Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menikahi Paman Suamiku / Bab 6: Kamu menjijikkan, Rama

Share

Bab 6: Kamu menjijikkan, Rama

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-06-05 17:11:52

“Aku CEO Santosa Group. Godaan itu datang tiap hari. Kadang memang sulit ditolak. Tapi perempuan-perempuan itu, tak satu pun bisa gantikan posisimu sebagai istriku. Jadi, apalagi yang kamu mau?”

Suara Rama datar, penuh keangkuhan. Ia duduk di sofa kulit hitam yang mengilap, tubuh tegak seakan singgasana itu memang disiapkan untuknya. Di tangannya segelas wiski, jari-jarinya menggulir kaca seolah sedang menghitung kesabarannya sendiri.

Naila berdiri tak jauh darinya. Cahaya lampu kristal memantul di matanya yang berkilat menahan emosi. Kata-kata Rama menoreh luka lama. Lelaki itu berani menyebut cinta, padahal kesetiaan sudah lama ia kubur entah di mana.

Bagi Rama, perselingkuhan hanyalah risiko jabatan, sekadar “kelelahan” yang wajar dimaklumi. Tapi bagi Naila, lelaki di hadapannya bukan lagi pemuda pemalu yang dulu wajahnya memerah saat mengucap “aku suka kamu.” Ia kini pria angkuh yang menimbang cinta dengan neraca bisnis.

“Kalau bersikap dewasa artinya menerima perselingkuhanmu, maaf, aku tidak bisa. Cari saja orang lain. Ini surat cerai. Tandatangani kapan saja.”

Tangannya bergetar saat meletakkan map cokelat di meja. Bukan karena ragu, melainkan amarah yang mendidih.

Rama menatapnya dingin. Ia meletakkan gelas dengan bunyi keras. “Permintaanmu besar juga. Setengah dari asetku? Kamu pikir kamu siapa?”

Tatapan Naila menusuk. Suaranya tenang tapi tegas. “Aku pantas mendapatkannya.”

Rama terkekeh sinis. “Rumah ini, biaya rumah sakit ayahmu, semua aku yang bayar. Kalau dihitung-hitung, kamu malah berutang padaku.”

Sakitnya bukan hanya isi kalimat, tapi caranya melontarkan—seolah semua kebaikan adalah catatan hutang.

Naila menegakkan dagu. “Kalau bukan karena aku menyerahkan hak paten itu, kamu tak akan jadi CEO. Dan kamu juga yang memaksa aku berhenti kerja. Kalau aku tetap meneliti, penghasilanku bisa lebih besar dari semua yang kamu kasih.”

Rama menyipitkan mata. “Siapa yang percaya omonganmu?”

Hening. Detik jam terasa tajam.

“Aku tidak mau ribut soal uang,” ucap Naila akhirnya. “Tapi kalau kamu menolak cerai, kita harus hitung semuanya.”

Rama maju selangkah. “Kalau kamu batalkan cerai, uangku tetap bisa kamu pakai.”

“Kamu menjijikkan, Rama.”

Wajah Rama menegang. Kursi bergeser keras, tubuhnya kini menghadang pintu. “Ganti bajumu. Kita ada makan malam keluarga.”

“Aku tidak mau. Bilang saja aku sakit.”

Tangan Rama mencengkeram pergelangannya kasar. “Kesabaranku ada batasnya. Jangan paksa aku mencabut biaya rumah sakit ayahmu.”

“Kamu tidak berani!”

Dengan tenang Rama menekan tombol cepat di ponsel. “Batalkan pembayaran rumah sakit ayah mertuaku bulan depan.”

Naila tersentak, merebut ponsel itu, memutus panggilan dengan kasar. Nafasnya memburu. “Kamu keterlaluan!”

Rama mendekat, wajah hanya sejengkal darinya. “Semua yang kamu miliki karena aku. Ganti baju sekarang, atau aku punya banyak cara supaya kamu patuh.”

