LOGINTangan-tangannya terasa asing, seperti bukan miliknya sendiri. Pria itu, yang sosoknya perlahan menjadi lebih jelas, bergerak semakin agresif.
Jemarinya menjelajahi tubuh Naila dengan cepat, mengusap pinggang, menelusup masuk ke dalam pakaiannya hingga telapak tangan kasar pria itu menyentuh kulitnya langsung, seolah tahu betul ke mana harus menyentuh agar tubuh Naila bereaksi.
Nafas Naila tercekik, bukan hanya oleh tekanan fisik, tapi oleh serbuan rasa asing yang menakutkan.
Bulu kuduknya langsung bergidik dan bibirnya nyaris mengerang di antara ciuman yang menghujam bibirnya.
Pikiran Naila berkabut, tetapi tubuhnya menolak. Ia meronta, namun tangan Galih segera menangkap kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke atas kepala.
“Lepas... mmph... lepasin aku… ahh..” suaranya teredam, nyaris putus napas.
Pria yang tubuhnya lebih menjulang itu tertawa kecil. Suara itu rendah, mengandung sesuatu yang membuat darah di tubuh Naila berdesir dan jantungnya mulai berdegup kencang.
“Nggak usah pura-pura malu,” gumamnya dingin, nyaris berbisik, membuat kulit Naila semakin bergidik.
Tangannya turun ke leher Naila, melewati tulang selangka, menyusuri perlahan ke dada, meremasnya pelan. Sentuhan kulitnya dingin, kontras dengan panas tubuh Naila.
Lutut Naila lemas, dadanya sesak oleh udara yang tertahan.
Getaran terasa merambat dari ujung kaki sampai ubun-ubun tubuh Naila. Tapi pikirannya terus melawan.
Ini salah. Ini salah.
Ketika pria asing itu mulai membuka kancing baju, Naila berusaha mengingat siapa dirinya. Ia bukan perempuan yang seperti ini.
Ia bukan…
“Lepaskan aku!” serunya, kali ini lebih keras, penuh keberanian yang tersisa. Ia mendorong, dengan sekuat tenaga.
Namun sang pria malah mengangkatnya dengan ringan seperti boneka, melemparnya ke atas ranjang besar di tengah ruangan.
Tubuhnya terhempas ke kasur empuk yang memantulkan sedikit getaran. Kepala Naila berdenyut.
Ia berusaha bangkit, tapi pria itu sudah kembali menindih tubuhnya. Bajunya nyaris terbuka seluruhnya, seolah hanya butuh satu tarikan sebelum pakaian dalamnya terekspos.
Napasnya kini semakin tak beraturan, otaknya berteriak untuk sadar. Ia dorong dada pria itu dengan sisa tenaga.
“Mas… saya kayaknya salah kamar... tolong biarin saya pergi...” suaranya gemetar, terdengar seperti bisikan yang nyaris patah.
Pria itu hanya mendesis pelan. “Tsk. Masih akting, ya?”
Saat tangan pria itu hendak bergerak lagi, tiba-tiba kamar terang benderang. Cahaya menyambar ruang yang semula gulita.
Rupanya, dalam kekacauan itu, tangan Naila secara tidak sengaja menyentuh saklar lampu meja.
Pria yang masih di atas Naila menyipitkan mata, silau. Ketika cahaya menyentuh wajah perempuan di bawahnya, tubuhnya kaku.
Yang menatapnya dari balik rambut berantakan dan wajah panik... bukanlah orang asing. Bukan wanita asing.
Itu Naila. Istri keponakannya sendiri.
“Naila...” suara pria bernama Galih itu nyaris tak keluar.
Wajah Naila pucat seputih kapur, matanya melebar, pupilnya mengecil seketika. Seolah alkohol menguap begitu saja dari tubuhnya.
Mereka saling menatap dalam keheningan yang lebih memekakkan daripada teriakan.
“Om Galih…” bisiknya, lirih, nyaris tanpa suara.
Keduanya terdiam. Detik demi detik terasa seperti jam.
Naila menelan ludah, perlahan menyadari betapa kacau situasinya. Galih, anak bungsu dari keluarga terpandang Brahma Santosa dan Maira Triwijoyo, memang selalu membuatnya merasa kecil.
Pria yang selalu dikenal karena reputasi dingin, tajam, dan penuh batas. Saat menikah dengan Rama, Naila selalu mendengar peringatan untuk menjaga jarak dari Galih.
“Hati-hati sama Om Galih. Jangan pernah sendirian sama dia.”
Dan sekarang, ia hampir...
“Diam,” kata Galih, suaranya tajam, memotong pikirannya. Tatapan matanya menusuk. Ada sesuatu yang menari di balik sorot itu, kekalutan, kemarahan, jijik pada diri sendiri.
Kemudian pandangannya jatuh ke tubuh Naila yang nyaris terbuka sepenuhnya. Ia seketika membuang muka, lalu berdiri cepat seolah kontak apa pun yang terjadi antara mereka akan membakar tubuhnya.
“Pakai bajumu. Pergi sekarang juga.”
Tangan Naila gemetar saat berusaha merapikan pakaiannya. Ia mengenakan semuanya dengan serabutan, kancing salah, ritsleting nyaris tertarik paksa.
Matanya sesekali melirik Galih yang kini berdiri membelakanginya. Tapi ketika ia berjalan ke arah pintu, ia tak sengaja melihat bagian tubuh pria itu yang seharusnya tak dilihat, dan mukanya seketika memerah padam.
Galih melirik, ekspresinya gelap, jijik, dan tegas. “Masih di situ aja?”
Tanpa menoleh lagi, Naila kabur. Tubuhnya setengah limbung, tapi langkahnya cepat. Ia berhenti sejenak di depan pintu, membaca ulang angka yang terpampang jelas.
8916.
Bukan 8919.
Kepalanya makin berdenyut hebat. Ia masuk ke kamar yang salah dan secara tidak sadar hampir saja tidur dengan paman dari suaminya sendiri.
***
Sementara itu, di dalam kamar 8916, Galih menyalakan ponselnya. Jemarinya lincah menekan sebuah kontak di daftar cepat.
“Hapus semua rekaman CCTV dari Empire Skyview Hotel malam ini. Sekarang juga.”
Telepon ditutup. Kamar masih bau tubuh, keringat, dan ketegangan yang belum sempat lenyap.
Galih menatap ranjang yang berantakan lalu menyalakan rokok. Asap tembakau memenuhi ruangan, mencoba menutupi aroma lain yang tertinggal.
Ia duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya.
Barusan…
Ia hampir tidur dengan istri keponakannya.
Kacau. Begitu kacau.
***
Dalam perjalanan pulang, Naila menatap ponselnya lama sekali. Tangannya melayang-layang di atas layar, ragu.
Om Galih.
Kontak itu sudah ada di sana sejak tiga tahun lalu. Tapi tak pernah ia buka. Tak pernah sekali pun ia kirim pesan.
Sampai malam ini.
Tapi akhirnya, ia memberanikan diri mengetik pesan.
Naila: [Om Galih… Bisakah kita pura-pura malam ini nggak pernah terjadi? Aku benar-benar mabuk dan salah masuk kamar.]
Ia menunggu. Menit demi menit berlalu.
Tak ada balasan.
Keningnya mengerut. Ia mencoba lagi.
Naila: [?]
Begitu pesan terkirim, layar berubah.
Tanda seru merah.
Sebuah notifikasi muncul dingin:
[Kamu bukan lagi teman dengan pengguna ini. Kirim permintaan pertemanan untuk melanjutkan percakapan.]
Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s
Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na
Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i
Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum
Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h
Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta







