Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menikahi Paman Suamiku / BAB 2: Saling Memeluk Intim

Share

BAB 2: Saling Memeluk Intim

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-06-03 16:59:41

Jam menunjukkan pukul 2.10 pagi ketika Naila tiba di vila mewah itu. Udara dingin masih menempel, embun menutup kaca mobilnya. Langit gelap, hanya sedikit semburat biru dari timur. Vila tampak sunyi, namun cahaya samar terlihat dari dalam.

Dengan tangan gemetar ia mengetik kode pintu. Bunyi klik terdengar, lampu ruang tamu menyala otomatis, menyingkap marmer pucat dan kekacauan yang mencolok, jas pria di kursi, sepatu hak tinggi tergeletak, lingerie hitam di tangga.

Rasanya seperti masuk ke dalam naskah sandiwara murahan. Tapi tak ada yang lucu. Tidak malam ini.

Jarak dari ruang tamu ke kamar tak sampai lima meter, tapi bagai lorong gelap yang memanjang tanpa ujung. 

Bahkan dari ujung lorong, Naila bisa mendengar suara erang diikuti bisik manja percakapan. 

Setiap potongan kain di lantai seperti narasi visual dari sesuatu yang begitu mendesak dan liar. 

Pintu kamar sedikit terbuka, dan Naila berhenti. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu, seperti menyentuh bara api.  Tangannya mendorong pintu yang tidak tertutup rapat. Engsel berderit, dan pemandangan di dalam menghantam Naila.

Sepasang tubuh telanjang, saling melilit dalam keintiman panas yang membuat jantungnya runtuh.

“...ah, istrimu menolak ini?” bisik sang perempuan diikuti erangan dan tawa manja.

“Ada bagusnya dia menolak,” jawab sang pria yang semakin meyakinkan Naila bahwa itu adalah suaminya. “Jadi aku bisa lebih menikmati tubuhmu.”

“Mhm… Lebih enak sama aku?”

“Lebih enak sama kamu,” jawab Rama diikuti sebuah geraman.

“Ughh … kalau begitu, kenapa kamu menikahinya? Ceraikan saja dia, jadi kita bisa bermain dengan bebas,” ucap wanita itu di sela kenikmatannya.

Rama tampak berhenti sejenak, mencium bibir sang wanita, lalu berkata, “Aku hanya ingin menaklukkannya, sekarang dia sudah di genggamanku, jadi aku tidak butuh dia lagi. Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk menceraikannya.”

Setelah itu, Rama kembali bergerak di atas tubuh sang wanita, membuat mereka kembali mengerang dalam irama yang semakin cepat.

Naila membeku. Dadanya sesak. Tangan yang menggenggam kusen pintu mencengkeram begitu kuat hingga memucat, meninggalkan jejak merah di telapak.

Suara petir yang menggema di kejauhan terdengar lebih sunyi dibanding jeritan dalam hatinya.

Dalam detik itu, semua tahun-tahun bersama Rama kembali menyeruak. 

Delapan tahun. Dari mahasiswa idealis hingga pasangan suami istri yang selalu dikagumi. Dari perjuangan skripsi, kafe kecil tempat mereka bertukar mimpi, sampai janji suci di altar putih.

Naila teringat pada senyum laki-laki itu saat melamar, pada malam-malam penuh tawa dan pelukan.

Semua itu retak malam ini. Berkeping-keping.

Naila membalikkan badan. Tak ada isak. Hanya napas tercekat dan langkah tergesa menuju mobil. 

Udara luar masih menusuk, tapi yang membekukan adalah kenyataan yang terus berputar di pikirannya. 

Naila menyetir tanpa tujuan, seperti sedang mencoba melarikan diri dari dirinya sendiri.

***

Hampir 1 jam lebih sudah Naila duduk di salah satu bar kecil di kawasan Senopati. Entah berapa botol yang ia minum dan kepalanya mulai terasa pusing. 

Kepala Naila berat, seperti ada palu godam yang terus mengetuk pelipisnya. Gelas terakhir yang ia genggam pun jatuh begitu saja ke meja, isinya tumpah setengah, membuat noda basah bercampur aroma asam alkohol. 

Tawa pria-pria di meja sebelah terdengar seperti gema aneh dari lorong kosong, membuat Naila semakin ingin kabur dari realitas. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu mengusap rambutnya yang lengket keringat. 

“Aku nggak bisa pulang… aku nggak bisa lihat dia lagi,” bisiknya lirih, setengah pada dirinya sendiri, setengah pada udara yang berat dengan asap rokok.

Seorang bartender yang sejak tadi mengawasinya mendekat, meletakkan segelas air putih di depannya. 

