Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menikahi Paman Suamiku / Bab 7: Tak Akan Pernah Dimaafkan

Share

Bab 7: Tak Akan Pernah Dimaafkan

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-06-06 16:19:57

Genggaman Rama pada tangan Naila begitu kuat, seolah tulang mungil istrinya bisa patah kapan saja. Sakit menjalar dari pergelangan hingga siku, membuat wajah Naila meringis meski ia berusaha menahannya. Urat-urat di tangan Rama menonjol, menegaskan betapa kerasnya ia mencengkeram.

Dari kursinya, Galih melirik sekilas. Tatapannya jatuh pada tangan Naila yang terjerat. Rahangnya menegang, tapi segera ia alihkan pandangan, seolah bukan urusannya.

Berbeda dengan Anindya Santosa, tante Rama, yang justru menghela napas panjang sambil tersenyum sinis.

“Naila, maaf kalau terdengar kasar,” kata Anindya, nada manis tapi menusuk. “Kalian sudah menikah bertahun-tahun. Kok belum punya anak juga? Kalau bukan karena Rama ngotot nikah sama kamu, kira-kira keluarga kamu bisa masuk keluarga Santosa?”

Ruangan mendadak kaku. Kilau lampu kristal terasa dingin menusuk.

“Kamu harusnya bersyukur,” lanjut Anindya, matanya menyapu tubuh Naila dari ujung rambut sampai kaki, menilai seperti barang dagangan. “Kalau kamu nggak mau kasih anak, banyak perempuan lain yang rela. Jangan salahkan siapa-siapa kalau posisimu tergantikan nanti.”

Maira, sang kepala keluarga, akhirnya angkat suara. “Anindya, cukup.” Kalimat sederhana tapi bertenaga. Anindya pun diam, meski matanya masih penuh kebencian.

Maira lalu menoleh ke Naila dengan senyum hangat. “Kalian masih muda. Kalau belum mau punya anak, tidak apa-apa. Jangan memaksa. Kalau kamu mau kerja, silakan. Yang penting jangan sampai kelelahan.”

Naila mengangguk sopan, meski dadanya tercekat. “Iya, Eyang.”

Suasana mencair perlahan, tapi Rama langsung menarik tangan Naila lebih keras, menyeretnya keluar ruangan. Tatapan orang-orang mengikuti, namun ia tak peduli. Mereka menembus taman menuju gazebo di halaman belakang, aroma kamboja bercampur tanah basah mengiringi langkah terburu-buru itu.

Begitu tiba, Rama melepaskan genggaman dengan kasar. “Naila, kamu gila? Mau semua orang tahu kita bertengkar?”

Naila mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menatap suaminya dengan dingin. “Aku cuma jujur.”

“Jujur?” suara Rama meninggi. “Mau aku telepon ayahmu sekarang?”

Nama itu membuat tubuh Naila kaku. Harist Jayantaka, ayahnya, sedang sakit parah. Dokter melarangnya stres. Naila memang berniat menceraikan Rama, tapi bukan begini caranya.

“Jangan berani!” desisnya. “Yang selingkuh kamu, Rama. Kamu nggak berhak sok benar.”

Rama mengepalkan tangan. Sekilas wajahnya diliputi rasa bersalah, tapi cepat ia tutupi dengan amarah. “Aku janji nggak akan terulang lagi. Kalau kamu nggak mau lihat Jessie, aku pecat dia. Apa lagi yang kamu mau?”

Naila tertawa lirih, getir, tawanya hampa seperti kaca retak. Bayangan Rama bersama Jessie membuat perutnya mual. “Aku nggak akan pernah memaafkanmu.”

Kata-kata itu bagai vonis.

Rama terdiam sesaat, lalu berusaha melunak. “Ya sudah, jangan bahas sekarang. Anak bisa ditunda. Kalau kamu mau kerja, aku minta sekretarisku carikan posisi di Santosa Group.”

Naila menoleh, tersenyum miring. “Kamu pikir aku boneka yang bisa kamu atur?”

Otot rahang Rama menegang. “Aku ini justru ngalah, Naila. Kamu maunya apa?”

“Berhenti sok pengertian.” Suaranya bergetar menahan amarah. “Aku nggak mau punya anak karena aku mau cerai. Aku mau kerja supaya bisa lepas dari kamu.”

Kata-kata itu menghantam Rama seperti pukulan telak. Ia menatap Naila lama, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan kehilangan.

Sejak hari pernikahan, Rama merasa Naila sudah menjadi miliknya sepenuhnya. Di matanya, istrinya hanyalah burung kecil yang ia masukkan ke dalam sangkar emas. Sayapnya memang tak dipatahkan, tapi terbang tetap mustahil.

Ia memberinya pakaian indah, rumah megah, perhiasan, pelayan yang siap 24 jam. Semua ada, kecuali kebebasan.

