“Aku kan sudah sering ngasih kode. Tapi kamu selalu menghindar. Karena buat kamu, luka dan perasaanku nggak penting, kan?”
Suara Naila bergetar, namun matanya tak bergeser sedetik pun dari wajah Rama. Tatapannya tajam, nyalang, seolah ingin menembus lapisan paling dalam hatinya.
Cahaya lampu ruang tamu memantul di bola mata gadis itu yang basah, menyoroti semburat merah di sudutnya.
Rama terdiam, seakan ada beban berat menempel di lidahnya. Tubuhnya tegak kaku di kursi, tapi wajahnya pucat pasi.
“Maaf, Naila…” kata pria itu lirih, hampir seperti gumaman. Ucapan itu jatuh, ringan, tapi justru menambah sesak di udara.
Naila menghela napas panjang. Getaran di dadanya tak bisa ia sembuny
Juliana bisa seenaknya mengklaim Thomas sebagai pacarnya bukan tanpa alasan. Semua karena sikap Thomas sendiri. Terlalu manis, terlalu siap sedia, terlalu gampang diminta bantuan.Dengan satu panggilan telepon, Juliana bisa membuat sekretaris Thomas muncul di depan pintu apartemennya—meski jam dinding menunjukkan tengah malam dan Thomas sedang terjebak rapat maraton.Bayangan itu membuat dada Laras mengeras. Ingatannya meluncur ke satu malam beberapa bulan lalu, ketika langkah kakinya terhenti di jalur pendakian gunung Salak.Pergelangan kakinya keseleo, sakitnya menusuk sampai ke betis. Malam turun cepat, udara lembap menggigit kulit, dan baterai ponselnya tinggal satu persen.Dalam panik, Laras sempat menelepon Thomas.
Langkah Ivan berderap tergesa, seolah ada sesuatu yang dikejarnya. Napasnya pendek, bahunya sedikit terangkat, sementara kemeja putihnya bergoyang tertiup angin dari kipas langit-langit.Ivan sama sekali tidak menyadari dua pasang mata yang sejak tadi memperhatikannya: Larasati dan Naila, berdiri tak jauh di sudut ruangan.“Bu Puspita,” ujar Ivan, suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha tegas. “Pak Gedeputra sedang rapat, jadi beliau mengutus saya ke sini.”Juliana menoleh sekilas, dagunya terangkat angkuh. Ia mengangguk, lalu dengan gerakan ringan tapi penuh makna, mengisyaratkan ke arah dua sosok perempuan di belakang Ivan.“Itu mereka,” kata gadis itu, dengan suara datar tapi menusuk. “Yang mencoba merebut jas
Suasana pusat perbelanjaan siang itu seperti lautan manusia yang berdenyut tak kenal henti. Lampu-lampu putih terang memantul di lantai marmer mengilap, menambah kesan glamor yang hampir menyilaukan mata.Bau parfum dari toko kosmetik sebelah bercampur dengan aroma kopi yang dibawa angin dari kedai di lantai bawah. Musik pop lembut mengalun dari pengeras suara, sesekali tersaingi oleh tawa riuh sekelompok remaja yang baru saja keluar dari bioskop.Larasati melangkah di antara kerumunan itu dengan langkah mantap, meski dalam hati ia sudah mulai lelah setelah makan siang panjang bersama Naila.Begitu memasuki butik pakaian pria, Laras seperti mendapat jeda dari hiruk-pikuk luar. Pendingin ruangan menyapu wajahnya, menyisakan kesejukan yang menenangkan.In
“Aku kan sudah sering ngasih kode. Tapi kamu selalu menghindar. Karena buat kamu, luka dan perasaanku nggak penting, kan?”Suara Naila bergetar, namun matanya tak bergeser sedetik pun dari wajah Rama. Tatapannya tajam, nyalang, seolah ingin menembus lapisan paling dalam hatinya.Cahaya lampu ruang tamu memantul di bola mata gadis itu yang basah, menyoroti semburat merah di sudutnya.Rama terdiam, seakan ada beban berat menempel di lidahnya. Tubuhnya tegak kaku di kursi, tapi wajahnya pucat pasi.“Maaf, Naila…” kata pria itu lirih, hampir seperti gumaman. Ucapan itu jatuh, ringan, tapi justru menambah sesak di udara.Naila menghela napas panjang. Getaran di dadanya tak bisa ia sembuny
Belum reda bara pertengkaran dengan Naila, kini Sinta malah melemparkan bensin ke api yang nyaris padam. Kalau ia berdiri di posisi Naila, Rama pun sadar, mungkin ia juga takkan sudi memaafkan.Udara malam Jakarta yang lembap menempel di kulitnya ketika ia akhirnya melangkah ke lantai atas apartemen.Tangan pria itu sempat ragu, terhenti di depan pintu kayu yang sudah terlalu sering menjadi saksi ketegangan.Rama menarik napas dalam-dalam, seolah ingin mengumpulkan sisa keberanian yang masih tersisa, lalu mengetuk pelan.Suara Naila dari dalam terdengar jelas, meski rendah dan tanpa intonasi: dingin, seperti es yang menutup semua pintu harapan.“Aku enggak mau ketemu kamu hari ini. Pulanglah.”
Setiap kata yang meluncur dari bibir Galih bagai batu kecil yang dilempar ke permukaan air—membuat riak yang perlahan merambat, lalu mengeras di wajah Sinta.Semula hanya garis tipis yang muncul di sudut bibir Sinta, kemudian merembet ke tatapan matanya yang dingin, hingga akhirnya ekspresinya membeku total.“Galih, ini urusan keluarga,” ucapnya datar, namun nadanya penuh racun. “Kamu orang luar. Sebaiknya jangan ikut campur.”Galih mengangkat alis. Nada bicaranya tetap tenang, meski mengandung ketajaman yang membuat udara di antara mereka seolah tertahan.“Aku tidak berniat mencampuri, tapi apa tidak keterlaluan memperlakukan gadis muda seperti itu?”Di sudut restoran mew