Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menikahi Paman Suamiku / BAB 3: Mas… Saya Salah Kamar

Share

BAB 3: Mas… Saya Salah Kamar

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-06-04 16:03:25

Tangan-tangannya terasa asing, seperti bukan miliknya sendiri. Pria itu, yang sosoknya perlahan menjadi lebih jelas, bergerak semakin agresif. 

Jemarinya menjelajahi tubuh Naila dengan cepat, mengusap pinggang, menelusup masuk ke dalam pakaiannya hingga telapak tangan kasar pria itu menyentuh kulitnya langsung, seolah tahu betul ke mana harus menyentuh agar tubuh Naila bereaksi. 

Nafas Naila tercekik, bukan hanya oleh tekanan fisik, tapi oleh serbuan rasa asing yang menakutkan.

Bulu kuduknya langsung bergidik dan bibirnya nyaris mengerang di antara ciuman yang menghujam bibirnya.

Pikiran Naila berkabut, tetapi tubuhnya menolak. Ia meronta, namun tangan Galih segera menangkap kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke atas kepala.

“Lepas... mmph... lepasin aku… ahh..” suaranya teredam, nyaris putus napas.

Pria yang tubuhnya lebih menjulang itu tertawa kecil. Suara itu rendah, mengandung sesuatu yang membuat darah di tubuh Naila berdesir dan jantungnya mulai berdegup kencang.

“Nggak usah pura-pura malu,” gumamnya dingin, nyaris berbisik, membuat kulit Naila semakin bergidik.

Tangannya turun ke leher Naila, melewati tulang selangka, menyusuri perlahan ke dada, meremasnya pelan. Sentuhan kulitnya dingin, kontras dengan panas tubuh Naila. 

Lutut Naila lemas, dadanya sesak oleh udara yang tertahan.

Getaran terasa merambat dari ujung kaki sampai ubun-ubun tubuh Naila. Tapi pikirannya terus melawan. 

Ini salah. Ini salah.

Ketika pria asing itu mulai membuka kancing baju, Naila berusaha mengingat siapa dirinya. Ia bukan perempuan yang seperti ini. 

Ia bukan…

“Lepaskan aku!” serunya, kali ini lebih keras, penuh keberanian yang tersisa. Ia mendorong, dengan sekuat tenaga.

Namun sang pria malah mengangkatnya dengan ringan seperti boneka, melemparnya ke atas ranjang besar di tengah ruangan. 

Tubuhnya terhempas ke kasur empuk yang memantulkan sedikit getaran. Kepala Naila berdenyut. 

Ia berusaha bangkit, tapi pria itu sudah kembali menindih tubuhnya. Bajunya nyaris terbuka seluruhnya, seolah hanya butuh satu tarikan sebelum pakaian dalamnya terekspos. 

Napasnya kini semakin tak beraturan, otaknya berteriak untuk sadar. Ia dorong dada pria itu dengan sisa tenaga.

“Mas… saya kayaknya salah kamar... tolong biarin saya pergi...” suaranya gemetar, terdengar seperti bisikan yang nyaris patah.

Pria itu hanya mendesis pelan. “Tsk. Masih akting, ya?”

Saat tangan pria itu hendak bergerak lagi, tiba-tiba kamar terang benderang. Cahaya menyambar ruang yang semula gulita. 

Rupanya, dalam kekacauan itu, tangan Naila secara tidak sengaja menyentuh saklar lampu meja.

Pria yang masih di atas Naila menyipitkan mata, silau. Ketika cahaya menyentuh wajah perempuan di bawahnya, tubuhnya kaku.

Yang menatapnya dari balik rambut berantakan dan wajah panik... bukanlah orang asing. Bukan wanita asing.

Itu Naila. Istri keponakannya sendiri.

“Naila...” suara pria bernama Galih itu nyaris tak keluar.

Wajah Naila pucat seputih kapur, matanya melebar, pupilnya mengecil seketika. Seolah alkohol menguap begitu saja dari tubuhnya.

Mereka saling menatap dalam keheningan yang lebih memekakkan daripada teriakan.

“Om Galih…” bisiknya, lirih, nyaris tanpa suara.

Keduanya terdiam. Detik demi detik terasa seperti jam.

Naila menelan ludah, perlahan menyadari betapa kacau situasinya. Galih, anak bungsu dari keluarga terpandang Brahma Santosa dan Maira Triwijoyo, memang selalu membuatnya merasa kecil. 

Pria yang selalu dikenal karena reputasi dingin, tajam, dan penuh batas. Saat menikah dengan Rama, Naila selalu mendengar peringatan untuk menjaga jarak dari Galih.

“Hati-hati sama Om Galih. Jangan pernah sendirian sama dia.”

Dan sekarang, ia hampir...

“Diam,” kata Galih, suaranya tajam, memotong pikirannya. Tatapan matanya menusuk. Ada sesuatu yang menari di balik sorot itu, kekalutan, kemarahan, jijik pada diri sendiri.