“Selama aku nggak setuju, pernikahan ini nggak akan berakhir. Kamu mau lapor soal perselingkuhan sekalipun, kamu punya bukti?” suara Rama datar, yakin, seperti raja yang merasa takhtanya tak mungkin goyah.

Naila mundur selangkah, tubuhnya gemetar. Lampu taman berpendar temaram, bayangan dedaunan bergoyang, membuat gazebo itu tampak seperti jerat yang menelan dirinya. Tatapannya kini menyala, membakar Rama dengan jijik.

Delapan tahun Naila habiskan mencintai pria ini, delapan tahun menahan luka dengan harapan bisa sembuh. Dan malam ini, yang berdiri di hadapannya hanyalah sosok asing dibungkus keangkuhan.

“Kamu menjijikkan, Rama!”

Kata itu memecah keheningan malam. Sorot jijik itu menusuk ego Rama. Tangannya spontan meraih dagu istrinya, memaksa wajah itu menatapnya. Jemarinya kasar, meninggalkan perih.

“Aku ngerti kamu marah. Tapi aku nggak mau dengar kata-kata itu lagi,” ujarnya ketus.

Naila menepis kuat. “Jangan sentuh aku! Kamu kotor!”

Rama tertawa getir. “Kotor?” Tubuhnya mendesak, menekan Naila ke tiang kayu gazebo. Dengan cepat, ia menunduk, mencium paksa.

Naila memberontak, menoleh, hingga bibirnya hanya mendarat di pipinya—meninggalkan jejak panas menyakitkan.

“Lepaskan aku, Rama!”

“Asal kamu berhenti ngomong yang nyakitin aku.”

“Nggak akan!”

“Kalau begitu, aku punya cara bikin kamu diam.” Tangannya kembali mencengkeram dagu Naila, lebih keras.

Namun sebelum bibirnya kembali mendarat, terdengar suara batuk pelan dari belakang.

“Rama, aku ganggu, ya?”

Tubuh Rama menegang. Galih berdiri di pintu gazebo, ekspresinya datar tapi menusuk. Sorot matanya geli, meremehkan.

Rama memaksa tersenyum. “Nggak. Om Galih ada perlu?”

“Nenek kalian nyuruh manggil buat makan malam,” jawab Galih.

“Oh. Terima kasih, Om.”

“Bukan masalah.” Mata Galih melirik cepat ke arah bekas merah yang masih terlihat di dagu Naila. Ada ejekan samar dalam sorot matanya ketika ia kembali menatap Rama. “Tapi seharusnya kamu ingat, ini rumah keluarga. Jaga sikapmu.”

Rama merapat, berdiri di antara mereka. “Aku paham, Om.”

Galih hanya terkekeh. “Ayo, makan.”

Begitu ia pergi, Naila buru-buru keluar. Rama meraih tangannya, tapi ditepis. Ia mempercepat langkah, lalu menggenggam lengan istrinya lagi. “Jangan bikin ribut, atau aku bilang ke ayahmu!”

Naila terdiam. Nama ayahnya bagai borgol.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 14: Aku Bersyukur atas Perhatianmu

    Dunia seakan berhenti. Ponsel dalam genggaman Naila bergetar pelan, seolah makhluk kecil yang tak lelah mengusik ketenangan, tapi justru membuat jari-jarinya semakin kaku mencengkeram.Ujung kukunya menekan kulit hingga memutih. Sunyi merambat di dadanya, hanya suara napas berat yang terputus-putus, naik turun, seperti Naila sedang berusaha meraih udara di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung dirinya.Dengan gerakan cepat namun gemetar, Naila mengetuk layar, mengambil tangkapan pesan itu, lalu langsung mengirimkannya pada Rama. Ia tidak menambahkan sepatah kata pun. Tak ada kebutuhan untuk menjelaskan, tak ada ruang untuk alasan.Setelah itu, tanpa ragu, Naila menekan satu tombol terakhir: blokir. Jessie lenyap dari daftar kontaknya, tapi tidak dari ingatannya.

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 13: Kamu Masih Marah?

    Lorong menuju laboratorium berbau dingin, seolah dindingnya menyerap setiap langkah yang lewat. Aroma logam tua berpadu dengan lembap cat yang memudar, membuat napas sedikit berat.Di ujung lorong, pintu besi bercat putih gading berdiri tegak. Bahkan sebelum pintu itu terbuka, bau khas kimia sudah menyelinap masuk: alkohol menusuk, resin berbau getir, dan jejak logam samar yang membuat lidah seperti berkarat.Begitu pintu didorong, ruangan penuh cahaya lampu neon menyambut. Kilau kaca tabung reaksi memantulkan sinar, membuat meja-meja kerja tampak seperti permukaan danau yang pecah oleh riak kecil.Suara berdenting alat gelas bercampur dengan bisikan diskusi para peneliti, menciptakan musik latar yang hanya dimengerti mereka yang terbiasa hidup di dunia eksperimen.

