Masuk“Aku CEO Santosa Group. Godaan itu datang tiap hari. Kadang memang sulit ditolak. Tapi perempuan-perempuan itu, tak satu pun bisa gantikan posisimu sebagai istriku. Jadi, apalagi yang kamu mau?”
Suara Rama datar, penuh keangkuhan. Ia duduk di sofa kulit hitam yang mengilap, tubuh tegak seakan singgasana itu memang disiapkan untuknya. Di tangannya segelas wiski, jari-jarinya menggulir kaca seolah sedang menghitung kesabarannya sendiri.
Naila berdiri tak jauh darinya. Cahaya lampu kristal memantul di matanya yang berkilat menahan emosi. Kata-kata Rama menoreh luka lama. Lelaki itu berani menyebut cinta, padahal kesetiaan sudah lama ia kubur entah di mana.
Bagi Rama, perselingkuhan hanyalah risiko jabatan, sekadar “kelelahan” yang wajar dimaklumi. Tapi bagi Naila, lelaki di hadapannya bukan lagi pemuda pemalu yang dulu wajahnya memerah saat mengucap “aku suka kamu.” Ia kini pria angkuh yang menimbang cinta dengan neraca bisnis.
“Kalau bersikap dewasa artinya menerima perselingkuhanmu, maaf, aku tidak bisa. Cari saja orang lain. Ini surat cerai. Tandatangani kapan saja.”
Tangannya bergetar saat meletakkan map cokelat di meja. Bukan karena ragu, melainkan amarah yang mendidih.
Rama menatapnya dingin. Ia meletakkan gelas dengan bunyi keras. “Permintaanmu besar juga. Setengah dari asetku? Kamu pikir kamu siapa?”
Tatapan Naila menusuk. Suaranya tenang tapi tegas. “Aku pantas mendapatkannya.”
Rama terkekeh sinis. “Rumah ini, biaya rumah sakit ayahmu, semua aku yang bayar. Kalau dihitung-hitung, kamu malah berutang padaku.”
Sakitnya bukan hanya isi kalimat, tapi caranya melontarkan—seolah semua kebaikan adalah catatan hutang.
Naila menegakkan dagu. “Kalau bukan karena aku menyerahkan hak paten itu, kamu tak akan jadi CEO. Dan kamu juga yang memaksa aku berhenti kerja. Kalau aku tetap meneliti, penghasilanku bisa lebih besar dari semua yang kamu kasih.”
Rama menyipitkan mata. “Siapa yang percaya omonganmu?”
Hening. Detik jam terasa tajam.
“Aku tidak mau ribut soal uang,” ucap Naila akhirnya. “Tapi kalau kamu menolak cerai, kita harus hitung semuanya.”
Rama maju selangkah. “Kalau kamu batalkan cerai, uangku tetap bisa kamu pakai.”
“Kamu menjijikkan, Rama.”
Wajah Rama menegang. Kursi bergeser keras, tubuhnya kini menghadang pintu. “Ganti bajumu. Kita ada makan malam keluarga.”
“Aku tidak mau. Bilang saja aku sakit.”
Tangan Rama mencengkeram pergelangannya kasar. “Kesabaranku ada batasnya. Jangan paksa aku mencabut biaya rumah sakit ayahmu.”
“Kamu tidak berani!”
Dengan tenang Rama menekan tombol cepat di ponsel. “Batalkan pembayaran rumah sakit ayah mertuaku bulan depan.”
Naila tersentak, merebut ponsel itu, memutus panggilan dengan kasar. Nafasnya memburu. “Kamu keterlaluan!”
Rama mendekat, wajah hanya sejengkal darinya. “Semua yang kamu miliki karena aku. Ganti baju sekarang, atau aku punya banyak cara supaya kamu patuh.”
Air mata mendesak, tapi Naila menahan. Dengan gerakan cepat ia melepaskan tangannya, lalu melangkah naik. Di kamar, ia mengambil gaun putih sederhana, menyanggul rambut tanpa cermin. Tak ada riasan, tak ada persiapan—berbeda jauh dengan dulu.
Saat turun, Rama sempat terdiam. Naila tampak anggun, seperti pertama kali mereka bertemu. Bedanya, kini matanya kosong, beku, tanpa cinta.
“Ayo.” Suaranya datar.
Mereka masuk ke mobil hitam. Perjalanan sunyi, hanya deru mesin. Saat tiba di gerbang keluarga Santosa, sebuah Range Rover hitam mendadak berhenti tepat di hadapan mereka.
Rama menegang. Ia mengenali mobil itu.
Pamannya. Galih.
Galih selalu membawa hawa yang membuat dada Rama sesak. Setiap langkah sang paman seolah meninggalkan bayangan panjang yang mengganggu. Bukan hanya sikapnya yang sulit ditebak, tapi juga reputasinya yang tajam, berkilat seperti pisau di bawah cahaya.
Semua tahu Galih bukan orang biasa. Dulu, Brahma—kepala keluarga—pernah menawarinya kursi utama Santosa Group. Dengan enteng, ia menolak. “Kenapa harus berjalan di jalan orang lain, kalau bisa bangun jalan sendiri?” katanya dingin.
Banyak yang menunggu kejatuhannya. Namun lima tahun berlalu, perusahaannya justru menjulang, melampaui Santosa Group berkali lipat. Nama Galih bergaung di media bisnis, menyengat telinga Rama tiap kali terdengar. Rasa iri bercampur dendam lama membuat dadanya terus mengeras.
Harapannya sederhana hari itu: semoga Galih tak muncul di acara keluarga. Tapi harapan runtuh ketika Range Rover hitam berhenti di halaman. Dari balik kaca, sosok yang ditakutinya keluar dengan langkah santai, seolah membawa badai bersamanya.
Naila di sisi Rama menegang. Ia menahan napas saat mata Galih menyapunya sekilas, dingin dan sulit ditebak, seperti ombak menyimpan arus bawah. Untung pria itu memilih diam, meski diamnya justru membuat jantung Naila berdegup tak karuan.
Begitu mereka masuk ruang tamu, aroma kayu cendana dan kue tradisional menyelimuti udara. Obrolan keluarga riuh, lampu kristal berkilau, namun di tengah semua itu, perhatian orang-orang lebih sering jatuh pada Galih. Karisma yang ia bawa seakan membuatnya jadi pusat ruangan.
Rama sadar Naila sedang menatap ke arah itu. Rahangnya mengeras. “Kenapa kamu lihat Om Galih begitu?” bisiknya tajam.
Naila menoleh singkat, suaranya dingin. “Bukan urusanmu.”
Rama mendidih. “Kamu tahu aku nggak suka kamu perhatiin laki-laki lain.”
Getir tawa lolos dari bibir Naila. “Aku juga nggak suka kamu tidur sama perempuan lain, tapi kamu santai aja.”
Wajah Rama memerah, tapi ia menahan diri ketika suara Maira, nenek mereka, memanggil. “Rama, Naila, ayo duduk!”
Naila tersenyum sopan, meski hatinya dingin. Maira menyambut mereka hangat, lalu menoleh ke Galih dengan nada menyindir. “Lihat tuh Rama, istrinya cantik. Kamu kapan? Kalau minggu depan nggak bawa pacar, jangan datang lagi!”
Suasana menegang, tapi Galih hanya tersenyum samar. Tatapannya sempat menyapu Naila, membuatnya tersentak. Ada sesuatu di sorot mata itu, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Rama menangkap tatapan itu, darahnya mendidih. Tangannya mengepal di bawah meja.
Maira terus menekan. “Yang Nenek mau, cucu. Rama sudah menikah bertahun-tahun. Kamu kapan?”
Galih mengangkat bahu santai. “Tergantung. Kalau besok nemu yang cocok, mungkin langsung kubawa pulang.”
“Kamu selalu bikin Ibu stres!” gerutu Maira.
Galih terkekeh, lalu menoleh pada Rama. “Kenapa nggak desak Rama kasih cucu dulu, Bu, daripada ganggu aku?”
Kalimat itu meluncur tajam, membuat Maira terdiam. Ia buru-buru mengalihkan pada Naila. “Kamu sama Rama sudah menikah beberapa tahun. Kapan mau punya anak?”
Naila hendak menjawab, tapi Rama mendahului, menggenggam tangannya erat-erat. “Kami sedang usahakan, Eyang.”
Naila mencoba melepaskan diri, tapi genggamannya terkunci. Ia menatap Maira dengan suara tenang namun tegas. “Eyang, sekarang aku sedang cari kerja. Jadi soal anak, mungkin harus ditunda dulu.”
Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya.
Dan di antara keheningan itu, Galih tersenyum tipis. Entah untuk siapa.
Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s
Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na
Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i
Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum
Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h
Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta







