah menjadi dosen di Universitas Sakura. Untuk mengajar, jangan di ragukan lagi. Saya sudah berpengalaman selama lima tahun," jawab Makoto tegas. Universitas Sakura adalah kampus paling elite di kota Cherry Blossom ini. Tidak akan mudah orang bisa lolos seleksi dari kampus terbesar nomor satu di Jepang itu.
Pak Daiji Sato mengangguk. "Baik. Anda di terima mengajar disini. Mulai besok, anda menjadi guru pelajaran Bahasa Jepang."
Makoto tersenyum penuh arti. Dengan begini, ia bisa mengawasi Aoi dan pacarnya itu.
'Lihat saja kamu. Gak akan pernah lolos. Aku akan melaporkanmu kepada Tuan Amschel karena berani berpacaran,' mungkin dirinya keterlaluan. Tapi lebih baik di katakan jujur sebelum Tuan Amschel mendengarnya dari orang lain.
***
Aoi baru saja keluar dari kelas. Bel pulang baru saja berbunyi. Akhirnya bisa rebahan di rumah.
Makoto bersandar di pintu masuk. Menunggu Aoi.
"Duh, tanganku pegel banget gara-gara nulis tadi," Aoi memijat pergelangan tangannya.
Makoto yang mendengar suara Aoi menghampiri gadis itu.
"Mari, pulang dengan saya," Makoto mengulurkan tangannya, berniat menggandeng Aoi. Tapi cewek itu hanya diam.
"Aku bisa pulang sendiri," Aoi menatap lurus, lebih cuek dari sebelumnya. Ia merasa terganggu dengan kehadiran Makoto.
"Ini sudah menjadi tugas saya Aoi. Harus di tepati. Kalau kamu tidak ikut saya, apa yang harus saya katakan pada Tuan Amschel?"
Aoi menatap Makoto tidak suka. "Sudah dengar? Aku bilang gak mau. Aku bisa pulang sendiri. Gak perlu di anterin. Memangnya aku anak kecil?" suara Aoi meninggi, ia marah.
"Aoi. Kalau kamu tidak menurut, saya adukan ke Tuan Amschel," ancam Makoto. Mungkin dengan begini Aoi akan menurut.
Aoi tersenyum licik. "Adukan saja. Aku gak takut," tantangnya. Ayahnya itu tidak akan marah lama-lama sebelum ia sogok dengan masakan rendang dan nasi jagung.
Makoto mempunyai satu cara, yaitu menggendong Aoi dengan paksa. Cewek itu memberontak ingin di turunkan.
Keduanya menjadi perhatian siswa yang akan pulang.
"Astaga, Aoi sama siapa tuh?"
"Katanya udah punya pacar. Kok di gendong sama cowok lain?"
"Jangan-jangan selingkuhannya lagi."
Aoi tak peduli. 'Gara-gara dia, aku jadi bahan gosip begini,' sungut Aoi dalam hati. Makoto pemaksa, jika saja ini di luar sekolah, sudah di pastikan Aoi akan melawan Makoto dengan tinjuannya ala kick boxer.
Saat sudah berada di mobil, Makoto menyalakan radio memilih musik keroncong kesukaannya.
'Musik apaan? Yang ada aku tambah bosen,' baginya, hanya musik Rock membangkitkan mood-nya. Selain asik juga berisik.
"Ganti! Aku gak suka!" perintah Aoi tak mau tau.
Makoto menggeleng. "Tidak perlu. Saya sangat menyukai lagu ini. Jadi, jangan banyak protes," tegas Makoto alisnya menyatu, ini mobilnya terserah ia melakukan apa.
Aoi berpaling menatap jendela mobil. 'Baru kali ini aku berurusan sama dia. Sebelumnya, hidupku tenang,' Aoi heran mengapa ayahnya harus menjodohkannya dengan Makoto.
"Sudah sampai."
Aoi tersadar dari lamunannya. Kenapa begitu cepat?
Aoi keluar dan menutup pintu mobil dengan kasar.
Makoto menggeleng heran. 'Kenapa Tuan Amschel menjodohkan aku dengan Aoi? Apa ada tujuannya?' Makoto pikir hanya sebagai penerus harta warisan Rotschild, tapi belum tentu bisa saja Aoi yang mengambil alih itu semua.
Aoi merebahkan dirinya di kasur berukuran king size. Dinding yang bercat abu-abu, dan sebuah foto keluarga Rotchild. Kamar Aoi tidak ada hiasan apa-apa. Seperti hidupnya yang monoton.
"Semoga besok gak ketemu lagi sama dia."
***
Malam harinya Aoi gunakan waktunya untuk belajar. Apalagi besok pelajaran bahsa Jepang.
Aoi membaca kamus bahasa Jepang. Kosa kata penting yang harus ia ketahui.
Pintu kamarnya di ketuk beberapa kali.
"Aoi? Mama boleh masuk gak?" Karin ingin membicarakan suatu hal penting.
"Masuk aja ma," Aoi meletakkan kembali kamusnya di rak buku.
"Ada apa ma?" tanya Aoi setelah Karin duduk di kursi.
"Ayahmu sudah memesan gaun untuk pernikahan nanti. Kau tau Aoi?" Karin menjeda sejenak. Sambil tersenyum membayangkan suaminya itu yang rela pergi ke toko gaun ternama sampai di goda para wanita. Bukannya tambah cemburu tapi semakin lucu. Amschel sekali marah semua wanita akan menjauh.
"Ayah kamu di godain loh. Terus kalau marah lucu banget, jadi pingin cubit pipinya deh," andai saja Amschel ada di sampingnya, sudah ia manjakan tanpa ampun.
Aoi menahan tawanya. "Masa sih ma? Padahal aku masih sekolah kok di nikahin," dengan wajah cemberut, Aoi sangat kesal dirinya di nikahkan secepat ini. Ia tidak kebelet nikah.
"Biasa. Ayahmu mau yang terbaik. Jadi dia rela ngelakuin apa aja buat kamu Aoi. Jangan kecewakan ayah ya?" pinta Karin memelas. Amschel tidak pernah salah dalam pilihannya, semuanya sudah di pikirkan matang-matang.
Aoi menghela nafasnya. 'Kalau udah begini, aku bisa apa? Demi ayah bahagia, aku akan menurutinya,' batin Aoi memantapkan pilihannya. Makoto tidak terlalu buruk, tapi sifat cuek minta ampunnya itu loh Aoi tambah gemas.
***
Kelas 12 Ipa 1 sangat heboh jika di pagi hari. Entah bergosip tentang cogan, sarapan dadakan, konser biasa, dan main bareng di game online.
Fumie dan Haruka bermain ABCD lima dasar yang mencari nama buah atau hewan, permainan pada masa kecil.
Seseorang yang melangkah menuju kelas 12 Ipa 1 sudah siap mengajar pelajaran bahasa Jepang. Ya, dia adalah Makoto Anekawa yang akan mengawasi segala aktivitas Aoi di sekolah. Terutama pacarnya itu.
Tepat memasuki kelas, semuanya diam dan mematung melihat kehadiran guru baru yang tampan dan tinggi. Para cewek-cewek langsung kagum dan memujinya.
"Ini guru baru bahasa Jepang? Ganteng banget."
"Siapa namanya?"
"Kakak belum nikah kan?"
Di tanya seperti itu, Makoto melirik Aoi. Gadis itu tak peduli kehadirannya, terlalu fokus dengan kedua temannya yang masih bermain ABCD lima dasar.
"Semuanya perhatikan ya. Saya adalah Makoto Anekawa, guru baru mata pelajaran bahasa Jepang. Jadi, selama saya mengajar disini, semoga kalian dapat belajar lebih baik dan giat lagi," Makoto memperkenalkan dirinya.
Suara itu, Aoi menatap ke depan. Kenapa harus ada Makoto disini? Tidak adakah tempat lain dan harus bertemu dengannya?
Menyebalkan. Itulah yang di pikiran Aoi. Pasti ada tujuannya, tidak mungkin Makoto mengajar disini tanpa alasan tertentu.
"Oh ya. Saya sudah mengenal salah satu dari kalian. Dia sangat cantik, judes, jutek, dan bikin kangen," Makoto ingin memperkenalkan Aoi juga. Biarkan saja nanti ada gosip seorang guru menyukai muridnya. Dan pacar Aoi pasti akan memilih memutuskan hubungan itu.
Bisik-bisik tak suka juga penasaran saling menyahut.
"Siapa sih?"
"Jadi pacaran sama guru gitu?"
"Kayak gak ada cowok lain aja. Kan disini banyak cogannya. Kenapa harus sama guru?"
"Aoi. Kalian pasti mengenalnya. Saya menyukainya," terang Makoto to the point.
Aoi melotot tak percaya. Apa-apaan ini? Tidak seharusnya Makoto mengatakan itu disini.
Haruka menatap Aoi penuh tanya. "Beruntung banget kamu di sukai pak Makoto. Udah ganteng, tinggi, putih, macho, cool lagi. Jangan kasih ke cewek lain loh. Awas di ambil," Haruka menggoda Aoi. Sahabatnya ini sudah besar rupanya.
Fumie cemberut. "Yah, kenapa harus Aoi? Aku juga cantik. Tapi gak judes."
Haruka menatap Fumie bosan. "Kamu itu pemberani. Di senggol sedikit saja langsung di pukul."
Fumie itu cewek tangguh, ia juga ikut kelas kick boxer yang ada di ruangan gym. Sama dengan Aoi.
"Buka buku kalian halaman sepuluh. Baca dan saya akan menjelaskannya," Makoto melangkah menuju meja Aoi. Cewek itu mencari-cari bukunya.
Aoi panik. Semalam ia sudah mengecek semuanya. Apakah tertinggal?
"Gak ada. Masa ketinggalan? Duh, semoga aja gak ketauan," Aoi meletakkan tasnya di laci meja. Saat menatap lurus, sudah ada Makoto yang tersenyum.
'Kenapa sih? Dia waras? Senyum-senyum, mereka bakalan mikir yang tidak-tidak sama aku. Gimana kalau Ryuji tau?' batin Aoi kesal. Meskipun hanya pacar pura-pura, tapi Aoi tidak mau Ryuji marah.
"Kemana bukunya? Lupa ya? Sini," Makoto menarik tangan Aoi.
Keduanya menjadi pusat perhatian. Apalagi Makoto yang memegang tangan Aoi. Semakin penasaran dengan keduanya, hubungan apakah itu?
"Lepasin. Aku bisa jalan sendiri," Aoi menyingkirkan tangan Makoto. "Mau hukum aku kan?"
Makoto menghentikan langkahnya. "Tidak," ia menggeleng.
"Duduk di sebelah saya. Kamu bisa membaca buku punya saya. Sana," Makoto mendorong Aoi pelan. "Selama pelajaran berlangsung, kamu tetap duduk di sebelah saya. Karena tidak membawa bukunya."
Terpaksa Aoi menurut. Lain kali ia tidak akan teledor dengan bukunya. Sudah kapok duduk dengan Makoto, lebih ia duduk di lantai saja.
Aoi melakukannya. Duduk di lantai tanpa mempedulikan Makoto yang menyuruhnya duduk di kursi. Biarkan saja, duduk bersebelahan seperti pengantin baru. Aoi tidak mau itu.
"Dasar bandel. Duduk di kursi, atau saya gendong?" ancam Makoto, sukanya gendong daripada yang lain. Seperti cium di cerita lain.
"Iya-iya. Bawel banget sih," Aoi duduk di sebelah Makoto. Rasanya kurang nyaman, apalagi di perhatikan teman sekelasnya. Risih.
***
Kalau kalian di posisi Aoi seneng atau kesel?
Sampai jumpa di bab selanjutnya...