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 12: Seperti Kucing Kehujanan

    Di luar, hujan mencakar bumi tanpa ampun. Butir-butirnya jatuh deras, berderai seperti rentetan benang perak yang dijatuhkan langit dengan murka. Trotoar basah berkilau di bawah lampu jalan, memantulkan cahaya temaram yang pecah di genangan air.Naila berdiri di sana, tubuhnya sedikit terbungkuk, jemari mungilnya mencengkeram erat kantong belanjaan hingga plastiknya berderit pelan.Udara dingin menusuk kulit, membuat napasnya berembus tipis-tipis. Perempuan itu melirik layar ponsel, jempolnya sempat melayang di atas ikon aplikasi taksi online.Satu tarikan napas lagi mungkin akan membuatnya menekan, kalau saja mobil hitam dengan bodi mengilap itu tidak berhenti tepat di depannya.Maybach. Jendela belakang perlahan turun, menyingkap wajah Galih Santosa y

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 11: Seperti Kelinci yang Menggigit

    Keesokan paginya, di sebuah kantor agen properti kecil di Tebet, tangan Naila sempat bergetar ketika pena menyentuh kertas. Garis tanda tangannya tak hanya sekadar formalitas—itu adalah kunci keputusan besar: sebuah apartemen mungil untuk satu tahun penuh. Satu tahun tanpa Rama.Uang sewa tiga bulan Naila serahkan. Beberapa lembar bukti pembayaran berpindah tangan, dan tatapannya jatuh pada angka-angka itu. Hatinya berdenyut campur aduk. Dompet perempuan itu kini menipis, hanya tersisa beberapa lembar lusuh, bahkan tak cukup untuk membeli tas kerja mahal baru. Namun di balik cemas itu, ada sensasi aneh yang menyelinap. Seperti beban besi yang akhirnya terguling dari bahunya.Unit apartemen mungil itu menyambut dengan kesunyian. Aroma cat dinding masih samar, bercampur dengan bau debu lembap yang lama terkurung. Lantai keramik memantulkan cahaya siang, licin tapi berlapis debu tipis. Naila membuka jendela; angin membawa masuk bau hujan yang masih segar. Dengan tangan kecilnya ia me

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 10: Nggak Akan Biarin Kamu Pergi

    “Perceraian enggak bisa buru-buru,” ucap Naila pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri lebih daripada Larasati yang duduk di seberang. Suaranya serak tapi tegas, seperti seseorang yang memaksa diri berdiri di atas tanah yang rapuh. “Sekarang aku fokus cari kerja dan tempat tinggal dulu. Sisanya nyusul.”Larasati, yang sejak awal menjadi saksi retakan rumah tangga Naila, menatap sahabatnya itu dengan mata cemas. Tatapan itu penuh tanya, penuh keraguan, tapi ada pula tekad untuk tidak menambah berat beban. Kedua tangannya yang menggenggam gelas tampak sedikit gemetar, tapi senyumnya berusaha menenangkan.“Kalau gitu, aku izin setengah hari ya,” katanya, nada suaranya setengah memohon, setengah bersikeras. “Aku temenin kamu cari apartemen.”Naila menggeleng lembut. Gerakan kecil itu tegas, meski ia berusaha menyampaikannya tanpa menyakiti. “Enggak usah repot. Aku bisa sendiri.”Larasati sempat terdiam, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. Wajahnya tertunduk sebentar, sebelum ia

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 9: Anak Itu Tidak Boleh Lahir

    Sementara itu, di kantor yang hampir gelap, hanya cahaya monitor menerangi wajah Rama. Guratan lelah mengintai di balik rahang kerasnya. Jemarinya mengetik gugup:Bagaimana caranya mendapatkan kembali hati istri setelah berselingkuh?Balasan berdatangan cepat. Kebanyakan menyarankan cerai. Rambut di tengkuknya berdiri. Ia marah, panas, tak rela. Dengan kasar ia hapus postingan itu, seolah setiap kalimat adalah tamparan.Belum sempat mematikan laptop, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat perutnya mual: Jessie.***Rama duduk terpaku, mendengarkan suara isakan Jessie dari ujung telepon yang semakin menekan telinga.Kesal, Rama merogoh saku, menyalakan rokok. Asap tipis mengepul, melayang ke udara seperti doa yang ditolak. Tarikan panjang ia hembuskan kasar, seolah berharap semua kerumitan ikut lenyap bersama kepulan putih itu.“Kalau kamu nggak mau gugurkan, aku punya cara buat memastikan kamu nggak akan bisa lahiran,” ucapnya dingin. Suaranya tenang, tapi justru karena ketenan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status