Mobil hitam itu meluncur pelan meninggalkan kawasan vila yang sunyi, lampu jalan berderet bagai garis cahaya redup yang memantul di kaca.
Naila menoleh ke luar jendela, dan di sanalah, sekelebat, ia melihat mobil Rama melintas dari arah berlawanan.
Pandangan mereka tidak bertemu, tapi detik itu juga jantung gadis itu seolah melompat ke tenggorokan. Nafasnya tertahan, wajahnya menegang.
Hanya setelah mobil Rama menghilang ditelan tikungan, barulah Naila berani menarik napas panjang, meski terasa berat dan tertahan di dada.
Naila merapatkan tangan ke pangkuan, berusaha menenangkan diri, lalu menoleh ke pria di sampingnya.
“Om Galih,” suara gadis itu lirih tapi berusaha tegar, “makasih banyak
Naila memang baru seminggu bergabung di tim itu, tetapi ketajaman matanya sudah cukup untuk menangkap sesuatu yang janggal.Seperti orang yang tahu arah angin sebelum daun-daun bergerak, Naila cepat membaca detail, mencatat celah yang orang lain biarkan terlewat.Putri, yang sedari tadi berusaha menahan diri, kini menggigit bibirnya makin keras. Matanya menyipit, memantulkan amarah yang tak lagi bisa ia sembunyikan.Dalam benak Putri, keinginan paling spontan yang muncul adalah berbalik menuju ruangan itu, menyeret Naila dari kursinya, lalu menampar perempuan licik yang baru saja merobohkan benteng kepercayaannya.“Gendis...” suara Putri serak, nyaris patah. Ia mengulurkan tangannya, namun cepat ia tarik kembali, seolah takut sentuhan itu hanya ak
“Rama, selama bertahun-tahun kita menikah, aku tidak pernah sekalipun menyakitimu. Kita sudah bersama delapan tahun, bukan delapan bulan, apalagi delapan hari.”Suara Naila bergetar, meski awalnya ia berniat menyampaikannya dengan tenang.Ujung jemari Naila meremas kain blus yang ia kenakan, seolah hanya dengan itu ia bisa menjaga dirinya tetap tegak di depan lelaki yang dulu ia cintai sepenuh hati.“Kamu mengkhianatiku, dan kamu berharap aku bisa menerima semuanya begitu cepat. Menurutmu itu masuk akal? Kecuali kalau perasaanku selama ini palsu, tidak ada orang waras yang bisa langsung menyesuaikan diri setelah dikhianati.”Rama terdiam, pandangannya jatuh pada wajah Naila yang pucat, dengan lingkar hitam samar di bawah matanya.
“Kirimkan rekaman CCTV-nya.”Suara Rama terdengar datar, tapi tajam, seperti bilah pisau yang dingin. Begitu telepon ditutup, sang asisten rumah tangga dengan tergesa mengirimkan video itu.Rama duduk di ruang kerjanya, lampu meja menyinari wajahnya yang tegang. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu, ritmenya semakin cepat begitu layar ponsel menampilkan rekaman.Pria itu melihat Naila—rambut kusut, wajah pucat, tubuhnya gemetar—melompat turun dari balkon lantai dua dan buru-buru masuk ke mobil Galih.Darah Rama mendidih. Rahangnya mengeras, otot pipinya bergetar. Ia teringat, beberapa jam lalu, mobil Galih melintas begitu saja di depan rumah, tanpa sepatah kata pun.Galih, yang s
Cangkir porselen itu jatuh keras ke atas meja kayu, bunyinya memecah ketegangan yang sudah sejak tadi menyesakkan ruang tamu keluarga Santosa.Aroma teh melati yang tumpah berbaur dengan udara dingin dari pendingin ruangan, menyisakan noda basah di taplak putih yang biasanya dijaga rapi.Sinta berdiri dengan sorot mata membara. Urat di pelipisnya menegang, bibirnya gemetar menahan emosi.“Itu anak kamu, cucuku!” suaranya bergetar tapi tegas, menusuk seperti cambuk. “Masa kamu gampang gitu saja mau buang tanggung jawab?”Rama tak bergeming. Rahangnya mengeras, seolah ia sedang menahan sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata.“Itu cuma kecelakaan,” ucap Rama datar, nyaris tanpa ek
Mobil hitam itu meluncur pelan meninggalkan kawasan vila yang sunyi, lampu jalan berderet bagai garis cahaya redup yang memantul di kaca.Naila menoleh ke luar jendela, dan di sanalah, sekelebat, ia melihat mobil Rama melintas dari arah berlawanan.Pandangan mereka tidak bertemu, tapi detik itu juga jantung gadis itu seolah melompat ke tenggorokan. Nafasnya tertahan, wajahnya menegang.Hanya setelah mobil Rama menghilang ditelan tikungan, barulah Naila berani menarik napas panjang, meski terasa berat dan tertahan di dada.Naila merapatkan tangan ke pangkuan, berusaha menenangkan diri, lalu menoleh ke pria di sampingnya.“Om Galih,” suara gadis itu lirih tapi berusaha tegar, “makasih banyak
Ruang tamu itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski pendingin ruangan nyaris tak berubah sejak pagi. Rama duduk kaku di kursinya, matanya berusaha menghindari tatapan Galih yang berdiri di hadapannya.Dari cara pria yang lebih tua itu berdiri, punggung tegak dan kedua tangan bertolak pinggang, jelas sekali kalau ia bukan sedang berkunjung untuk sekadar berbasa-basi.Aura dingin Galih memenuhi ruangan, menekan dada Rama seakan-akan udara tersedot keluar.“Om, aku khilaf.” Suara Rama pecah, lebih mirip bisikan yang memohon. “Awalnya aku nggak kuat menahan godaan, tapi aku benar-benar menyesal sekarang. Tolong… beri aku kesempatan sekali lagi.”Galih menoleh perlahan, pandangannya menajam. Sorot matanya tidak sekadar marah; ada