Hari ini Aoi mengecek kembali jadwal pelajarannya.Aoi tersenyum simpul. Akhirnya lengkap semuanya."Kalau begini gak bisa di hukum lagi," Aoi juga selesai memasukkan kaos olahraga. Jam pertama pelajaran Penjas.Aoi menyampirkan tasnya di bahu. Menuruni anak tangga, bergabung sarapan pagi dengan semua anggota keluarga Rotschild.Karin menyiapkan roti selai stroberi, kesukaan Aoi."Sayang. Kamu sarapan yang banyak ya. Kalau perlu, habis 3 roti," ucap Karin perhatian. Ia tau hari ini Aoi olahraga. Dan Aoi harus kuat.Tuan Amschel mengangguk. "Di habisin. Gak ada alasan kenyang apalagi pahit. Roti saja manis, apalagi mama kamu," godanya membuat Karin tersipu."Apa sih yah. Ada Aoi kok gombal," Karin malu-malu kucing. Amschel susah di tebak, kadang bisa romantis tiba-tiba.Aoi menghela nafasnya. "Ma, satu roti aja cukup. Aoi gak mau gendut, nanti semua pakaian Aoi gak muat," keluhnya
Ryuji SakumaRyuji memejamkan matanya sejenak. Malam yang sangat dingin. Jendela kamarnya ia buka agar bisa menatap lebih dekat dengan ribuan bintang.Ucapan Syougo itu membuatnya kepikiran. Apalagi Aoi semakin dekat dengan pak Makoto."Gue kenapa sih? Selalu aja mikirin dia," Ryuji mengacak rambutnya frustasi."Kenapa perasaan gue gak rela kalau Aoi deket sama pak Makoto?" tanya Ryuji pada dirinya sendiri.Ryuji menggeleng. "Paling cuman kepikiran doang,"Ryuji mengambil note dan menyobeknya. Menuliskan kata-kata manis untuk Aoi.Kalau kamu tanya aku lagi ngapain. Jelas lagi dumika.Gak tau ya dumika itu apa? Duduk mikirin kamu. Gombal ya aku? Di simpen ya bunganya?Ryuji SakumaRyuji menempelkan itu di bunga mawar yang siap ia berikan kepada Aoi esoknya."Ya. Gue mulai suka sama Aoi. Selamat, lo berhasil buat hati gue sepenuhnya milik lo Aoi," Ryuji tersenyum. Ia benar-benar gila karena Aoi. Kenapa
Makoto bangun jam 4 subuh. Berkutat di dapur setelah sholat, Himarin melarangnya memasak."Aku pingin masak buat Aoi ma," ucap Makoto memelas. Ternyata masak tak semudah yang ia pikirkan.Dan Makoto memilih nasi goreng karena paling mudah. Tapi bumbunya ia tidak tau."Udah, mama aja yang masak. Ntar keasinan lagi, mending kamu nyapu rumah dulu ya. Sana," ujar Himarin lembut.Makoto menggeleng. "Mama masak nasi goreng kok enak? Bumbunya apa sih ma?" tanya Makoto kepo."Kalau itu rahasia. Udah sana nyapu, kalau mama yang masak pasti nagih mau lagi," ucap Himarin bangga. Hanya kali ini Makoto mau ke dapur, sebelumnya tak mau karena terciprat minyak goreng yang panas."Apa di goreng sama minyak juga ma?"Anaknya ini terlalu banyak tanya. Tapi lucu, Himarin suka itu."Iya. Nanti kamu kecipratan lagi mau? Panas loh," sengaja Himarin bohong, Makoto masak dapur sudah bukan lagi dapur, tap
"Aoi. Aku pinjem catatan Kimia ya? Besok janji deh aku balikin," pinta Haruka saat Aoi baru saja memasuki kelas.Aoi mengangguk. Memberikan buku tulis Kimia-nya."Tapi, besok balikinnya pagi-pagi aja. Pr dari bu Ima kan harus selesai besok juga," ucap Aoi, sekaligus mengingatkan Haruka yang mudah lupa.Haruka mulai menyalin catatan Aoi. Fumie mengomeli Haruka karena tidak berbagi."Ngomong dong daritadi. Kalau diem mana aku peka," gerutu Haruka kesal.Fumie mengernyit. Kenapa Haruka jadi curhat begini? Apa sudah mempunya gebetan? Hanya Bumi yang tau.Tak lama kemudian bu Beta datang. Pelajaran Fisika pun di mulai.***Haruka dan Fumie sudah berusaha mengajak Aoi ke perpustakaan. Tapi Aoi tidak mau."Kenapa? Padahal bau novel baru itu naikin mood Aoi.
