Genggaman Rama pada tangan Naila begitu kuat, seolah tulang mungil istrinya bisa patah kapan saja. Sakit menjalar dari pergelangan hingga siku, membuat wajah Naila meringis meski ia berusaha menahannya. Urat-urat di tangan Rama menonjol, menegaskan betapa kerasnya ia mencengkeram.
Dari kursinya, Galih melirik sekilas. Tatapannya jatuh pada tangan Naila yang terjerat. Rahangnya menegang, tapi segera ia alihkan pandangan, seolah bukan urusannya.
Berbeda dengan Anindya Santosa, tante Rama, yang justru menghela napas panjang sambil tersenyum sinis.
“Naila, maaf kalau terdengar kasar,” kata Anindya, nada manis tapi menusuk. “Kalian sudah menikah bertahun-tahun. Kok belum punya anak juga? Kalau bukan karena Rama ngotot nikah sama kamu, kira-kira keluarga kamu bisa masuk keluarga Santosa?”
Ruangan mendadak kaku. Kilau lampu kristal terasa dingin menusuk.
“Kamu harusnya bersyukur,” lanjut Anindya, matanya menyapu tubuh Naila dari ujung rambut sampai kaki, menilai seperti barang dagangan. “Kalau kamu nggak mau kasih anak, banyak perempuan lain yang rela. Jangan salahkan siapa-siapa kalau posisimu tergantikan nanti.”
Maira, sang kepala keluarga, akhirnya angkat suara. “Anindya, cukup.” Kalimat sederhana tapi bertenaga. Anindya pun diam, meski matanya masih penuh kebencian.
Maira lalu menoleh ke Naila dengan senyum hangat. “Kalian masih muda. Kalau belum mau punya anak, tidak apa-apa. Jangan memaksa. Kalau kamu mau kerja, silakan. Yang penting jangan sampai kelelahan.”
Naila mengangguk sopan, meski dadanya tercekat. “Iya, Eyang.”
Suasana mencair perlahan, tapi Rama langsung menarik tangan Naila lebih keras, menyeretnya keluar ruangan. Tatapan orang-orang mengikuti, namun ia tak peduli. Mereka menembus taman menuju gazebo di halaman belakang, aroma kamboja bercampur tanah basah mengiringi langkah terburu-buru itu.
Begitu tiba, Rama melepaskan genggaman dengan kasar. “Naila, kamu gila? Mau semua orang tahu kita bertengkar?”
Naila mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menatap suaminya dengan dingin. “Aku cuma jujur.”
“Jujur?” suara Rama meninggi. “Mau aku telepon ayahmu sekarang?”
Nama itu membuat tubuh Naila kaku. Harist Jayantaka, ayahnya, sedang sakit parah. Dokter melarangnya stres. Naila memang berniat menceraikan Rama, tapi bukan begini caranya.
“Jangan berani!” desisnya. “Yang selingkuh kamu, Rama. Kamu nggak berhak sok benar.”
Rama mengepalkan tangan. Sekilas wajahnya diliputi rasa bersalah, tapi cepat ia tutupi dengan amarah. “Aku janji nggak akan terulang lagi. Kalau kamu nggak mau lihat Jessie, aku pecat dia. Apa lagi yang kamu mau?”
Naila tertawa lirih, getir, tawanya hampa seperti kaca retak. Bayangan Rama bersama Jessie membuat perutnya mual. “Aku nggak akan pernah memaafkanmu.”
Kata-kata itu bagai vonis.
Rama terdiam sesaat, lalu berusaha melunak. “Ya sudah, jangan bahas sekarang. Anak bisa ditunda. Kalau kamu mau kerja, aku minta sekretarisku carikan posisi di Santosa Group.”
Naila menoleh, tersenyum miring. “Kamu pikir aku boneka yang bisa kamu atur?”
Otot rahang Rama menegang. “Aku ini justru ngalah, Naila. Kamu maunya apa?”
“Berhenti sok pengertian.” Suaranya bergetar menahan amarah. “Aku nggak mau punya anak karena aku mau cerai. Aku mau kerja supaya bisa lepas dari kamu.”
Kata-kata itu menghantam Rama seperti pukulan telak. Ia menatap Naila lama, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan kehilangan.
Sejak hari pernikahan, Rama merasa Naila sudah menjadi miliknya sepenuhnya. Di matanya, istrinya hanyalah burung kecil yang ia masukkan ke dalam sangkar emas. Sayapnya memang tak dipatahkan, tapi terbang tetap mustahil.
Ia memberinya pakaian indah, rumah megah, perhiasan, pelayan yang siap 24 jam. Semua ada, kecuali kebebasan.
