Naila menutup kotak perhiasan itu dengan gerakan perlahan, seakan tak ingin kilau berlian di dalamnya lolos menyebar ke udara. Senyumnya tipis, samar, hampir tak terbaca.
Jari-jari Naila yang ramping sempat berhenti di atas permukaan kayu hitam mengilap, menahan napas sesaat, lalu menyingkirkannya ke sisi meja.
Tasya, yang sejak tadi duduk tak jauh, sudah lebih dulu menajamkan pandangan. Begitu melihat benda itu, ia berdiri, langkahnya ringan namun penuh rasa ingin tahu.
Tatapan Tasya menelusuri kotak perhiasan yang baru saja ditutup, lalu jatuh pada wajah Naila. Ada percikan iri yang sulit ia sembunyikan.
“Naila, siapa yang ngirimin ini? Pengagum rahasia, ya?” bisiknya, nadanya setengah tak percaya, setengah penasaran. “Aku pernah lihat gel
Ketegangan di bibir Rama akhirnya mengendur, sorot matanya yang tadinya tajam perlahan melunak. Ia menghela napas, lalu berkata lirih, hampir seperti bisikan yang tak ingin diperdebatkan.“Aku antar kamu pulang.”Naila hanya menoleh sekilas, tak ada senyum, tak ada bantahan. Wajahnya datar, seperti permukaan air yang sudah berhenti beriak.Rama ingin membaca sesuatu di balik mata itu, tapi yang ia temukan hanya keheningan.Begitu mendengar kabar bahwa Naila tidak jadi pindah ke apartemen barunya di BRANZ, kening Rama berkerut.“Kenapa belum pindah?” tanyanya, suara terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan.“Aku sudah terbiasa tinggal di sini. Nanti saja,” jawab Naila sin
Lampu putih di ruang perawatan memantul di dinding, dingin dan steril. Aroma antiseptik menusuk hidung, seolah menegaskan betapa rapuh tubuh manusia di hadapan api dan luka.Naila duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat, rambutnya yang biasanya tergerai rapi kini kusut, sebagian menempel di kening basah oleh keringat.Perawat yang tadi menutup telepon berbalik kepadanya, suaranya lembut tapi tegas."Bu Jayantaka, nanti saat pengobatan mungkin agak sakit. Mohon ditahan, ya."Naila mengangguk pelan, jemari yang bergetar ia genggam erat di pangkuan. "Mm. Akan meninggalkan bekas luka?" tanyanya lirih, nyaris seperti gumaman.Perawat tersenyum tipis, menyiapkan perban bersih. "Untungnya tidak terlalu dalam. Kalau dira
Naila melirik sekilas, alisnya terangkat tipis. Ada sesuatu yang janggal dari sikap manis mendadak itu, terlalu janggal untuk diabaikan.Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari arah tatapan Putri, yang nyaris tak beranjak dari sosok Galih. Mata penuh minat, bibir yang hampir tersenyum malu-malu, dan cara ia pura-pura tidak peduli.Oh, jadi begitu… Putri naksir Galih. Hebat juga, bisa melupakan perselisihan kecil demi kesempatan yang lebih besar. Licin. Lihai.“Tak perlu. Saya bisa sendiri.”Nada suara Naila terdengar dingin, jelas ditujukan pada keduanya. Ia tidak ingin ada perdebatan lagi.Begitu selesai bicara, ia segera melangkah menuju lift dengan langkah cepat, tumit sepatunya meman
Gendis masuk dengan langkah ringan, senyum lebarnya memancarkan percaya diri yang seakan mengisi ruangan.Belasan orang berjas rapi mengikutinya, membawa aroma formalitas yang membuat udara laboratorium mendadak terasa lebih tegang.Dari barisan depan, seorang pria berjalan tegap, auranya berwibawa dan berjarak: Galih.Tatapan Naila dan Galih bertemu hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat napas sang gadis tercekat.Galih cepat-cepat mengalihkan pandangan, dingin, seolah mereka berdua hanyalah dua orang asing yang kebetulan berpapasan.“Naila, sini sebentar,” suara Gendis terdengar ringan, tapi sarat makna. Tangannya terulur, memperkenalkan pria paruh baya yang berdiri tak jauh.
Setelah telepon ditutup, Naila duduk diam di tepi ranjang. Tubuhnya terasa ringan sekaligus berat, seperti udara yang tertahan di dada menolak keluar.Naila menarik napas panjang, melepasnya perlahan, seakan dengan itu seluruh beban akan ikut pergi. Tapi tentu saja tidak.Ada sesuatu yang selalu menahan, sebuah kenyataan getir yang membuat pikirannya berputar—tentang dirinya, tentang Laras, dan tentang pilihan hidup yang seakan selalu menuntunnya pada jalan buntu.Naila menunduk. Di atas meja rias, selembar sertifikat rumah terlipat rapi, ditemani kilau dingin dari gelang berlian.Dua benda yang mestinya berarti keamanan dan kemewahan, tapi kini lebih mirip pengingat tentang harga yang harus ia bayar.
Rama menatap istrinya dengan sorot mata yang seakan ingin menembus benteng dingin di hati Naila. Cahaya lampu gantung restoran memantul di irisnya, membuatnya tampak begitu jujur, begitu rapuh.“Naila,” suara pria itu lirih, nyaris memohon, “kita udah kehilangan banyak momen gara-gara aku dulu terlalu sibuk. Mulai sekarang, aku mau pastikan kamu dapat semua hal spesial yang memang pantas kamu terima.”Nada itu mengingatkan Naila pada masa-masa awal mereka jatuh cinta, saat tatapan Rama selalu membuatnya merasa menjadi pusat dunia. Namun kali ini, tatapan yang sama justru menghadirkan luka.Ada kehangatan di sana, tapi kehangatan itu seperti cahaya redup dari lilin yang sudah hampir padam, berusaha bertahan di tengah angin kencang.Hati