Seorang pria setengah paruh baya nampak keluar dari mobil yang nyaris Adit tabrak. Pria setengah paruh baya itu mengetuk kaca mobil dengan keras."Keluar!" sentaknya.Tara melirik kearah kaca mobil, ia tersentak kaget saat tahu pria setengah baya itu."Ayah?" bisik Tara pelan.Adit menoleh kearah Tara, "Non, tunggu sebentar saya akan urus ini."Tara menunggu di dalam mobil dengan hati yang tidak tenang, ia tidak ingin ayahnya sampai tahu kalau ia ada di dalam mobil itu.Ia memperhatikan dari dalam kaca mobil, ayahnya nampak sangat marah saat berseteru dengan Adit. Namun tiba tiba saja, amarah di wajah sang Ayah seketika hilang saat Adit mengeluarkan kartu nama dari saku celananya.Tara tak bisa mendengar percakapan Ayahnya dengan Adit sang pengawal, namun ia buru buru menundukan wajahnya, saat sang Ayah mulai mendekat kearah mobilnya."sekali lagi saya minta maaf atas kesalahpahaman ini, apakah mobil Pak Adit ada yang lecet?" tanya Ayah Tara."Tidak ada yang lecet, kalau begitu saya h
Sampai tiba di depan pintu rumah, Dewa masih terkekeh sembari memegangi perutnya, menahan rasa geli mengingat Liora juga Samuel."Gak cape apa dari tadi ketawa terus, bingung juga apa yang lucu," ujar Tara.Dewa menatap Tara, tawanya masih juga belum berhenti, ia lantas membuka handle pintu, saat memasuki ruang tamu terlihat Oma sedang menatap bingkai foto dengan tatapan sedih.Seketika wajah Dewa berubah, tawa itu hilang bergantikan dengan rasa sedih melihat sang Oma yang terpuruk kehilangan putra untuk yang kedua kali.Dewa dan Tara lantas menghampiri Oma, duduk disamping Oma untuk menghilangkan rasa sedih juga rasa kesepiannya."Dewa... ayahmu sudah pergi, gak ada lagi yang menemani Oma makan malam, kamu pasti akan pergi lagi kan?" ujar Oma air matanya menetes begitu saja.Dewa berlutut diahadapan Oma nya, menghapus air mata diantara pipi kiri juga kanan."Oma... Dewa akan tetap disini menemani Oma, apalagi sekarang ada Tara," kata Dewa dengan nada lembut."Aku juga akan menggantik
"Itu kan Kak Liora," bisik Tara pelan pada Dewa.Langkah kaki mereka masih terhenti menyaksikan Liora yang sedang bertengkar kecil dengan pacarnya.Mereka menunggu Liora dan kekasih barunya lebih dulu pergi, karena Dewa sama sekali tidak ingin berpapasan dengan Liora."Yang kemarin aja kamu belum balikin uangnya, sekarang udah pinjam lagi," nada suara Liora meninggi, tak peduli didengar orang."Card kreditku keblokir, sayang. Besok atau lusa kalau udah beres, aku ganti dua kali lipat," balas pria itu, dengan senyum santai yang terdengar murahan.Dewa menahan tawa. Ia mengenal tipe seperti pria itu, hanya manis di mulut, kosong dalam tindakan. Kata-katanya sudah seperti naskah lama yang diputar ulang.Ironis. Demi pria seperti itu, Liora tega mengakhiri hubungannya bersama Dewa.Tara melirik Dewa, mencoba membaca ekspresi wajah Dewa."Kak Dewa kenapa ketawa?" tanyanya pelan."Kamu tahu, pria model begitu cuma pandai mengobral janji," jawab Dewa dengan senyum yang lebih getir daripada g
Suasana di pemakaman mulai sepi. Dewa dan Tara bergegas turun dari mobil, langkah mereka cepat, hampir tak terdengar di antara deru angin sore yang menggoyang dedaunan. Mereka mendekati makam Abimana, yang dikubur di samping makam ibunda Dewa dan makam adik Abimana."Di sebelah kanan makam, Mamah. Di sebelah kiri, adik Ayah… Arman, yang sebenarnya Ayah kandungku," ujar Dewa pelan, nyaris seperti bisikan yang pecah di udara sunyi.Tara menatap ketiga makam tersebut, makam yang memiliki cerita juga hubungan erat, cinta segitiga yang berakhir dengan kematian.Sulit dibayangkan bagaimana perasaan Dewa saat tahu bahwa dirinya adalah anak hasil perselingkuhan ibunya sendiri dengan adik iparnya. Tara bisa merasakan luka itu, terbungkus dalam diam Dewa yang terlihat tenang, tapi penuh gejolak."Kenapa aku merasa Pak Abimana sangat menyayangi Kak Dewa..." ucap Tara, setengah bertanya."Itu hanya perasaanmu saja," jawab Dewa, cepat dan datar, seperti ingin segera mengakhiri topik itu.Terlalu s
Mereka adalah orang tua Tara, juga Liora sang kakak. Tatapan mereka terlihat bingung melihat Tara berada di kediaman rumah Abimana, rekan bisnis Danu, ayah Tara."Sedang apa kamu di rumah Pak Abimana?" tanya Danu dengan nada datar namun penuh tanya."Aku tinggal di sini, Ayah," jawab Tara dengan tenang.Kening kedua orang tua Tara mengerut dalam. Mereka saling menatap, seolah tak percaya dengan ucapan putri mereka. Bagi mereka, Tara seperti sedang berhalusinasi."Jangan mengada-ada, Tara. Ini rumah Pak Abimana. Ada hubungan apa kamu dengan Pak Abimana sampai bisa tinggal di sini?" Danu kembali bertanya, suaranya mulai meninggi."Pak Abimana itu ayahnya Kak Dewa," jawab Tara, tenang namun pasti.Kedua orang tua Tara mendengus tak percaya. Liora tertawa pelan, penuh ejekan, seolah Tara baru saja mengarang cerita."Halusinasi kamu tinggi, Tara. Bagaimana mungkin Pak Abimana, pemilik perusahaan elektronik terbesar, adalah ayahnya Dewa?" sahut Liora mencibir.Tatapan mata Tara berubah taja
"Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.