“Selama aku nggak setuju, pernikahan ini nggak akan berakhir. Kamu mau lapor soal perselingkuhan sekalipun, kamu punya bukti?” suara Rama datar, yakin, seperti raja yang merasa takhtanya tak mungkin goyah.
Naila mundur selangkah, tubuhnya gemetar. Lampu taman berpendar temaram, bayangan dedaunan bergoyang, membuat gazebo itu tampak seperti jerat yang menelan dirinya. Tatapannya kini menyala, membakar Rama dengan jijik.
Delapan tahun Naila habiskan mencintai pria ini, delapan tahun menahan luka dengan harapan bisa sembuh. Dan malam ini, yang berdiri di hadapannya hanyalah sosok asing dibungkus keangkuhan.
“Kamu menjijikkan, Rama!”
Kata itu memecah keheningan malam. Sorot jijik itu menusuk ego Rama. Tangannya spontan meraih dagu istrinya, memaksa wajah itu menatapnya. Jemarinya kasar, meninggalkan perih.
“Aku ngerti kamu marah. Tapi aku nggak mau dengar kata-kata itu lagi,” ujarnya ketus.
Naila menepis kuat. “Jangan sentuh aku! Kamu kotor!”
Rama tertawa getir. “Kotor?” Tubuhnya mendesak, menekan Naila ke tiang kayu gazebo. Dengan cepat, ia menunduk, mencium paksa.
Naila memberontak, menoleh, hingga bibirnya hanya mendarat di pipinya—meninggalkan jejak panas menyakitkan.
“Lepaskan aku, Rama!”
“Asal kamu berhenti ngomong yang nyakitin aku.”
“Nggak akan!”
“Kalau begitu, aku punya cara bikin kamu diam.” Tangannya kembali mencengkeram dagu Naila, lebih keras.
Namun sebelum bibirnya kembali mendarat, terdengar suara batuk pelan dari belakang.
“Rama, aku ganggu, ya?”
Tubuh Rama menegang. Galih berdiri di pintu gazebo, ekspresinya datar tapi menusuk. Sorot matanya geli, meremehkan.
Rama memaksa tersenyum. “Nggak. Om Galih ada perlu?”
“Nenek kalian nyuruh manggil buat makan malam,” jawab Galih.
“Oh. Terima kasih, Om.”
“Bukan masalah.” Mata Galih melirik cepat ke arah bekas merah yang masih terlihat di dagu Naila. Ada ejekan samar dalam sorot matanya ketika ia kembali menatap Rama. “Tapi seharusnya kamu ingat, ini rumah keluarga. Jaga sikapmu.”
Rama merapat, berdiri di antara mereka. “Aku paham, Om.”
Galih hanya terkekeh. “Ayo, makan.”
Begitu ia pergi, Naila buru-buru keluar. Rama meraih tangannya, tapi ditepis. Ia mempercepat langkah, lalu menggenggam lengan istrinya lagi. “Jangan bikin ribut, atau aku bilang ke ayahmu!”
Naila terdiam. Nama ayahnya bagai borgol.
Bersandar di bahu Galih, Naila menutup matanya pelan, mencoba menahan sesuatu yang mengganjal di dada. Hembusan napasnya terasa berat, seperti ada beban yang menekan di dalam paru-parunya.Hujan tipis masih menetes di luar, mengetuk kaca jendela ruang tamu dengan irama lambat dan lembut, seolah ikut merasakan kegundahan di antara mereka. Bau tanah basah menyeruak dari taman kecil di halaman belakang, menyatu dengan aroma kopi hangat yang sudah lama mendingin di atas meja.Ia ingin berbicara, tapi lidahnya terasa kelu. Kalimat yang sudah berkali-kali ia susun dalam kepala menguap begitu saja setiap kali ia mencoba memulainya. Bagaimana caranya memberi tahu Galih bahwa ia akan pergi?Naila tahu benar, kalimat itu akan menjadi pisau. Galih akan marah, pasti. Ia juga tahu, di balik kemarahan itu, ada ketakutan yang tak pernah benar-benar mereka ucapkan. Ketakutan kehilangan lagi, setelah semua luka yang baru saja mereka jahit dengan susah payah.Namun di sisi
Udara siang itu terasa hangat, samar berbaur dengan wangi kopi yang masih mengepul di cangkir di meja kerja Galih. Cahaya matahari menyelinap lewat tirai tipis, menimpa sebagian wajah Naila yang berdiri di dekat jendela.Tatapannya lembut, tapi ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum kecilnya. Ia memeluk tas tangan di dada, seolah benda itu bisa melindunginya dari getaran perasaan yang tak mau reda.“Benar-benar enggak ada apa-apa. Kalau pun ada, ya cuma karena aku kangen dan pengen ketemu. Apa itu dilarang?” katanya sambil menatap Galih dengan senyum yang nyaris malu-malu.Galih berhenti mengetik. Ujung jarinya masih menggantung di atas keyboard, sementara matanya mengamati wajah istrinya itu dengan seksama. Ada kerut kecil di dahi, antara khawatir dan rindu yang menumpuk.“Jelas enggak dilarang. Aku cuma enggak mau kamu menanggung sesuatu sendirian.”Nada suaranya pelan tapi tegas, seperti pria yang tahu betul bahwa di balik “aku baik-baik
