Share

4 : Kenikmatan Semu

Author: Az Zidan
last update Huling Na-update: 2024-06-14 23:49:09

Jari-jari Sky mulai menjalari wajah Freya. Meniti pahatan sang agung yang tumbuh dan bernapas di hadapannya sekarang. Mulai dari hidung, mata, dahi, dagu, dan gerakannya terhenti di bibir Freya yang selalu tampak lembab dan basah.

Mata Freya terpejam demi menyelami rasa yang berkejaran di seluruh aliran darahnya. Syarafnya menegang dan tubuhnya bergetar hanya karena sentuhan lembut yang diberikan oleh Sky. Untuk sekian kalinya, Freya terrbuai.

Awal mula dari kehancurannya di masa depan. Permulaan dosa yang banyak digandrungi para pasangan di luar sana. Dosa yang terbungkus dengan kenikmatan dunia semu.

“Kau tidak akan menolakku bukan?” lirih Sky dengan suara yang hampir tidak terdengar.

“Apa yang kamu harap, Sky?” Freya membalas tatapan mata Sky yang tersirat akan rasa penasaran. Andai dia lebih berani, bukan pertanyaan itu yang terlontar. Melainkan ‘Justru aku yang begitu mengharapkanmu’ tetapi, nyali Freya tidak sebesar itu. setidaknya harus menjaga image.

“Kau— tidak ada yang lebih membuatku ragu kecuali kau, Babe,” rintihnya.

Sekarang, telapak tangan besar itu berada di tengkuk Freya. Ujung ibu jarinya masih mampu menyentuh bibir Freya dan mengelusnya seakan meminta izin untuk kembali meraupnya.

“Aku pun—” ucap Freya terhenti. Ia merasa harganya begitu murah.

Nyatanya, memang tidak pernah ada yang menjual mahal pada Sky. Bahkan dimiliki oleh pria itu secara cuma-cuma pun tidak akan ada ruginya. Wanita di luar sana juga akan melakukannya jika, pria itu sehebat dan seterkenal, Sky.

Tanpa menunggu lebih lama, keduanya kembali beradu mulut, bukan pertengkaran, melainkan peraduan yang manis. Saling bertukar saliva. Saling menyalurkan rasa penasaran yang menyerang secara bersamaan. Mengikis jarang yang hanya sejengkal demi mempererat dekapan.

Leguhan Freya terus lolos dengan mudah dari mulutnya. Jemari kurusnya menjerat rambut Sky yang mulai memanjang. Mengalirkan dan membagi apa yang diresahkan oleh Freya pada kekasihnya.

“Kau sungguh tidak akan menghentikanku?” ulang Sky. Ia hanya tidak ingin berhenti di tengah jalan setelah gairahnya memberontak dalam dirinya.

“Kau belum mencobanya, Sky,” balas Freya dengan suara parau.

Secara brutal, Sky kembali melumat bibir Freya dan kedua tangannya menanggalkan satu persatu pakaian yang dia kenakan. Kemudian milik Freya. Napas mereka memburu, seolah tengah marathon di siang bolong.

Sampai pada apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Hal yang seharusnya tidak terjadi dan menghancurkan kehidupan serta mimpi, Freya.

“Aku belum memasangnya, Babe,” tutur Sky terenggah. Ia belum menggunakan pengamannya. Namun, ia tidak kuasa menunggu walau hanya sekadar merobek bungkus dari alat kontrasepsi tersebut.

Freya justru menggeleng dan menatap penuh harap pada pria itu. Memuja, mendamba, dan sangat mengharapkan kehadirannya. Ia juga tidak kuasa menunggu barang satu menit lagi. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyingkirkan akal sehatnya, ya— nafsu.

“You can do it,” bisik Freya. Ia mendekatkan wajah Sky agar bisa menjangkau bibir pria itu. Menggigit bibir bawah Sky dengan mata terpejam erat.

Sky mendorong dirinya dan— semua akan berubah setelah kejadian itu. Mereka hilang arah, melakukan dosa termanis yang sebelumnya hanya menjadi anggan dan bayangan. Adegan demi adegan yang dulu hanya bisa dinikmati dari film semi erotik kini mereka peragakan. Mereka rasakan dan akan terus mereka ulang demi kepuasan.

Desahan panjang keluar dari mulut Sky, bahkan dia tidak sempat melepaskan diri dari kenikmatan yang tercipta. Mereka telah berbuat sangat jauh. Bahkan Freya tidak terlihat ketakutan. Keduanya menikmati penyatuan yang belum seharusnya.

**

“Kamu baik-baik saja, Freya?”  Tepukan disertai suara dari balik bahu Freya seketika membawa kesadarannya kembali. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk melamun di sana dan hujan masih setia mengguyur kota ini. Seakan semesta ikut menangis dan menyayangkan nasib malang Freya.

Perempuan itu membawa pandangan pada sosok yang basah kuyup di sisinya. Ia memang memakai payung tetapi, itu tidak berhasil menghalau tetesan air yang berjumlah ribuan kubik.

“Sean?” Mata Freya berkaca-kaca dia tidak percaya melihat pria itu sekarang.

“Ini khayalanku saja ‘kan?” gumamnya. Ia memejamkan matanya untuk mengusir pandangan mata yang sempat kabur. Dia kira, melihat Sean sekarang hanyalah delusi karena kesedihan yang menyerangnya. Karena rasa putus asa yang menjerat dirinya. Serta penyesalan yang menggulung kesadarannya.

“Tidak, ini benar aku. Aku sudah kembali.” Sean membelai lembut pipi Freya. Pria itu terkejut meraskab panasnya tubuh wanita itu. Dia demam. Mungkin karena, terlalu lama berada di luar ruangan.

“Kita masuk dulu, Freya. Kamu demam,” ajaknya. Hendak menarik pergelangan tangan Freya, tetapi ditolak oleh wanita itu.

“Tidak! Jauh-jauh dariku. Berhenti memberiku perhatian, Sean. Kita tidak akan bersama. Lupakan impianmu, lupakan aku, lupakan kita pernah bersama.” Freya menepis tangan Sean dengan kasar kemudian dia nekat berlari menembus hujan. Membiarkan tubuhnya basah oleh tangisan alam. Ia terus berlari menjauh dari Sean.

Akan tetapi, pria itu tidak berdiam diri semata. Ia mengejar Freya. “Tunggu, Freya. Tidak masalah jika kau membenciku. Setidaknya pikirkan bayimu.”

“Berhenti ikut campur urusan bayiku, Sean! Kamu bukan siapa-siapa baginya, jangan berbuat lebih jauh!” bentak, Freya. Ia masih saja keras kepala.

“Tidak bisa, Freya. Kamu boleh saja mengacuhkan aku, tapi kamu tidak berhak menjauhkanku darinya. Dia keponakanku. Jika, Sky tidak mau bertanggung jawab, aku siap menjadi ayahnya.”

“Hentikan! Kau sungguh tuli, Sean?! Aku katakan ratusan kali, jangan pernah bermimpi untuk menikahiku! Aku lebih baik menjadi wanita hina dengan hamil tanpa suami ketimbang harus menikah denganmu!” Kembali, ia menjauh dari pria itu.

Namun, tak gentar juga Sean memaksa gadis kepala batu itu. “Aku tidak akan menyerah, Freya. Aku akan berjuang untukmu. Untuk anakmu dan buah hatimu,” tutur Sean dengan sungguh-sungguh.

Freya menangis. Air matanya tersapu oleh hujan seketika. Wajahnya parau. Ia menatap muka Sean dengan saksama kemudian memeluk tubuh jangkung di hadapannya. Dia merasa tidak pantas untuk laki-laki itu. Namun, sampai detik ini juga, Freya tidak mampu berdiri sendiri.

“Apa salahku? Kenapa Sky tidak mau menikahiku, Sean? Apakah aku wanita yang buruk?”

“Bukan. Kamu bukan wanita buruk, Freya. Dia mencintaimu. Dia menyukaimu. Kamu tahu betul alasannya. Sky memiliki impian yang sejak dulu ingin dia raih. Impian ayah kita.”

“Tapi, Ayahmu dan ayahnya sudah tiada ‘kan? Kenapa dia harus melanjutkan apa yang tidak seharusnya dia lakukan, Sean?”

Pria itu mendekap kian erat tubuh Freya yang menggigil. Membiarkan hujan membalut tubuh mereka, Sean sudah kehilangan payung biru miliknya sejak mengejar gadis itu.

“Kemarilah.” Sean membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Menyalakan penghangat di bangku kemudi dan satu bangku di sebelahnya.

Sean juga meraih jas yang ada di bangku belakang. Ia tutup kedua bahu Freya agar lebih hangat. Bibir gadis itu pucat, badannya menggigil. Sean menggenggam tangan kurus Freya dengan sesekali meniupnya.

“Jangan pikirkan hal lain kecuali kesehatanmu dan janinnya, ya. Bolehkah aku minta kau untuk bedrest, Freya?”

“Aku—"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   97 : Enam Tahun Terlewat

    Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   96 : Bertemu Kembali

    Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   95 : Kedatangan Zia

    Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   94 : Penjelasan

    Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   93 : Desas-Desus

    Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   92 : Akad Nikah

    Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status