“Mbak, mungkin lebih baik istirahat dulu. Kalau butuh saya bisa panggil taksi,” katanya hati-hati.

Naila hanya mengangguk samar. Tubuhnya digerakkan oleh insting, bukan kesadaran. 

Dengan langkah terhuyung ia keluar dari bar, melewati lampu-lampu kota Jakarta yang menyilaukan matanya. 

Jalanan terasa bergoyang, seakan trotoar pun ikut mabuk bersamanya.

Tanpa rencana, tanpa tujuan, ia menghentikan taksi pertama yang lewat.

“Hotel… hotel yang bagus, yang ada di deket sini,” ucapnya terbata. Supir hanya melirik lewat kaca spion, lalu mengemudi ke arah Sudirman.

Beberapa menit kemudian, Naila berdiri di lobi hotel bintang lima, tubuhnya nyaris roboh ditelan kelelahan. 

Kilau marmer putih, chandelier megah, dan aroma bunga segar di vas kristal terasa asing, kontras sekali dengan hatinya yang remuk. 

Resepsionis menyambut dengan senyum profesional, meski tatapannya sempat berhenti sejenak pada kondisi Naila yang kacau.

Dengan suara serak, Naila hanya berkata, “Satu kamar… apa aja. Tolong.”

Usai mendapat kartu kamar, Naila menuju lift dengan langkah gontai.

Di dalam lift, Naila memencet lantai yang tertera di kartu. Lampu hijau menyala. Ia menyandarkan kepala ke dinding logam, dingin dan sunyi. 

Matanya berat, tubuhnya lelah, bukan karena mabuk semata, tapi karena beban kehilangan yang belum selesai dibicarakan.

Ketika pintu lift terbuka, ia melangkah pelan ke lorong hotel yang hening, dengan dinding krem dan karpet empuk yang seolah mengajak siapa pun untuk melupakan dunia.

Tapi Naila tahu, tidur pun tak akan cukup untuk membuatnya lupa.

Naila menatap angka kamar sambil bergumam, “Delapan… sembilan… satu… sembilan.”

Kartu akses ditempelkan, tapi sebelum terdengar bip, pintu justru terbuka dari dalam.

Naila membeku.

Dari balik pintu, aroma pinus yang familiar menyergapnya. Belum sempat bereaksi, sebuah tangan besar menariknya masuk.

Pintu menutup cepat, tubuhnya terbentur, dan siluet tinggi menghimpitnya dalam gelap. Napas hangat pria itu terlalu dekat, hingga bibirnya langsung dibungkam ciuman kasar yang membuatnya tersentak.

“Mmmph!” Naila menggeliat, panik, tubuhnya mencoba melawan tapi tak cukup kuat. Alkohol telah melemahkannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 14: Aku Bersyukur atas Perhatianmu

    Dunia seakan berhenti. Ponsel dalam genggaman Naila bergetar pelan, seolah makhluk kecil yang tak lelah mengusik ketenangan, tapi justru membuat jari-jarinya semakin kaku mencengkeram.Ujung kukunya menekan kulit hingga memutih. Sunyi merambat di dadanya, hanya suara napas berat yang terputus-putus, naik turun, seperti Naila sedang berusaha meraih udara di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung dirinya.Dengan gerakan cepat namun gemetar, Naila mengetuk layar, mengambil tangkapan pesan itu, lalu langsung mengirimkannya pada Rama. Ia tidak menambahkan sepatah kata pun. Tak ada kebutuhan untuk menjelaskan, tak ada ruang untuk alasan.Setelah itu, tanpa ragu, Naila menekan satu tombol terakhir: blokir. Jessie lenyap dari daftar kontaknya, tapi tidak dari ingatannya.

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 13: Kamu Masih Marah?

    Lorong menuju laboratorium berbau dingin, seolah dindingnya menyerap setiap langkah yang lewat. Aroma logam tua berpadu dengan lembap cat yang memudar, membuat napas sedikit berat.Di ujung lorong, pintu besi bercat putih gading berdiri tegak. Bahkan sebelum pintu itu terbuka, bau khas kimia sudah menyelinap masuk: alkohol menusuk, resin berbau getir, dan jejak logam samar yang membuat lidah seperti berkarat.Begitu pintu didorong, ruangan penuh cahaya lampu neon menyambut. Kilau kaca tabung reaksi memantulkan sinar, membuat meja-meja kerja tampak seperti permukaan danau yang pecah oleh riak kecil.Suara berdenting alat gelas bercampur dengan bisikan diskusi para peneliti, menciptakan musik latar yang hanya dimengerti mereka yang terbiasa hidup di dunia eksperimen.