Bel pulang berbunyi, Aoi sangat bosan berada di UKS sendirian.Akhirnya pulang juga, saat dirinya turun dari ranjang sebuah uluran tangan besar membuat Aoi tau siapa. Makoto lagi."Apa kondisimu sudah lebih baik?" tanya Makoto khawatir.Aoi mengangguk. Ia terlalu kejam mengabaikan Makoto, pria itu sudah berbuat banyak demi melindunginya."Ambilkan tasku di kelas," titah Aoi, rasanya senang juga tinggal duduk manis dan menyuruh Makoto."Biar aku suruh temanmu saja," Makoto mengirimkan pesan ke adiknya itu.Makoto menatap Aoi. "Masih sakit? Apa perlu kita ke rumah sakit saja? Sepertinya kondisimu sangat parah ya," ujar Makoto kasihan.Aoi berdecak kesal. Kenapa Makoto berlebihan? Memangnya ia sakit hati yang perlu di perikaakan ke dokter? Eh? Tidak akan pernah."Kenapa sih
Aoi tidak bisa tidur. Entah kenapa pikirannya bermasalah, selalu ada Makoto yang menjadi bayang-bayangnya."Kenapa mikirin dia sih? Bikin orang susah tidur aja," teriak Aoi frustasi. Untung saja kamarnya kedap suara, kalau tidak orang tuanya pasti khawatir.Entah kenapa tubuhnya panas, mulai bersin-bersin dan pusing."Pasti gara-gara kehujanan," Aoi menarik selimut sebatas dada, mencoba tidur meskipun sangat sulit.***Makoto sudah lebih sehat dari sebelumnya. Saatnya bersemangat menjemput Aoi.Saat sampai di rumah, Karin mengatakan Aoi sedang sakit. Tentu saja dirinya siaga jika calon istrinya itu sakit.Aoi tidur dengan wajah damainya. Makoto saja yang melihat itu terasa adem."Kalau tidur aja kayak putri salju yang nunggu pangerannya datang. Sekarang udah ada disini loh. Yakin gak mau bangun?" Makoto mengajak Aoi bicara, entah cewek judes itu dengar atau tidak.Aoi meras
Makoto tersenyum, akhirnya habis juga bubur buatannya. Aoi sangat doyan."Kamu istirahat sekarang. Biar besok bisa sekolah lagi," Makoto membenarkan rambut Aoi yang lupa di sisir.Aoi mengangguk. "Ya udah, sana pulang," usir Aoi ketus.Makoto menoleh, menatap Aoi. "Yakin nih? Masa gak kangen?""Gak! Mimpi aja dulu," Aoi masuk ke dalam rumah, biarkan saja Makoto berdiri sendirian disana.'Duh tambah gemes deh,' senang? Iya, apalagi menemani Aoi sakit. Sifat galaknya tidak pernah hilang.***Aoi sudah siap dengan seragamnya. Akhirnya ia bisa bersekolah lagi setelah dua hari di rumah saja.Saat ia berjalan menuju meja makan, tidak ada siapapun."Ma! Mama!" Aoi berteriak memanggil mamanya. Tumben banget sepi."Jam berapa sih?" Aoi menatap arloji di tangannya, masih jam 6."Orangnya gak ada, tapi makanannya ada. Aneh," Aoi duduk dan mengambil roti. 
Taiga melempar kertas dan tepat mengenai Ryuji yang tengah melamun.Ryuji menoleh. "Apa sih? Ganggu aja," ketusnya membuang kertas itu sembarangan."Jangan ngelamun. Perhatikan penjelasan pak Jiro. Mau maju di depan tapi gak bisa?"Ryuji mengangguk. "Iya-iya dasar cerewet," Ryuji menatap pak Jiro yang menjelaskan aljabar.***Saat bel istirahat berbunyi, Ryuji melangkah menuju kelas 12 Ipa 1."Aoi, ada Ryuji. Sana, kayaknya ngajak istirahat bareng," Haruka bisik-bisik, takut Fumie bangun.Aoi menutup buku Fisikanya. Akhirnya setelah dua hari tidak bertemu Ryuji, kalau saja tidak ada Makoto pasti waktunya hanya untuk Ryuji.Aoi menghampiri Ryuji. "Jadi kangen gak masuk dua hari," Aoi tersenyum kikuk."Sakit ya?" Ryuji mengecek dahi Aoi, normal.