Mahardika menatap Naila dengan mata yang nyaris tak berkedip. Suasana ruang tamu keluarga Jayantaka itu mendadak terasa sempit, seolah udara menahan napas.Bau lembut parfum mawar Emma masih menggantung di udara, bercampur dengan aroma teh melati yang sudah dingin di cangkir porselen di atas meja marmer.“Aku akan ikut ke Malaysia.”Suara Naila terdengar tenang, tapi di dalamnya bergetar sesuatu yang sulit dijelaskan. Seperti gelombang kecil di permukaan air yang menyembunyikan arus deras di bawahnya.Emma dan Mahardika serempak menoleh. Emma menegakkan punggungnya, sementara Mahardika hanya terpaku, masih mencoba memastikan apakah ia tidak salah dengar. Naila berdiri tegak, tangannya terkepal di sisi tubuh.Di wajahnya tak ada ragu, hanya pantulan cahaya sore dari jendela besar di belakangnya yang membuat kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya.“Aku akan setuju buat pergi dan menerima warisan keluarga Laksmana,” k
Udara malam Jakarta terasa berat, penuh debu dan cahaya lampu kota yang berpendar seperti bara kecil di kejauhan. Dari balik jendela mobil yang meluncur di jalanan Sudirman, Emma menatap langit yang samar.Bayangan lampu gedung tinggi berganti cepat di kaca, seperti ilusi yang terus berubah bentuk. Ia menyandarkan kepala pada sandaran kursi, bibirnya bergerak hampir tanpa suara.“Aku enggak pernah nyangka bakal balik ke Jakarta.”Suara itu hanyut di antara deru mesin dan bisikan angin pendingin mobil. Tidak ada yang menjawab. Mahardika duduk di samping sopir, matanya lurus ke depan, wajahnya menegang seperti sedang menimbang sesuatu yang tak ingin ia ucapkan.Mereka berhenti di depan hotel bintang lima. Lobi dipenuhi cahaya keemasan yang berkilau, memantul dari lantai marmer yang mengilap. Seorang bellboy segera membuka pintu, menunduk hormat, dan Emma melangkah turun dengan gerakan anggun, seperti seorang ratu yang sudah terbiasa diperlakukan
“Kamu dengar, kan?” suara Naila terdengar pelan tapi tegas, seperti berusaha menahan sesuatu yang bergolak di dadanya. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya, seolah tak ingin memberi ruang untuk salah paham.“Dia akan datang minggu depan,” lanjutnya, suaranya mulai bergetar samar. “Aku akan menemuinya.”Harist, yang sejak tadi duduk di kursi rotan tua di ruang tamu rumahnya di Tebet, hanya menatap kosong beberapa detik. Di luar, hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menembus jendela kayu.Ia menegakkan punggungnya perlahan, menatap putrinya dalam diam.Wajahnya yang biasanya ramah kini tampak tegang, garis-garis usia di sekitar matanya semakin jelas.“Apa maumu dia?” suaranya akhirnya pecah, serak, seperti keluar dari tenggorokan yang tertahan amarah bertahun-tahun.Naila menunduk, jari-jarinya meremas ujung selendangnya. “Dia ingin aku dan Jagoan pindah ke luar negeri
“Aku nggak ada urusan lain, jadi sekalian aja datang duluan,” jawab Mahardika sambil mengangkat bahu dengan santai. Gerakannya ringan, seolah kedatangannya ke kafe itu memang hal paling wajar di dunia.Matanya menatap Naila yang duduk di seberangnya, di balik meja kayu berwarna cokelat tua yang mulai pudar di tepiannya. “Jadi… kamu mau bicara soal apa?”Naila menunduk sebentar, jari-jarinya menyentuh bibir cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya seolah berusaha mengeluarkan semua beban yang menumpuk di dadanya.Suara riuh di sekeliling mereka—pelayan yang berlalu-lalang, denting sendok dari meja sebelah, lagu lembut yang mengalun dari speaker—semuanya terasa jauh.“Aku sudah mikir lagi tentang apa yang kamu bilang waktu itu,” katanya akhirnya, pelan namun tegas. Ia menatap Mahardika, mencoba mencari sesuatu di matanya.“Kamu benar. Bagaimanap