Kemudian pandangannya jatuh ke tubuh Naila yang nyaris terbuka sepenuhnya. Ia seketika membuang muka, lalu berdiri cepat seolah kontak apa pun yang terjadi antara mereka akan membakar tubuhnya. 

“Pakai bajumu. Pergi sekarang juga.”

Tangan Naila gemetar saat berusaha merapikan pakaiannya. Ia mengenakan semuanya dengan serabutan, kancing salah, ritsleting nyaris tertarik paksa. 

Matanya sesekali melirik Galih yang kini berdiri membelakanginya. Tapi ketika ia berjalan ke arah pintu, ia tak sengaja melihat bagian tubuh pria itu yang seharusnya tak dilihat, dan mukanya seketika memerah padam.

Galih melirik, ekspresinya gelap, jijik, dan tegas. “Masih di situ aja?”

Tanpa menoleh lagi, Naila kabur. Tubuhnya setengah limbung, tapi langkahnya cepat. Ia berhenti sejenak di depan pintu, membaca ulang angka yang terpampang jelas.

8916.

Bukan 8919.

Kepalanya makin berdenyut hebat. Ia masuk ke kamar yang salah dan secara tidak sadar  hampir saja tidur dengan paman dari suaminya sendiri.

***

Sementara itu, di dalam kamar 8916, Galih menyalakan ponselnya. Jemarinya lincah menekan sebuah kontak di daftar cepat.

“Hapus semua rekaman CCTV dari Empire Skyview Hotel malam ini. Sekarang juga.”

Telepon ditutup. Kamar masih bau tubuh, keringat, dan ketegangan yang belum sempat lenyap. 

Galih menatap ranjang yang berantakan lalu menyalakan rokok. Asap tembakau memenuhi ruangan, mencoba menutupi aroma lain yang tertinggal. 

Ia duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya.

Barusan…

Ia hampir tidur dengan istri keponakannya.

Kacau. Begitu kacau.

***

Dalam perjalanan pulang, Naila menatap ponselnya lama sekali. Tangannya melayang-layang di atas layar, ragu. 

Om Galih.

Kontak itu sudah ada di sana sejak tiga tahun lalu. Tapi tak pernah ia buka. Tak pernah sekali pun ia kirim pesan. 

Sampai malam ini.

Tapi akhirnya, ia memberanikan diri mengetik pesan.

Naila: [Om Galih… Bisakah kita pura-pura malam ini nggak pernah terjadi? Aku benar-benar mabuk dan salah masuk kamar.]

Ia menunggu. Menit demi menit berlalu.

Tak ada balasan.

Keningnya mengerut. Ia mencoba lagi.

Naila: [?]

Begitu pesan terkirim, layar berubah.

Tanda seru merah.

 Sebuah notifikasi muncul dingin:

[Kamu bukan lagi teman dengan pengguna ini. Kirim permintaan pertemanan untuk melanjutkan percakapan.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 150: Kamu Mau Pergi ke Malaysia, Kan?

    Bersandar di bahu Galih, Naila menutup matanya pelan, mencoba menahan sesuatu yang mengganjal di dada. Hembusan napasnya terasa berat, seperti ada beban yang menekan di dalam paru-parunya.Hujan tipis masih menetes di luar, mengetuk kaca jendela ruang tamu dengan irama lambat dan lembut, seolah ikut merasakan kegundahan di antara mereka. Bau tanah basah menyeruak dari taman kecil di halaman belakang, menyatu dengan aroma kopi hangat yang sudah lama mendingin di atas meja.Ia ingin berbicara, tapi lidahnya terasa kelu. Kalimat yang sudah berkali-kali ia susun dalam kepala menguap begitu saja setiap kali ia mencoba memulainya. Bagaimana caranya memberi tahu Galih bahwa ia akan pergi?Naila tahu benar, kalimat itu akan menjadi pisau. Galih akan marah, pasti. Ia juga tahu, di balik kemarahan itu, ada ketakutan yang tak pernah benar-benar mereka ucapkan. Ketakutan kehilangan lagi, setelah semua luka yang baru saja mereka jahit dengan susah payah.Namun di sisi

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 149: Tidak Ada yang Disesali

    Udara siang itu terasa hangat, samar berbaur dengan wangi kopi yang masih mengepul di cangkir di meja kerja Galih. Cahaya matahari menyelinap lewat tirai tipis, menimpa sebagian wajah Naila yang berdiri di dekat jendela.Tatapannya lembut, tapi ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum kecilnya. Ia memeluk tas tangan di dada, seolah benda itu bisa melindunginya dari getaran perasaan yang tak mau reda.“Benar-benar enggak ada apa-apa. Kalau pun ada, ya cuma karena aku kangen dan pengen ketemu. Apa itu dilarang?” katanya sambil menatap Galih dengan senyum yang nyaris malu-malu.Galih berhenti mengetik. Ujung jarinya masih menggantung di atas keyboard, sementara matanya mengamati wajah istrinya itu dengan seksama. Ada kerut kecil di dahi, antara khawatir dan rindu yang menumpuk.“Jelas enggak dilarang. Aku cuma enggak mau kamu menanggung sesuatu sendirian.”Nada suaranya pelan tapi tegas, seperti pria yang tahu betul bahwa di balik “aku baik-baik