Air mata mendesak, tapi Naila menahan. Dengan gerakan cepat ia melepaskan tangannya, lalu melangkah naik. Di kamar, ia mengambil gaun putih sederhana, menyanggul rambut tanpa cermin. Tak ada riasan, tak ada persiapan—berbeda jauh dengan dulu.

Saat turun, Rama sempat terdiam. Naila tampak anggun, seperti pertama kali mereka bertemu. Bedanya, kini matanya kosong, beku, tanpa cinta.

“Ayo.” Suaranya datar.

Mereka masuk ke mobil hitam. Perjalanan sunyi, hanya deru mesin. Saat tiba di gerbang keluarga Santosa, sebuah Range Rover hitam mendadak berhenti tepat di hadapan mereka.

Rama menegang. Ia mengenali mobil itu.

Pamannya. Galih.

Galih selalu membawa hawa yang membuat dada Rama sesak. Setiap langkah sang paman seolah meninggalkan bayangan panjang yang mengganggu. Bukan hanya sikapnya yang sulit ditebak, tapi juga reputasinya yang tajam, berkilat seperti pisau di bawah cahaya.

Semua tahu Galih bukan orang biasa. Dulu, Brahma—kepala keluarga—pernah menawarinya kursi utama Santosa Group. Dengan enteng, ia menolak. “Kenapa harus berjalan di jalan orang lain, kalau bisa bangun jalan sendiri?” katanya dingin.

Banyak yang menunggu kejatuhannya. Namun lima tahun berlalu, perusahaannya justru menjulang, melampaui Santosa Group berkali lipat. Nama Galih bergaung di media bisnis, menyengat telinga Rama tiap kali terdengar. Rasa iri bercampur dendam lama membuat dadanya terus mengeras.

Harapannya sederhana hari itu: semoga Galih tak muncul di acara keluarga. Tapi harapan runtuh ketika Range Rover hitam berhenti di halaman. Dari balik kaca, sosok yang ditakutinya keluar dengan langkah santai, seolah membawa badai bersamanya.

Naila di sisi Rama menegang. Ia menahan napas saat mata Galih menyapunya sekilas, dingin dan sulit ditebak, seperti ombak menyimpan arus bawah. Untung pria itu memilih diam, meski diamnya justru membuat jantung Naila berdegup tak karuan.

Begitu mereka masuk ruang tamu, aroma kayu cendana dan kue tradisional menyelimuti udara. Obrolan keluarga riuh, lampu kristal berkilau, namun di tengah semua itu, perhatian orang-orang lebih sering jatuh pada Galih. Karisma yang ia bawa seakan membuatnya jadi pusat ruangan.

Rama sadar Naila sedang menatap ke arah itu. Rahangnya mengeras. “Kenapa kamu lihat Om Galih begitu?” bisiknya tajam.

Naila menoleh singkat, suaranya dingin. “Bukan urusanmu.”

Rama mendidih. “Kamu tahu aku nggak suka kamu perhatiin laki-laki lain.”

Getir tawa lolos dari bibir Naila. “Aku juga nggak suka kamu tidur sama perempuan lain, tapi kamu santai aja.”

Wajah Rama memerah, tapi ia menahan diri ketika suara Maira, nenek mereka, memanggil. “Rama, Naila, ayo duduk!”

Naila tersenyum sopan, meski hatinya dingin. Maira menyambut mereka hangat, lalu menoleh ke Galih dengan nada menyindir. “Lihat tuh Rama, istrinya cantik. Kamu kapan? Kalau minggu depan nggak bawa pacar, jangan datang lagi!”

Suasana menegang, tapi Galih hanya tersenyum samar. Tatapannya sempat menyapu Naila, membuatnya tersentak. Ada sesuatu di sorot mata itu, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Rama menangkap tatapan itu, darahnya mendidih. Tangannya mengepal di bawah meja.

Maira terus menekan. “Yang Nenek mau, cucu. Rama sudah menikah bertahun-tahun. Kamu kapan?”

Galih mengangkat bahu santai. “Tergantung. Kalau besok nemu yang cocok, mungkin langsung kubawa pulang.”

“Kamu selalu bikin Ibu stres!” gerutu Maira.

Galih terkekeh, lalu menoleh pada Rama. “Kenapa nggak desak Rama kasih cucu dulu, Bu, daripada ganggu aku?”

Kalimat itu meluncur tajam, membuat Maira terdiam. Ia buru-buru mengalihkan pada Naila. “Kamu sama Rama sudah menikah beberapa tahun. Kapan mau punya anak?”

Naila hendak menjawab, tapi Rama mendahului, menggenggam tangannya erat-erat. “Kami sedang usahakan, Eyang.”

Naila mencoba melepaskan diri, tapi genggamannya terkunci. Ia menatap Maira dengan suara tenang namun tegas. “Eyang, sekarang aku sedang cari kerja. Jadi soal anak, mungkin harus ditunda dulu.”

Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya.

Dan di antara keheningan itu, Galih tersenyum tipis. Entah untuk siapa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 150: Kamu Mau Pergi ke Malaysia, Kan?

    Bersandar di bahu Galih, Naila menutup matanya pelan, mencoba menahan sesuatu yang mengganjal di dada. Hembusan napasnya terasa berat, seperti ada beban yang menekan di dalam paru-parunya.Hujan tipis masih menetes di luar, mengetuk kaca jendela ruang tamu dengan irama lambat dan lembut, seolah ikut merasakan kegundahan di antara mereka. Bau tanah basah menyeruak dari taman kecil di halaman belakang, menyatu dengan aroma kopi hangat yang sudah lama mendingin di atas meja.Ia ingin berbicara, tapi lidahnya terasa kelu. Kalimat yang sudah berkali-kali ia susun dalam kepala menguap begitu saja setiap kali ia mencoba memulainya. Bagaimana caranya memberi tahu Galih bahwa ia akan pergi?Naila tahu benar, kalimat itu akan menjadi pisau. Galih akan marah, pasti. Ia juga tahu, di balik kemarahan itu, ada ketakutan yang tak pernah benar-benar mereka ucapkan. Ketakutan kehilangan lagi, setelah semua luka yang baru saja mereka jahit dengan susah payah.Namun di sisi

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 149: Tidak Ada yang Disesali

    Udara siang itu terasa hangat, samar berbaur dengan wangi kopi yang masih mengepul di cangkir di meja kerja Galih. Cahaya matahari menyelinap lewat tirai tipis, menimpa sebagian wajah Naila yang berdiri di dekat jendela.Tatapannya lembut, tapi ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum kecilnya. Ia memeluk tas tangan di dada, seolah benda itu bisa melindunginya dari getaran perasaan yang tak mau reda.“Benar-benar enggak ada apa-apa. Kalau pun ada, ya cuma karena aku kangen dan pengen ketemu. Apa itu dilarang?” katanya sambil menatap Galih dengan senyum yang nyaris malu-malu.Galih berhenti mengetik. Ujung jarinya masih menggantung di atas keyboard, sementara matanya mengamati wajah istrinya itu dengan seksama. Ada kerut kecil di dahi, antara khawatir dan rindu yang menumpuk.“Jelas enggak dilarang. Aku cuma enggak mau kamu menanggung sesuatu sendirian.”Nada suaranya pelan tapi tegas, seperti pria yang tahu betul bahwa di balik “aku baik-baik

