Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menikahi Paman Suamiku / BAB 1: Baju Tidur yang Sempit

Share

Terpaksa Menikahi Paman Suamiku
Terpaksa Menikahi Paman Suamiku
Author: Rizki Adinda

BAB 1: Baju Tidur yang Sempit

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-06-03 15:56:52

[Baju tidur baruku kayaknya agak sempit. Mau ke sini buat cek, muat apa nggak?]

Nayla Jayantaka tengah duduk di ujung sofa rumahnya, jemarinya menyisir layar ponsel tanpa tujuan, hingga sebuah notifikasi dari ponsel Rama di sampingnya menarik perhatian.

Layarnya menyala. Dan nama itu terpampang jelas.

Jessie Citratama.

Naila mengenali nama itu, tentu saja. Itu adalah nama sekretaris suaminya, Rama. Hanya saja, isi pesannya membuat udara di sekelilingnya seolah tekanannya berubah.

Ketika Nayla membuka pesan itu, terlampir sebuah foto, seorang perempuan berambut panjang, mengenakan slip dress merah menyala dengan potongan leher V yang turun terlalu dalam dan belahan dada menjuntai. 

Kulit wanita itu bersinar di bawah cahaya kuning keemasan, seolah baru mandi, dan senyumnya setengah menggoda, seakan tahu tengah ditonton seseorang yang seharusnya tidak melihatnya.

Genggaman Naila pada ponsel itu mengencang, jemarinya sampai memutih. Ia mengulir percakapan itu ke atas, mencari bukti lain, membaca riwayat pesan mereka. Semua tampak biasa saja. 

Formal. Profesional. Tidak ada tanda-tanda genit atau gurauan intim sebelumnya.

Apa ini salah kirim? Ataukah…? 

Pikiran itu belum sempat selesai ketika sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.

Rama.

Nafas pria itu terasa hangat di telinga Naila, dan tubuhnya yang tinggi serta kokoh menunduk, membelai dengan suara rendah yang biasa membuat Naila lemas.

"Sayang, aku udah mandi," bisik Rama pelan, lalu menggigit manja cuping telinga Naila. Suaranya rendah, serak, seperti biasa saat sedang menggoda. "Mau di sofa atau di ranjang?"

Suara itu manja dan penuh godaan, aroma sabun mandinya masih segar, berpadu dengan wangi tubuh khas Rama yang selama ini membuat Naila nyaman, aman, dan... miliknya.

Tapi malam ini, aroma itu justru menyesakkan.

Naila baru saja memasuki bulan ketiga dalam upayanya untuk hamil. Jadi, tidak heran jika ia dan Rama sering melakukan hubungan suami istri.

Belum sempat Naila menjawab, Rama dengan lincah mengangkat tubuhnya dan membaringkannya ke sofa empuk berbalut kain abu-abu. Tubuh tinggi Rama kini membayangi wajahnya.

“Karena kamu nggak jawab, aku pilih ya. Di sofa aja,” kata Rama dengan senyum yang biasanya memikat, tapi malam ini terasa seperti pertunjukan.

Wajah Naila memerah. Bukan karena malu semata, tapi karena konflik yang mulai bergejolak di dalam dadanya. 

Naila masih tampak cantik, tetapi malam itu, pipinya yang merona, lembut seperti daging buah persik matang di bawah cahaya lampu temaram, membuatnya tampak seperti potret hangat dari buku puisi cinta yang lusuh.

Rama menunduk, hendak menciumnya.

Namun, Naila memalingkan wajahnya.

Gerakan itu membuat waktu seperti berhenti sejenak.

Rama menatap Naila, bingung. Dahi lelaki itu berkerut, dan sorot matanya berubah, dari hasrat menjadi cemas. "Sayang, kenapa?"

Naila menatap suaminya dalam diam.

Sekilas, Rama melihat keraguan di sorot mata Naila, itu membuat waktu seperti berhenti sejenak. 

Rama merasa bingung. Dahinya berkerut, dan sorot matanya berubah, dari hasrat menjadi cemas.

Melihat ekspresi itu muncul di wajah sang suami, sesuatu yang tak pernah Naila lihat bahkan saat Rama menghadapi rapat dewan direksi.  Tatapan itu melunak hatinya, tapi bayangan foto tadi terus menghantui pikirannya.