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 148: Aku Akan Ikut

    Mahardika menatap Naila dengan mata yang nyaris tak berkedip. Suasana ruang tamu keluarga Jayantaka itu mendadak terasa sempit, seolah udara menahan napas.Bau lembut parfum mawar Emma masih menggantung di udara, bercampur dengan aroma teh melati yang sudah dingin di cangkir porselen di atas meja marmer.“Aku akan ikut ke Malaysia.”Suara Naila terdengar tenang, tapi di dalamnya bergetar sesuatu yang sulit dijelaskan. Seperti gelombang kecil di permukaan air yang menyembunyikan arus deras di bawahnya.Emma dan Mahardika serempak menoleh. Emma menegakkan punggungnya, sementara Mahardika hanya terpaku, masih mencoba memastikan apakah ia tidak salah dengar. Naila berdiri tegak, tangannya terkepal di sisi tubuh.Di wajahnya tak ada ragu, hanya pantulan cahaya sore dari jendela besar di belakangnya yang membuat kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya.“Aku akan setuju buat pergi dan menerima warisan keluarga Laksmana,” k

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 147: Dua Puluh Tahun

    Udara malam Jakarta terasa berat, penuh debu dan cahaya lampu kota yang berpendar seperti bara kecil di kejauhan. Dari balik jendela mobil yang meluncur di jalanan Sudirman, Emma menatap langit yang samar.Bayangan lampu gedung tinggi berganti cepat di kaca, seperti ilusi yang terus berubah bentuk. Ia menyandarkan kepala pada sandaran kursi, bibirnya bergerak hampir tanpa suara.“Aku enggak pernah nyangka bakal balik ke Jakarta.”Suara itu hanyut di antara deru mesin dan bisikan angin pendingin mobil. Tidak ada yang menjawab. Mahardika duduk di samping sopir, matanya lurus ke depan, wajahnya menegang seperti sedang menimbang sesuatu yang tak ingin ia ucapkan.Mereka berhenti di depan hotel bintang lima. Lobi dipenuhi cahaya keemasan yang berkilau, memantul dari lantai marmer yang mengilap. Seorang bellboy segera membuka pintu, menunduk hormat, dan Emma melangkah turun dengan gerakan anggun, seperti seorang ratu yang sudah terbiasa diperlakukan

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 146: Jangan Paksakan Diri

    “Kamu dengar, kan?” suara Naila terdengar pelan tapi tegas, seperti berusaha menahan sesuatu yang bergolak di dadanya. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya, seolah tak ingin memberi ruang untuk salah paham.“Dia akan datang minggu depan,” lanjutnya, suaranya mulai bergetar samar. “Aku akan menemuinya.”Harist, yang sejak tadi duduk di kursi rotan tua di ruang tamu rumahnya di Tebet, hanya menatap kosong beberapa detik. Di luar, hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menembus jendela kayu.Ia menegakkan punggungnya perlahan, menatap putrinya dalam diam.Wajahnya yang biasanya ramah kini tampak tegang, garis-garis usia di sekitar matanya semakin jelas.“Apa maumu dia?” suaranya akhirnya pecah, serak, seperti keluar dari tenggorokan yang tertahan amarah bertahun-tahun.Naila menunduk, jari-jarinya meremas ujung selendangnya. “Dia ingin aku dan Jagoan pindah ke luar negeri

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 145: Jangan Sakiti Dia

    “Aku nggak ada urusan lain, jadi sekalian aja datang duluan,” jawab Mahardika sambil mengangkat bahu dengan santai. Gerakannya ringan, seolah kedatangannya ke kafe itu memang hal paling wajar di dunia.Matanya menatap Naila yang duduk di seberangnya, di balik meja kayu berwarna cokelat tua yang mulai pudar di tepiannya. “Jadi… kamu mau bicara soal apa?”Naila menunduk sebentar, jari-jarinya menyentuh bibir cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya seolah berusaha mengeluarkan semua beban yang menumpuk di dadanya.Suara riuh di sekeliling mereka—pelayan yang berlalu-lalang, denting sendok dari meja sebelah, lagu lembut yang mengalun dari speaker—semuanya terasa jauh.“Aku sudah mikir lagi tentang apa yang kamu bilang waktu itu,” katanya akhirnya, pelan namun tegas. Ia menatap Mahardika, mencoba mencari sesuatu di matanya.“Kamu benar. Bagaimanap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status