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 148: Aku Akan Ikut

    Mahardika menatap Naila dengan mata yang nyaris tak berkedip. Suasana ruang tamu keluarga Jayantaka itu mendadak terasa sempit, seolah udara menahan napas.Bau lembut parfum mawar Emma masih menggantung di udara, bercampur dengan aroma teh melati yang sudah dingin di cangkir porselen di atas meja marmer.“Aku akan ikut ke Malaysia.”Suara Naila terdengar tenang, tapi di dalamnya bergetar sesuatu yang sulit dijelaskan. Seperti gelombang kecil di permukaan air yang menyembunyikan arus deras di bawahnya.Emma dan Mahardika serempak menoleh. Emma menegakkan punggungnya, sementara Mahardika hanya terpaku, masih mencoba memastikan apakah ia tidak salah dengar. Naila berdiri tegak, tangannya terkepal di sisi tubuh.Di wajahnya tak ada ragu, hanya pantulan cahaya sore dari jendela besar di belakangnya yang membuat kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya.“Aku akan setuju buat pergi dan menerima warisan keluarga Laksmana,” k

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 147: Dua Puluh Tahun

    Udara malam Jakarta terasa berat, penuh debu dan cahaya lampu kota yang berpendar seperti bara kecil di kejauhan. Dari balik jendela mobil yang meluncur di jalanan Sudirman, Emma menatap langit yang samar.Bayangan lampu gedung tinggi berganti cepat di kaca, seperti ilusi yang terus berubah bentuk. Ia menyandarkan kepala pada sandaran kursi, bibirnya bergerak hampir tanpa suara.“Aku enggak pernah nyangka bakal balik ke Jakarta.”Suara itu hanyut di antara deru mesin dan bisikan angin pendingin mobil. Tidak ada yang menjawab. Mahardika duduk di samping sopir, matanya lurus ke depan, wajahnya menegang seperti sedang menimbang sesuatu yang tak ingin ia ucapkan.Mereka berhenti di depan hotel bintang lima. Lobi dipenuhi cahaya keemasan yang berkilau, memantul dari lantai marmer yang mengilap. Seorang bellboy segera membuka pintu, menunduk hormat, dan Emma melangkah turun dengan gerakan anggun, seperti seorang ratu yang sudah terbiasa diperlakukan

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 146: Jangan Paksakan Diri

    “Kamu dengar, kan?” suara Naila terdengar pelan tapi tegas, seperti berusaha menahan sesuatu yang bergolak di dadanya. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya, seolah tak ingin memberi ruang untuk salah paham.“Dia akan datang minggu depan,” lanjutnya, suaranya mulai bergetar samar. “Aku akan menemuinya.”Harist, yang sejak tadi duduk di kursi rotan tua di ruang tamu rumahnya di Tebet, hanya menatap kosong beberapa detik. Di luar, hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menembus jendela kayu.Ia menegakkan punggungnya perlahan, menatap putrinya dalam diam.Wajahnya yang biasanya ramah kini tampak tegang, garis-garis usia di sekitar matanya semakin jelas.“Apa maumu dia?” suaranya akhirnya pecah, serak, seperti keluar dari tenggorokan yang tertahan amarah bertahun-tahun.Naila menunduk, jari-jarinya meremas ujung selendangnya. “Dia ingin aku dan Jagoan pindah ke luar negeri

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 145: Jangan Sakiti Dia

    “Aku nggak ada urusan lain, jadi sekalian aja datang duluan,” jawab Mahardika sambil mengangkat bahu dengan santai. Gerakannya ringan, seolah kedatangannya ke kafe itu memang hal paling wajar di dunia.Matanya menatap Naila yang duduk di seberangnya, di balik meja kayu berwarna cokelat tua yang mulai pudar di tepiannya. “Jadi… kamu mau bicara soal apa?”Naila menunduk sebentar, jari-jarinya menyentuh bibir cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya seolah berusaha mengeluarkan semua beban yang menumpuk di dadanya.Suara riuh di sekeliling mereka—pelayan yang berlalu-lalang, denting sendok dari meja sebelah, lagu lembut yang mengalun dari speaker—semuanya terasa jauh.“Aku sudah mikir lagi tentang apa yang kamu bilang waktu itu,” katanya akhirnya, pelan namun tegas. Ia menatap Mahardika, mencoba mencari sesuatu di matanya.“Kamu benar. Bagaimanap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status