Pelan-pelan, Naila mengangkat ponsel lalu memperlihatkan foto dan pesan yang menyayat hatinya. “Jelaskan ini dulu.”

Rama memicingkan mata. Matanya menatap layar, lalu ekspresinya berubah drastis. Wajahnya mengeras, rahangnya mengencang. Ia meraih ponselnya, membuka kontak, dan langsung menelepon.

Sambungan cepat diangkat. Suara perempuan muda terdengar ragu di seberang. “Pak Rama, ada yang bisa saya bantu?”

“Jessie,” suara Rama berubah datar, bahkan dingin. “Saya nggak tahu kalau sekretaris saya sekarang juga buka jasa ‘hiburan malam’.”

Sunyi. Detik yang terasa panjang.

“Ma-Maaf, Pak! Pesan itu seharusnya saya kirim ke pacar saya. Saya salah kirim, sungguh!” ujar Jessie langsung setelah menyadari maksud ucapan Rama.

“Kalau kejadian kayak gini terulang lagi,” potong Rama, suaranya menukik tajam, “langsung kemasi barang dan keluar dari kantor saya.”

Telepon ditutup.

Rama menatap Naila. Kali ini tidak lagi dengan kemarahan, tapi dengan sorot yang lebih lembut, mungkin bahkan menyesal.

“Itu salah kirim, Sayang. Tapi kalau kamu masih marah, besok aku pecat dia. Malam ini udah larut. Jangan buang energi buat orang yang nggak penting. Kita udah seminggu nggak ketemu. Malam ini kamu harus balas rinduku.” Rama menarik wajah Naila, mencoba menciumnya.

Tapi Naila menghindar.

“Aku capek,” bisik Naila lirih. “Lanjut besok aja.”

Sekilas, ada bayangan kecewa melintas di wajah Rama. Tapi hanya sesaat.

“Ya udah,” ujar Rama akhirnya. “Kamu tidur duluan, aku ke ruang kerja. Masih ada laporan yang harus dicek.”

Naila mengangguk tanpa suara.

***

Malam merambat makin dalam. Hujan turun deras, menepuk-nepuk jendela seperti jari-jari waktu yang tak sabar. Petir sesekali menyambar, memecah langit Jakarta.

Naila terbangun. Matanya menatap ke arah sisi ranjang yang kosong. Ia meraba, dan hanya menemukan dingin yang diam.

Jam menunjukkan pukul 01.16.

Rama belum juga kembali.

Nayla bangkit, menyelimuti tubuhnya dengan jubah tipis, lalu berjalan menuju ruang kerja. Suara hujan menemani langkahnya yang pelan. Tapi saat pintu dibuka, kegelapan menyambut. Ruangan itu kosong. Sepi.

Tangan Naila mencengkeram kenop pintu. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Sesuatu yang tak bisa ia namai, tapi terasa nyata.

Tiba-tiba, ponselnya yang ia letakkan di jubah bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Layar ponsel menyala terang, memantulkan kilat di jendela.

Naila tahu, instingnya tahu, membuka pesan itu bisa mengubah segalanya. Tapi jari-jarinya, tanpa sadar, menyentuh layar.

[Masih bangun? Karena suamimu nggak tidur di sampingmu?]

[Tadi aku takut karena petir dan mati lampu, dia datang buat nenangin aku.]

[Nggak penasaran suamimu di mana sekarang?]

Ponsel nyaris terjatuh dari tangannya. Matanya membelalak. Nafasnya tercekat.

Jantung Naila berdegup tak beraturan. Pesan-pesan itu, dengan nada sinis yang terasa begitu menyeringai, membuat tangannya bergetar saat menggenggam ponsel.

Beberapa menit kemudian, satu pesan lagi masuk.

Sebuah Alamat, lengkap dengan nomor kode masuk.

Naila menggigit bibir. Matanya masih terpaku pada layar, tapi pikirannya sudah berlari jauh.

Tanpa suara, Naila mengambil kunci mobil. Lalu pergi. Membelah malam yang basah dengan hati yang nyaris tak bisa ia dengarkan lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 220: Jangan Panik

    Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 219: Jangan Bawa Mia ke Kantor

    Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 218: Aku yang Jagain

    Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 217: Menikah Itu Capek Banget

    Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 216: Arti Gaun Pengantin

    Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 215: Kalau Dia Ingin Menikah

    Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status