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 12: Seperti Kucing Kehujanan

    Di luar, hujan mencakar bumi tanpa ampun. Butir-butirnya jatuh deras, berderai seperti rentetan benang perak yang dijatuhkan langit dengan murka. Trotoar basah berkilau di bawah lampu jalan, memantulkan cahaya temaram yang pecah di genangan air.Naila berdiri di sana, tubuhnya sedikit terbungkuk, jemari mungilnya mencengkeram erat kantong belanjaan hingga plastiknya berderit pelan.Udara dingin menusuk kulit, membuat napasnya berembus tipis-tipis. Perempuan itu melirik layar ponsel, jempolnya sempat melayang di atas ikon aplikasi taksi online.Satu tarikan napas lagi mungkin akan membuatnya menekan, kalau saja mobil hitam dengan bodi mengilap itu tidak berhenti tepat di depannya.Maybach. Jendela belakang perlahan turun, menyingkap wajah Galih Santosa y

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 11: Seperti Kelinci yang Menggigit

    Keesokan paginya, di sebuah kantor agen properti kecil di Tebet, tangan Naila sempat bergetar ketika pena menyentuh kertas. Garis tanda tangannya tak hanya sekadar formalitas—itu adalah kunci keputusan besar: sebuah apartemen mungil untuk satu tahun penuh. Satu tahun tanpa Rama.Uang sewa tiga bulan Naila serahkan. Beberapa lembar bukti pembayaran berpindah tangan, dan tatapannya jatuh pada angka-angka itu. Hatinya berdenyut campur aduk. Dompet perempuan itu kini menipis, hanya tersisa beberapa lembar lusuh, bahkan tak cukup untuk membeli tas kerja mahal baru. Namun di balik cemas itu, ada sensasi aneh yang menyelinap. Seperti beban besi yang akhirnya terguling dari bahunya.Unit apartemen mungil itu menyambut dengan kesunyian. Aroma cat dinding masih samar, bercampur dengan bau debu lembap yang lama terkurung. Lantai keramik memantulkan cahaya siang, licin tapi berlapis debu tipis. Naila membuka jendela; angin membawa masuk bau hujan yang masih segar. Dengan tangan kecilnya ia me

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 10: Nggak Akan Biarin Kamu Pergi

    “Perceraian enggak bisa buru-buru,” ucap Naila pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri lebih daripada Larasati yang duduk di seberang. Suaranya serak tapi tegas, seperti seseorang yang memaksa diri berdiri di atas tanah yang rapuh. “Sekarang aku fokus cari kerja dan tempat tinggal dulu. Sisanya nyusul.”Larasati, yang sejak awal menjadi saksi retakan rumah tangga Naila, menatap sahabatnya itu dengan mata cemas. Tatapan itu penuh tanya, penuh keraguan, tapi ada pula tekad untuk tidak menambah berat beban. Kedua tangannya yang menggenggam gelas tampak sedikit gemetar, tapi senyumnya berusaha menenangkan.“Kalau gitu, aku izin setengah hari ya,” katanya, nada suaranya setengah memohon, setengah bersikeras. “Aku temenin kamu cari apartemen.”Naila menggeleng lembut. Gerakan kecil itu tegas, meski ia berusaha menyampaikannya tanpa menyakiti. “Enggak usah repot. Aku bisa sendiri.”Larasati sempat terdiam, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. Wajahnya tertunduk sebentar, sebelum ia

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 9: Anak Itu Tidak Boleh Lahir

    Sementara itu, di kantor yang hampir gelap, hanya cahaya monitor menerangi wajah Rama. Guratan lelah mengintai di balik rahang kerasnya. Jemarinya mengetik gugup:Bagaimana caranya mendapatkan kembali hati istri setelah berselingkuh?Balasan berdatangan cepat. Kebanyakan menyarankan cerai. Rambut di tengkuknya berdiri. Ia marah, panas, tak rela. Dengan kasar ia hapus postingan itu, seolah setiap kalimat adalah tamparan.Belum sempat mematikan laptop, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat perutnya mual: Jessie.***Rama duduk terpaku, mendengarkan suara isakan Jessie dari ujung telepon yang semakin menekan telinga.Kesal, Rama merogoh saku, menyalakan rokok. Asap tipis mengepul, melayang ke udara seperti doa yang ditolak. Tarikan panjang ia hembuskan kasar, seolah berharap semua kerumitan ikut lenyap bersama kepulan putih itu.“Kalau kamu nggak mau gugurkan, aku punya cara buat memastikan kamu nggak akan bisa lahiran,” ucapnya dingin. Suaranya tenang, tapi justru karena ketenan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status