LOGINJam menunjukkan pukul 2.10 pagi ketika Naila tiba di vila mewah itu. Udara dingin masih menempel, embun menutup kaca mobilnya. Langit gelap, hanya sedikit semburat biru dari timur. Vila tampak sunyi, namun cahaya samar terlihat dari dalam.
Dengan tangan gemetar ia mengetik kode pintu. Bunyi klik terdengar, lampu ruang tamu menyala otomatis, menyingkap marmer pucat dan kekacauan yang mencolok, jas pria di kursi, sepatu hak tinggi tergeletak, lingerie hitam di tangga.
Rasanya seperti masuk ke dalam naskah sandiwara murahan. Tapi tak ada yang lucu. Tidak malam ini.
Jarak dari ruang tamu ke kamar tak sampai lima meter, tapi bagai lorong gelap yang memanjang tanpa ujung.
Bahkan dari ujung lorong, Naila bisa mendengar suara erang diikuti bisik manja percakapan.
Setiap potongan kain di lantai seperti narasi visual dari sesuatu yang begitu mendesak dan liar.
Pintu kamar sedikit terbuka, dan Naila berhenti. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu, seperti menyentuh bara api. Tangannya mendorong pintu yang tidak tertutup rapat. Engsel berderit, dan pemandangan di dalam menghantam Naila.
Sepasang tubuh telanjang, saling melilit dalam keintiman panas yang membuat jantungnya runtuh.
“...ah, istrimu menolak ini?” bisik sang perempuan diikuti erangan dan tawa manja.
“Ada bagusnya dia menolak,” jawab sang pria yang semakin meyakinkan Naila bahwa itu adalah suaminya. “Jadi aku bisa lebih menikmati tubuhmu.”
“Mhm… Lebih enak sama aku?”
“Lebih enak sama kamu,” jawab Rama diikuti sebuah geraman.
“Ughh … kalau begitu, kenapa kamu menikahinya? Ceraikan saja dia, jadi kita bisa bermain dengan bebas,” ucap wanita itu di sela kenikmatannya.
Rama tampak berhenti sejenak, mencium bibir sang wanita, lalu berkata, “Aku hanya ingin menaklukkannya, sekarang dia sudah di genggamanku, jadi aku tidak butuh dia lagi. Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk menceraikannya.”
Setelah itu, Rama kembali bergerak di atas tubuh sang wanita, membuat mereka kembali mengerang dalam irama yang semakin cepat.
Naila membeku. Dadanya sesak. Tangan yang menggenggam kusen pintu mencengkeram begitu kuat hingga memucat, meninggalkan jejak merah di telapak.
Suara petir yang menggema di kejauhan terdengar lebih sunyi dibanding jeritan dalam hatinya.
Dalam detik itu, semua tahun-tahun bersama Rama kembali menyeruak.
Delapan tahun. Dari mahasiswa idealis hingga pasangan suami istri yang selalu dikagumi. Dari perjuangan skripsi, kafe kecil tempat mereka bertukar mimpi, sampai janji suci di altar putih.
Naila teringat pada senyum laki-laki itu saat melamar, pada malam-malam penuh tawa dan pelukan.
Semua itu retak malam ini. Berkeping-keping.
Naila membalikkan badan. Tak ada isak. Hanya napas tercekat dan langkah tergesa menuju mobil.
Udara luar masih menusuk, tapi yang membekukan adalah kenyataan yang terus berputar di pikirannya.
Naila menyetir tanpa tujuan, seperti sedang mencoba melarikan diri dari dirinya sendiri.
***
Hampir 1 jam lebih sudah Naila duduk di salah satu bar kecil di kawasan Senopati. Entah berapa botol yang ia minum dan kepalanya mulai terasa pusing.
Kepala Naila berat, seperti ada palu godam yang terus mengetuk pelipisnya. Gelas terakhir yang ia genggam pun jatuh begitu saja ke meja, isinya tumpah setengah, membuat noda basah bercampur aroma asam alkohol.
Tawa pria-pria di meja sebelah terdengar seperti gema aneh dari lorong kosong, membuat Naila semakin ingin kabur dari realitas. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu mengusap rambutnya yang lengket keringat.
“Aku nggak bisa pulang… aku nggak bisa lihat dia lagi,” bisiknya lirih, setengah pada dirinya sendiri, setengah pada udara yang berat dengan asap rokok.
Seorang bartender yang sejak tadi mengawasinya mendekat, meletakkan segelas air putih di depannya.
“Mbak, mungkin lebih baik istirahat dulu. Kalau butuh saya bisa panggil taksi,” katanya hati-hati.
Naila hanya mengangguk samar. Tubuhnya digerakkan oleh insting, bukan kesadaran.
Dengan langkah terhuyung ia keluar dari bar, melewati lampu-lampu kota Jakarta yang menyilaukan matanya.
Jalanan terasa bergoyang, seakan trotoar pun ikut mabuk bersamanya.
Tanpa rencana, tanpa tujuan, ia menghentikan taksi pertama yang lewat.
“Hotel… hotel yang bagus, yang ada di deket sini,” ucapnya terbata. Supir hanya melirik lewat kaca spion, lalu mengemudi ke arah Sudirman.
Beberapa menit kemudian, Naila berdiri di lobi hotel bintang lima, tubuhnya nyaris roboh ditelan kelelahan.
Kilau marmer putih, chandelier megah, dan aroma bunga segar di vas kristal terasa asing, kontras sekali dengan hatinya yang remuk.
Resepsionis menyambut dengan senyum profesional, meski tatapannya sempat berhenti sejenak pada kondisi Naila yang kacau.
Dengan suara serak, Naila hanya berkata, “Satu kamar… apa aja. Tolong.”
Usai mendapat kartu kamar, Naila menuju lift dengan langkah gontai.
Di dalam lift, Naila memencet lantai yang tertera di kartu. Lampu hijau menyala. Ia menyandarkan kepala ke dinding logam, dingin dan sunyi.
Matanya berat, tubuhnya lelah, bukan karena mabuk semata, tapi karena beban kehilangan yang belum selesai dibicarakan.
Ketika pintu lift terbuka, ia melangkah pelan ke lorong hotel yang hening, dengan dinding krem dan karpet empuk yang seolah mengajak siapa pun untuk melupakan dunia.
Tapi Naila tahu, tidur pun tak akan cukup untuk membuatnya lupa.
Naila menatap angka kamar sambil bergumam, “Delapan… sembilan… satu… sembilan.”
Kartu akses ditempelkan, tapi sebelum terdengar bip, pintu justru terbuka dari dalam.
Naila membeku.
Dari balik pintu, aroma pinus yang familiar menyergapnya. Belum sempat bereaksi, sebuah tangan besar menariknya masuk.
Pintu menutup cepat, tubuhnya terbentur, dan siluet tinggi menghimpitnya dalam gelap. Napas hangat pria itu terlalu dekat, hingga bibirnya langsung dibungkam ciuman kasar yang membuatnya tersentak.
“Mmmph!” Naila menggeliat, panik, tubuhnya mencoba melawan tapi tak cukup kuat. Alkohol telah melemahkannya.
Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s
Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na
Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i
Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum
Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h
Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta







